Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih ragu dalam mengambil jalan politik seusai pemilihan presiden. Langkah partai banteng bermoncong putih ini menghadapi persimpangan: bergabung dengan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka hasil pemilihan yang banyak cacat atau menempuh jalan lurus demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keraguan terlihat dalam hasil rapat kerja nasional partai itu yang berakhir pada Ahad, 26 Mei 2024. Di antaranya rekomendasi kepada Ketua Umum Megawati Soekarnoputri agar “hanya menjalin kerja sama dengan partai prodemokrasi”. Megawati dalam kesempatan itu juga mengingatkan bahwa “partai politik berkepentingan untuk memperjuangkan demokrasi”. Namun ia pun menyatakan, “Esensi partai politik adalah meraih kekuasaan sehingga harus berada di dalam pemerintahan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebimbangan PDIP mencerminkan dilema antara mempertahankan akses kekuasaan dan berkomitmen pada prinsip demokrasi yang sehat. Jalan oposisi akan menjauhkan partai itu dari kenikmatan aneka sumber daya yang melekat pada kekuasaan. Sebaliknya, bergabung dengan pemerintahan membuat PDIP memberi stempel kuat terhadap aneka pelanggaran pada pemilihan presiden lalu.
Partai itu menyatakan pemilihan umum 14 Februari lalu sebagai yang terburuk sepanjang sejarah. Aneka pelanggaran memang berlangsung terang-terangan, termasuk imparsialitas penyelenggara pemilu bentukan pemerintahan Joko Widodo. Tiga hakim konstitusi bahkan menyatakan keberatan terhadap putusan majelis yang mengukuhkan kemenangan Prabowo-Gibran atas Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.—sesuatu yang belum pernah terjadi. Dalam situasi ini, PDIP semestinya tidak perlu ragu berada di luar pemerintahan sekaligus melakukan koreksi internal.
PDIP telah menikmati kekuasaan sejak 2014. Selain menjadi pengusung pada dua periode Jokowi, partai ini telah menjadi penopang aneka keputusan Sang Presiden, termasuk yang merugikan publik. Jokowi melemahkan usaha pembentukan pemerintahan yang bersih, terutama dengan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jokowi juga menabrak proses pembuatan aturan yang baik, misalnya dalam pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja. Alih-alih mengontrol, PDIP sebagai pemilik kursi terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat justru menjadi sponsor utama kerusakan itu.
Kubu partai banteng baru tersengat setelah Jokowi mendukung Prabowo, yang berpasangan dengan anaknya, dan bukan memilih calon partai itu, yakni Ganjar Pranowo. Karena itu, PDIP memiliki kewajiban moral dan politik untuk meminta maaf kepada publik, lalu melakukan koreksi. Dalam pidatonya, Puan Maharani, ketua partai dan anak Megawati, memang menyatakan meminta maaf, tapi dengan alasan ada kadernya yang melanggar konstitusi.
Posisi di luar pemerintah akan memberi kesempatan kepada PDIP mengoreksi kesalahan-kesalahan itu. Mereka akan menjadi pengawas pemerintahan Prabowo-Gibran. Meski berkurang, jumlah kursi partai ini masih tetap yang terbanyak di Senayan. Kekuatan besar di DPR itu akan mencegah penguasa baru berbuat sewenang-wenang. Sebaliknya, bergabung dengan pemerintahan akan meningkatkan kemungkinan penguasa baru berbuat semaunya.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gamang PDIP Menjadi Oposisi"