Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Untuk Apa Densus 88 Meneror Kejaksaan Agung

Konflik polisi dan jaksa yang melibatkan Densus 88 dampak pelemahan institusi hukum. Pelanggaran Undang-Undang Antiteror.

2 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TINDAKAN dua personel Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI menguntit Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah menguak penyalahgunaan satuan elite untuk kepentingan segelintir orang. Mengabaikan tugas pokok memburu pelaku terorisme, mereka mengintimidasi penegak hukum lain yang sedang mengusut kasus korupsi besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menyamar sebagai orang sipil, dua anggota Densus 88, salah satunya Brigadir Dua Iqbal Mustofa, tepergok mengikuti Febrie makan malam di sebuah restoran Prancis di Cipete, Jakarta Selatan, 19 Mei 2024. Polisi militer yang mengawal Febrie membuyarkan operasi spionase tersebut. Iqbal ditangkap, sementara satu rekannya melarikan diri.

Sehari setelah kejadian di Cipete, gedung Kejaksaan Agung diintip drone yang terbang rendah dan dikitari kendaraan polisi bersirene. Gedung di Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, itu kemudian dijaga ketat polisi militer.

Dua kejadian tersebut mengindikasikan gesekan serius antara kepolisian dan kejaksaan. Apalagi pemeriksa Iqbal menemukan surat tugas yang disebut-sebut diteken oleh Komisaris Besar Muhammad Tedjo Kusumo, Kepala Densus 88 Antiteror Satuan Wilayah Jawa Tengah. Dalam telepon seluler Iqbal, polisi militer juga menemukan data profil Febrie dan sejumlah petinggi kejaksaan lain.

Tindakan personel Densus 88 merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Aturan itu menyebutkan Densus 88 hanya bisa menyelidiki, termasuk menyadap, mereka yang terindikasi melakukan terorisme.

Teror terhadap petinggi kejaksaan besar kemungkinan berhubungan dengan aktivitas Febrie dan anak buahnya menyidik korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung. Kasus ini menyeret sejumlah nama besar yang memiliki kedekatan dengan jenderal polisi aktif ataupun yang sudah pensiun. Mereka yang sudah menjadi tersangka atau diperiksa jaksa antara lain Harvey Moeis, Hendry Lie, dan Robert Bonosusatya. Kejaksaan mengklaim komplotan itu telah menimbulkan kerugian negara dan kerusakan lingkungan senilai Rp 300 triliun.

Densus 88 dipimpin jenderal bintang dua yang dipilih langsung oleh Kepala Polri. Surat tugas kepada Iqbal menunjukkan penguntitan itu dilakukan resmi oleh institusi—bukan tindakan personel seperti yang diklaim polisi. 

Sudah lama sepak terjang Densus 88 ini menuai kritik. Densus 88, misalnya, dituding sering menerabas prosedur dan melanggar hak asasi manusia dalam penindakan pelaku terorisme. Densus 88 juga beberapa kali dipakai menjalankan operasi senyap demi kepentingan pribadi segelintir jenderal polisi. Urusannya pun beraneka ragam, dari konflik dengan lembaga penegak hukum lain, pengalihan opini publik dari sebuah peristiwa besar, hingga perebutan posisi penting di lingkup internal Polri.

Tutup mulut petinggi polisi, jaksa, menteri, hingga Presiden mudah ditafsirkan sebagai upaya penyelesaian perkara pelanggaran itu dengan diam-diam. Presiden Joko Widodo tidak boleh berkelit dengan mengatakan telah memanggil Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sembari mengatakan tidak terjadi apa-apa. 

Prinsip “jangan gaduh” yang selama ini diterapkan Jokowi dalam menyelesaikan kisruh antarlembaga adalah praktik buruk “menyembunyikan sampah di bawah karpet”. Tak berani mengambil risiko—karena banyak kepentingan di belakang konflik polisi-jaksa—Jokowi tampaknya lebih suka mengambil win-win solution ketimbang menegakkan hukum.

Presiden semestinya menghukum Kepala Polri dan Kepala Densus 88 seraya memastikan pengusutan korupsi timah di Kejaksaan Agung berjalan tanpa gangguan. Ia juga harus memastikan kejaksaan tak main kotor. Belum lagi kasus kuntit-menguntit selesai, kini ada laporan Febrie Adriansyah terlibat perkara janggal pelelangan aset sitaan negara di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kerusakan sistematis lembaga penegak hukum selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi kini menuai hasil. Setelah melumpuhkan komisi antikorupsi, sekarang dia membiarkan kejaksaan dan kepolisian berseteru karena urusan membekingi segelintir orang.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Detasemen Khusus Urusan Timah"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus