Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa perlawanan masif dari publik, rencana Presiden Joko Widodo dan sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengebiri kemandirian dan kewenangan KPK akan berjalan tanpa hambatan.
Langkah Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua wakilnya, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang, menyerahkan kembali mandat gerakan pemberantasan korupsi kepada Presiden patut didukung. Tindakan itu menegaskan rasa frustrasi mereka atas minimnya dukungan Jokowi kepada kerja KPK belakangan ini.
Contoh paling nyata adalah tindakan Presiden menyetujui rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tanpa sama sekali berbicara kepada pimpinan Komisi. Sejak awal, proses revisi itu terkesan diam-diam dan tergesa-gesa. Padahal tak ada kegentingan apa pun yang memaksa pembahasannya harus dikebut pada hari-hari terakhir masa tugas parlemen periode ini. Wajar jika publik curiga ada agenda terselubung mematikan KPK.
Apa pun dalih Presiden Joko Widodo, publik sudah pandai mencerna realitas. Faktanya: Istana setuju jika sepak terjang KPK diawasi sebuah lembaga yang merupakan kepanjangan tangan Presiden, setuju jika penyidikan bisa disetop dan status tersangka bisa dicabut, serta setuju semua pegawai KPK menjadi aparat sipil negara yang tunduk kepada aturan-aturan birokrasi pemerintah. Diakui atau tidak, ketiga persetujuan itu bakal mengakhiri keberadaan KPK seperti yang kita kenal selama ini.
Terpilihnya Firli Bahuri, mantan Deputi Penindakan KPK yang pernah terlibat pelanggaran etik, menjadi ketua baru komisi antikorupsi dalam sidang Komisi Hukum DPR pekan lalu menambah kecemasan kita. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu jelas-jelas tak punya respek terhadap kode etik, yang justru dibuat untuk memastikan tak ada konflik kepentingan dalam pemberantasan korupsi.
Rekam jejak Firli membuat masa depan KPK makin memprihatinkan. Apa yang bisa diharapkan dari seorang penegak hukum yang enteng saja memberikan perlakuan khusus kepada pejabat negara dan pemimpin partai politik? Belum lagi catatan soal kasus-kasus korupsi yang sengaja dihambat atau ditunda ketika Firli menjadi pejabat KPK. Terpilihnya Firli adalah tanggung jawab Presiden Joko Widodo, yang memberikan mandat dan menentukan komposisi panitia seleksi. Tak berlebihan kiranya jika publik menilai Presiden sudah jatuh dalam perangkap oligarki di sekelilingnya. Para aktivis pendukung Jokowi yang kini merapat ke Istana telah gagal mengawal agenda reformasi di jantung lembaga eksekutif.
Perubahan sikap dan komitmen Jokowi ini amat kentara jika kita bandingkan dengan hari-hari pertamanya menjadi presiden lima tahun lalu. Pada saat itu, bahkan untuk memilih menteri kabinetnya, Jokowi berkonsultasi lebih dulu dengan KPK. Dia berani mencoret nama menteri yang ditengarai bermasalah. Kepercayaan Jokowi kepada KPK ketika itu melambungkan harapan publik.
Kini semua tinggal kenangan. Presiden Joko Widodo terang-terangan mengabaikan aspirasi publik dan lebih percaya kepada bisik-bisik pembantunya. Keputusan Presiden soal KPK jelas diambil berdasarkan anggapan keliru mengenai kinerja dan integritas lembaga itu. Dia, misalnya, percaya bahwa KPK melakukan operasi tangkap tangan secara tebang pilih, melakukan rekrutmen penyelidik secara asal-asalan, serta melindungi pihak-pihak tertentu demi kepentingan politik. Padahal, untuk memeriksa ulang informasi salah kaprah yang diterimanya, Presiden tinggal meminta data yang imparsial dari pihak-pihak yang kompeten.
Dengan informasi yang akurat, Jokowi tentu tak perlu berkali-kali meminta KPK memperbaiki aspek pencegahan atau menyalahkan KPK karena peringkat Indonesia dalam indeks persepsi global soal korupsi tak kunjung membaik. Parahnya korupsi di Indonesia dipicu oleh lemahnya sistem peradilan dan buruknya akuntabilitas pendanaan partai politik. Solusinya bukan dengan mengurangi independensi dan kewenangan KPK, melainkan justru memperkuat daya jangkau komisi itu.
Sekarang, bola ada di tangan orang ramai. Masyarakat sipil perlu mendorong semua warga negara agar berbondong-bondong menyampaikan aspirasi mereka kepada parlemen. Jokowi sudah terpilih. Bukan saatnya lagi mendikotomikan publik berdasarkan kategori pendukung Jokowi atau Prabowo Subianto—dua kandidat presiden pada Pemilihan Umum 2019. Mengkritik Presiden bukan berarti mendukung Prabowo. Menolak pelemahan KPK bukan berarti mendukung radikalisme agama—fitnah sontoloyo yang selama ini kerap dilancarkan kepada Komisi.
Puluhan juta penduduk yang mencoblos Jokowi dalam pemilihan presiden lalu harus ikut bersuara. Mereka punya andil dalam kemenangan Jokowi dan harus didengar masukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo