Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Editorial Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
---
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK jalan untuk memperoleh penghargaan. Media sosial – Podcast, Youtube, Twitter, dan Instagram—terbukti mengantarkan mentalis Deddy Corbuzier mendapatkan anugerah pangkat Letnan Kolonel Tituler TNI Angkatan Darat dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Sabtu, 10 Desember 2022 lalu. Tapi media sosial pula yang paling pedas mencibir penyematan pangkat melalui ‘jalur khusus’ tersebut.
Berbagai kritikan itu muncul setelah Deddy dianggap mempunyai kemampuan khusus yang dibutuhkan oleh TNI, yakni kapasitas berkomunikasi di media sosial. Karenanya, mantan pesulap ini dinobatkan sebagai duta komponen cadangan (komcad) yang akan mengemban tugas mensosialisasikan dan berkampanye tentang isu-isu pertahanan di media sosial.
Pertanyaan paling mendasar dari kebijakan khusus ini adalah urgensi dari pemberian pangkat. Apakah peran Deddy sebagai duta komcad akan terhambat bila tanpa pangkat? Apakah kegiatan sosialisasi dan aktivitas kampanye mengenai isu pertahanan tak akan lancar tanpa pangkat ‘letnan kolonel’? Apalagi, Indonesia tidak sedang dalam kondisi darurat yang perlu pemberian pangkat segera.
Penganugerahan pangkat Tituler memang diperbolehkan. Pasal 5 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI menyatakan, pangkat tituler diberikan kepada warga negara yang sepadan dengan jabatan keprajuritan yang dipangkunya, serendah-rendahnya Letnan Dua. Bersifat sementara, pangkat Tituler bisa dicabut setelah yang bersangkutan tidak lagi memangku jabatan keprajuritan.
Dulu, Tituler disematkan kepada seorang pejabat yang bertugas meredam keadaan bahaya dan menjaga pertahanan negara. Itu sebabnya memerlukan pangkat militer. Pada perkembangannya, Tituler diperlukan karena seseorang membutuhkan kapasitas untuk bisa memerintah, berkoordinasi, atau mengendalikan personil yang dipimpinnya.
Idris Sardi (almarhum), contohnya. Komponis besar Indonesia ini menerima pangkat Letnan Kolonel Tituler sehubungan dengan tugasnya memimpin dan membina Korps Musik TNI. Contoh lain, Nugroho Notosusanto (almarhum), sejahrawan sekaligus mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang memperoleh pangkat Brigadir Jenderal Tituler karena bertugas memimpin Pusat Sejarah TNI dan menyusun sejarah nasional Indonesia.
Pertanyaannya, apakah Deddy akan memimpin personil tertentu?
Sosialisasi dan kampanye tentang isu-isu pertahanan sebenarnya adalah tugas kehumasan. Di organisasi militer seperti TNI, peran ini dijalankan oleh pejabat Dinas Penerangan. Kalaupun mungkin pejabat atau tim di Dinas Penerangan belum mahir berselancar di media sosial, institusi ini bisa meminta asistensi secara resmi kepada profesional di bidang media sosial. Ada banyak pegiat media sosial yang dengan senang hati membantu lembaga negara ini.
Di sisi lain, Deddy bisa mengemban tugas sebagai duta komcad tanpa pangkat. Tanpa gelar Letnan Kolonel Tituler, ia tetap bisa memperkuat fungsi kehumasan dengan mensosialisasikan dan mengkampanyekan isu-isu pertahanan. Itu sebabnya, pangkat Tituler yang telah disematkan kepada Deddy ditinjau ulang, bahkan kalau perlu dicabut sekalian.
Penganugerahan pangkat Tituler seyogyanya diberikan berdasarkan kebutuhan, bukan untuk tujuan yang diada-adakan. Salah kaprah pemberian pangkat Tituler bisa menyakiti para prajurit yang telah bertahun-tahun mengabdi dan meniti karir dari bawah.
Pemberian pangkat Tituler tidak bisa diobral sembarangan. Keputusan Prabowo jelas salah kaprah.