Kurtubi*)
*) Pengamat perminyakan dan energi
GELOMBANG liberalisasi listrik yang saat ini sedang berlangsung lebih merupakan suatu percobaan yang belum selesai. Kesimpulan itu akan didapat bila kita membaca berbagai pemberitaan menyangkut peng-alaman liberalisasi/restrukturisasi listrik di berbagai negara.
Indonesia mestinya tidak perlu ikut-ikutan menjadi bagian dari pionir eksperimen ini. Biayanya terlalu besar, tidak sebanding dengan benefit yang dijanjikan oleh hasil liberalisasi. Sambil menunggu pengalaman yang lebih komplet dari negara-negara kaya yang sedang bereksperimen, sebaiknya Indonesia lebih berkonsentrasi untuk memecahkan masalah 27 listrik swasta yang ada di depan mata agar tidak merugikan rakyat. Sementara itu, kalaulah pemerintah dan DPR ingin berkreasi yang positif dan memberikan manfaat bagi masyarakat, yang lebih mendesak untuk disusun, dibahas, dan diundangkan adalah UU Energi Nasional.
Listrik pada hakikatnya merupakan bagian dari sistem energi nasional yang tidak bisa dilepaskan dari pengelolaan sumber daya energi primer (batu bara, minyak, gas, panas bumi, dan tenaga air) yang lokasi dan jumlah cadangannya sangat bervariasi. Pengembangan setiap energi primer bergantung satu sama lain karena perilaku demand-nya bersifat cross-price elastic. Artinya, harga solar, misalnya, akan sangat mempengaruhi keekonomian pemakaian gas, batu bara, dan panas bumi untuk tenaga listrik. Adapun pemakian gas yang relatif lebih efisien dan lebih bersih dari batu bara membutuhkan investasi besar untuk dapat dimanfaatkan guna keperluan listrik di Pulau Jawa. Padahal panas bumi yang bersifat tidak bisa diperbarui dan tidak bisa diekspor justru sebagian besar berada di Jawa.
Kini fakta yang ada adalah kebutuhan listrik tidak terpenuhi padahal kita mempunyai sumber daya energi primer yang relatif "melimpah". Bahkan energi panas bumi untuk listrik justru menimbulkan skandal dengan munculnya kasus PLTP Dieng Patuha dan PLTP Karaha Bodas. Pembangkit di luar Jawa masih lebih banyak bergantung pada minyak solar yang harganya akan ditentukan oleh fluktuasi harga solar di pasar Singapura, sementara daya beli masyarakat di luar Jawa masih rendah.
Kesemua ini membutuhkan perencanaan energi termasuk kebijakan harga energi nasional. Payungnya adalah sebuah undang-undang. Dengan undang-undang payung seperti ini, penanganan kerusakan lingkungan akibat penambangan dan pemakaian energi, serta pengalokasian sumber daya energi primer untuk keperluan pemenuhan kebutuhan listrik yang terjangkau oleh masyarakat tanpa harus disubsidi, akan mempunyai landasan hukum yang kukuh. Undang-undang ini akan mampu mempertemukan secara harmonis undang-undang lain di bidang energi: migas, batu bara, panas bumi, energi baru dan terbarukan, serta undang-undang lingkungan hidup. Dengan demikian pengembangan semua jenis energi tidak akan bertabrakan atau terjadi duplikasi.
Ketiadaan undang-undang energi ini membuat format kebijakan harga BBM seperti pada Keppres No. 9/2002 menjadi sangat rancu dan bersifat parsial tanpa memperhatikan harga energi lainnya. Padahal dampak dari kebijakan harga BBM sangat mempengaruhi tingkat pemakaian gas, batu bara, panas bumi, bahkan tingkat polusi.
Dengan demikian, "pemaksaan" dari lembaga keuangan internasional agar RUU Kelistrikan segera disahkan seyogianya ditolak dengan memberikan alternatif untuk menyusun RUU Energi Nasional. Terlebih undang-undang kelistrikan bertujuan meliberalisasi industri kelistrikan yang menurut konstitusi harus dikuasai oleh negara. Berdasarkan pengalaman dari negara-negara yang sedang melakukan liberalisasi kelistrikan, mengubah struktur industri yang bersifat monopolistic menjadi "competitive" bukanlah perkara sederhana. Pasalnya, sejak industri listrik lahir lebih dari seabad yang lalu, struktur industri/pasar listrik di seluruh dunia selalu dalam bentuk monopoli dengan pola usaha integrasi vertikal. Artinya, pembangkit, transmisi, distribusi, dan penjualan berada di bawah satu atap. Janji dari teori pasar persaingan yang akan mampu menekan harga jual dan menaikkan kualitas layanan sulit untuk bisa terwujud di industri/pasar listrik.
Hingga saat ini pengalaman dari liberalisasi kelistrikan masih belum cukup meyakinkan untuk ditiru dan diterapkan di Indonesia. Meniru suatu percobaan untuk meliberalisasi cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, di samping mengandung risiko kegagalan yang besar yang harus ditanggung masyarakat, juga jelas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33.
Kegagalan liberalisasi di Brasil, Kolombia, Kamerun, California (AS), dan Alberta (Kanada) secara nyata harus dibayar oleh rakyatnya, baik berupa pemadaman maupun berupa melonjaknya harga listrik. Menerapkan pasar persaingan di industri kelistrikan tidak otomatis akan menghasilkan harga listrik yang lebih murah. Kini banyak pihak di AS menuntut perlunya mencantumkan di undang-undang kelistrikan adanya kewajiban untuk menurunkan harga sehingga masyarakat secara pasti dapat diuntungkan dengan program liberalisasi. Hal ini diutarakan oleh J.A. Wright and Associates of Marietta dalam laporannya yang berjudul The Impact of Competition on the Price of Electricity.
Karena kondisi ekonomi Indonesia tidaklah sekuat California, atau Alberta, atau Brasil, atapun Kamerun, lebih baik pemerintah dan DPR bersabar. Tunggu saja sampai mereka punya bukti empiris pengalaman yang lebih lengkap, baru kita tiru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini