Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Koalisi Konstitusi Baru Menjawab

1 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mochtar Pabottingi*) *) Peneliti senior LIPI Sejumlah kebenaran dapat ditarik dari dua kritik Goenawan Mohamad terhadap Koalisi untuk Konstitusi Baru (KKB) dalam dua edisi TEMPO terakhir. Kolom Rizal Mallarangeng (Tempo, 25 Agustus), praktis menyuarakan hal yang sama. Di sini saya meminta izin kepada KKB untuk menyanggah kebenaran-kebenaran itu. Sanggahan saya pusatkan pada bagian-bagian yang patut dikomentari dari kedua tulisan Goenawan Mohamad (GM). Dalam Catatan Pinggir berjudul Tempurung (TEMPO, 25 Agustus) dan kolom berjudul Konstitusi 2002 (TEMPO, 1 September), GM menyampaikan argumen-argumennya secara runtut, meyakinkan (mungkin hingga sebelum diusik oleh tulisan ini), sarat dengan kearifannya yang khas, dan quintessential jurnalisme TEMPO: enak dibaca dan perlu. GM menyatakan bahwa "sebuah konstitusi adalah sebuah perjalanan dengan dan ... dalam kata". Proses penyusunannya adalah proses bahasa, tempat kita "tak bisa mengharapkan sesuatu yang ... selamanya klop"; tempat "tak seorang pun bisa mengharapkan kesepakatan penuh, apalagi buat selama-lamanya"; dan tempat "kata yang aku ajarkan pada akhirnya membentuk sebuah wilayah yang terpisah dari aku yang memaksudkannya". Argumen "dengan dan dalam kata" ini hanya tepat sejauh digunakan dalam pengertian umum para pemikir bahasa, khususnya kaum post-modernists. Ia menjadi complacent, jauh dari sasaran, dan sekaligus tak bertanggung jawab jika dikenakan pada hal sepenting penyusunan konstitusi. Konstitusi adalah kontrak politik dan kontrak hukum tertinggi dari setiap nasion yang menentukan kiprah negara dan hidup-mati jutaan hingga semiliaran juta warganya. Maka, konstitusi selalu disyaratkan memiliki rasionalitas politik dan hukum yang ketat, rigorous, dan terpadu. Ia wajib menutup dan sevisioner mungkin mengantisipasi setiap kemungkinan distorsi pengertian, peluang kesalahjalanan atau penyalahgunaan kekuasaan, betapapun kecilnya, terutama oleh negara. Setiap penyusun konstitusi dituntut untuk mewaspadai distorsi, inkoherensi, perangkap, pelesetan, trauma, ruptures, kontestasi dan kontradiksi, emergencies, serta segala potensi bahaya tak terduga dan/atau perusak rasionalitas politik yang bisa ditimbulkan suatu kata, apalagi ayat atau pasal, di dalamnya. Sudah sedari awal Bung Karno menyadari bahwa UUD 1945 adalah konstitusi yang banyak kekurangannya, bukan baru "kemudian ternyata... jadi cacat". Maka sebelum kita menghadapi die neue Unubersichtlichkeit dari Habermas, kita pertama-tama harus menghadapi die alte Ubersichtlichkeit dari pelbagai cacat konstitusional kita yang sudah puluhan tahun gamblang. Begitu juga dengan apa yang disebut Charles S. Maier "Politikverdrossenheit"—parah dan memuakkannya keserakahan dan kemiskinan etika dan visi di ketiga cabang pemerintahan kita: kumulasi warisan politik rezim Soeharto, yang terus melanda bangsa kita hingga kini. Lantaran konstitusi tak bisa diubah tiap tahun dan yang, demi stabilitas politik, perubahannya memang mesti tak digampangkan, ia haruslah disusun dengan kerja sekeras dan deliberasi seluas mungkin agar ia pun memperoleh kesepakatan dan dukungan sepenuh mungkin. Di sini, kata "kesepakatan" dan "dukungan" mestilah lebih mengacu pada penyantunan atas prinsip musyawarah non-diskriminatif dari mereka yang sudah teruji kompetensi dan integritasnya untuk merumuskan naskah konstitusi dibanding kepada "jumlah suara" pendukung gagasan-gagasan tertentu di dalamnya. Per prinsip, yang harus menjadi subyek dalam penyusunan konstitusi di mana pun adalah nasion—kolektivitas politik di atas mana ia disusun dan negara didirikan, bukan suatu cabang pemerintahan, apalagi partai politik. Posisi ini sudah niscaya bahkan sebelum kita melihat parahnya etika dan keserakahan di kalangan para pelaksana ketiga cabang pemerintahan kita. Setiap yang arif politik mengetahui bahwa konstitusi tidak menjadi kuat dan dipatuhi rakyat semata-mata karena amandemennya dilakukan dan ditetapkan oleh parlemen, melainkan pada sejauh mana lembaga ini benar-benar menyantuni aspirasi rakyat dan mampu menerjemahkannya secara cerdas dan terpadu. Itulah yang dilakukan oleh Thailand, Filipina, dan Afrika Selatan, dan teladan itu pulalah yang dirujuk oleh KKB. Pendasaran konstitusi pada nasion (bukan nasionalisme!) inilah yang diterjemahkan dengan baik sekali oleh ketiga negara itu. Konstitusi Amerika menjadi sangat kuat sedari mula bukan lantaran jumlah suara pendukung dari tiap ayat dan pasalnya, melainkan pertama sekali karena ia terbangun dengan rasionalitas politik yang prima berkat pertandingan akal budi politik—adu deliberasi—yang intens dan panjang dari mereka yang disebut Tocqueville the finest minds dan/atau the noblest characters pada bangsa itu. Ini rinci terekam dalam The Federalist Papers. Penyusunan konstitusi yang sedari awal sudah ditandai dengan voting dan banyak lobby—seperti pada "Konstitusi 2002"—adalah pertanda ketakmampuan deliberasi akal budi politik di kalangan para penyusunnya. Kami tak bicara tentang konstitusi yang berlaku "selama-lamanya". Tetapi setiap orang yang mengerti upaya penyusunan konstitusi akan mengakui bahwa itu wajib disusun sedemikian rupa sehingga menjadi kuat, terpadu, koheren, dan komprehensif dengan antisipasi dan daya tahan yang kuat ke masa depan. GM benar ketika mengibaratkan MPR sebagai sebuah "pasar". Tetapi metafora ini bisa menyesatkan jika dibawakan pada penyusunan konstitusi. Sebab, seperti sudah diutarakan, konstitusi pertama sekali adalah milik—dan dituntut untuk mengutamakan—nasion secara keseluruhan. Sebagai entiti politik, nasion mengatasi ketiga cabang pemerintahan. Dalam demokrasi, hak dan eksistensinya tetap harus disantuni, juga setelah negara beserta perangkat dan mekanisme kelembagaannya terbentuk dan berjalan. Penyusunan konstitusi tidak bisa dibawa kepada para pelaku "pasar" yang umumnya ditandai pelbagai kepentingan sempit, seperti yang memang terbukti dalam proses dan hasil rangkaian amandemen UUD 1945. Konstitusi tidak disusun atas dasar daya beli, melainkan atas daya rasionalitas politik yang bertumpu pada prinsip dari, oleh, dan untuk rakyat, yang selama ini saya sebut prinsip otosentrisitas. Dalam literatur penyusunan atau pembaruan konstitusi, belum pernah saya temukan instansi dari metafora "komite" yang disusun para "katak" dan "kecebong" dalam "tempurung". Ini merupakan nalar yang bertentangan pada dirinya dan batal dengan sendirinya. Ketika Adam Przeworski, misalnya, bicara tentang "pasar" dalam demokrasi, ia bicara dalam konteks dan asumsi pasca-konstitusi, yaitu setelah konstitusi yang sanggup mengatur mekanisme "pasar" secara adil—dalam ranah ekonomi ataupun politik—sudah tersusun rapi. Itu pula sebabnya mengapa KKB berjuang sekeras mungkin untuk dua target sekaligus: menyelamatkan hasil-hasil amandemen Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR dari ancaman para pendukung "dekrit kembali ke UUD 1945" dan membawa kerja penyempurnaan amandemen pada suatu komisi independen yang kompetensi dan integritasnya teruji dan transparan, meski tetap dalam otorisasi MPR. Kami tetap mengakui keabsahan MPR sebagai lembaga tinggi negara dan mengakui hasil kerjanya. Namun, khusus dalam penyusunan konstitusi kami tetap mengutamakan nasion—komunitas politik bangsa kita secara keseluruhan, yaitu perlunya partisipasi seluas, searif, dan secerdas mungkin dari segenap komponen bangsa yang memiliki kompetensi dan integritas. GM menggarisbawahi perlunya kita bersyukur atas tak masuknya wacana "pribumi" dan "ketujuh kata dari Piagam Jakarta" serta golnya pasal-pasal hak asasi manusia ke dalam konstitusi kita. Seperti juga terlihat pada pernyataan keras KKB terhadap "gerakan dekrit kembali ke UUD 1945", ketiga hal itu pun merupakan bagian penting dari perjuangan kami dan karena itu juga mensyukurinya. Tetapi, berbeda dengan GM, "Konstitusi 2002" bagi kami mengandung pelbagai irasionalitas—prosedural ataupun esensial—yang dalam ukuran rasionalitas demokrasi mestinya sekaligus merupakan ketakabsahan prosedural dan ketakabsahan esensial. Irasionalitas prosedural dari kerja Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR terlihat, misalnya, pada berlebihannya kepentingan-kepentingan politik sempit dan politik dagang sapi selama proses amandemen, diterimanya secara salah kaprah kebijakan adendum model Amerika yang rasionalitas politik konstitusinya sudah kukuh sedari awal, dan dijadikannya tim ahli pendamping Panitia Ad Hoc ataupun proses uji sahih hasil amandemen praktis hanya untuk etok-etok. Irasionalitas esensial terlihat antara lain pada ditolaknya penyerahan urusan penyusunan konstitusi per prinsip pada nasion oleh Panitia Ad Hoc I BP MPR; tiadanya paradigma demokrasi yang jelas di awal upaya amandemen; dibalikkannya ketakseimbangan kekuasaan atau batalnya prinsip checks and balances dengan konsekuensi logis lebih menggilanya lagi penyalahgunaan kekuasaan dalam negara kita; tak bergiginya Mahkamah Konstitusi. Kedua rangkaian irasionalitas itulah yang mementahkan ketiga capaian positif yang dirujuk oleh para pengritik KKB. Sudah kita saksikan dan rasakan bertambah parahnya pelbagai akibat di bidang politik, ekonomi, hukum, dan moral kepemimpinan dari penyalahgunaan kekuasaan legislatif dan sinergi jahat barunya dengan kekuasaan eksekutif dan yudikatif di pusat ataupun di daerah-daerah. Inilah yang lebih memperburuk krisis multidimensi yang telah mendera bangsa kita sejak 1996. Bom waktu politik juga mengancam Pemilihan Umum 2004. Ini lantaran berpadunya ketiadaan the right law enforcement dan hadirnya pada "Konstitusi 2002" dua pasal yang potensial bertanding dan bertolak belakang dalam momen pemilihan presiden itu. Bagaimanakah nasib bangsa dan negara yang memang sudah terpuruk amat dalam ini jika hasil pemilihan presiden langsung dari putaran kedua berdasarkan Pasal 6A, kalau sampai ke situ, ditolak orang banyak dan/atau dimanipulasi oleh penguasa sendiri sehingga lepas dari tujuannya—karena berbagai muslihat dan kemungkinan rekayasa, politik uang, dan permainan undang-undang? Sanggupkah Mahkamah Konstitusi, yang sengaja dibuat tak bergigi oleh amandemen Panitia Ad Hoc I BP MPR, mengatasinya? Mustahilkah Pasal 8 konstitusi mendadak jadi alternatif kontroversial bagi kontroversi itu? Sekali lagi, ini semua hanya dapat diatasi dengan membentuk suatu Komisi Konstitusi "independen" dengan kewenangan yang kuat. Perobekan naskah rancangan ketetapan MPR untuk Komisi Konstitusi mestilah dilihat dalam konteks keprihatinan mendalam akan kian besarnya potensi krisis konstitusional yang kita hadapi beserta potensi pembalikan ke format politik Orde Baru di bawah para penguasa panggung politik kita dewasa ini. Bambang Widjojanto menyebut tindakannya "hak untuk marah". Saya menyebutnya "kemarahan yang haq". Saya besertanya dalam tindakan itu. Di sini judul buku Bung Wimar menjadi klop: no regrets!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus