Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sebuah Hari Esok untuk Nana

Film terbaru karya Kamila Andini yang diangkat dari satu bab biografi ibunda Jais Darga. Sebuah puisi yang tampil dengan lirih sekaligus menyala.

6 September 2022 | 09.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEFORE, NOW & THEN (NANA)

Sutradara: Kamila Andini
Skenario: Ahda Imran dan Kamila Andini
Berdasarkan satu bab roman biografi “Jais Darga Namaku” oleh Ahda Imran
Pemain: Happy Salma, Laura Basuki, Arswendy Beningswara, Ibnu Jamil
Produksi: Fourcolours Films dan Titimangsa 

* * *

Di ujung lorong itu, Nana (Happy Salma) dengan kebaya biru, selendang biru muda dan payung cantik berdiri memandang siluet seorang lelaki berseragam dari kejauhan. Perlahan-lahan mereka melangkah di tengah lorong yang remang itu. Ditimpa seberkas cahaya, wajah sang lelaki tampan (Ibnu Jamil) itu mendekat wajah Nana yang ayu yang menunduk malu, “Kunaon urang teh bet kudu kiue atuh Na” 

Ada kepedihan, ada yang tertahan dalam kalimat, “Mengapa kita bisa begini." Raden Icang seolah mengusap wajah Nana dengan matanya, tetapi tak bisa menyentuhnya karena Nana adalah isteri Menak Sunda Raden Dargawijaya (Arswendy Beningswara).

“Nana” adalah film ke empat sutradara Kamila Andini yang kini sudah ditayangkan di platform Prime Video. Film yang bertanding di Berlin International Film Festifval tahun ini bukan saja dipuji puji kritikus karena temanya yang personal sekaligus memiliki setting sejarah sebagai latar, tetapi juga karena Kamila Andini berhasil mengarahkan seluruh elemen sinema dan para pemainnya sebagai kesatuan yang pas.

Di dalam bahasa Inggris, film ini berjudul “Before, Now & Then” yang sebetulnya mewakili kisah hidup Raden Nana Sunani, ibunda art dealer Jais Darga yang biografinya ditulis Ahda Imran dan diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia. Adapun kisah Nana yang diangkat menjadi film adalah satu bab dalam novel ini yang bertutur tentang ibunda Jais Darga.

Nana ‘masa kini’ di dalam film adalah seorang isteri menak, Raden Dargawijaya (Arswendy Nasution) beranak tiga, salah satunya adalah Dais (Chempa Puteri ) hubungannya dekat dengan Nana. Kehidupan keluarga menak di tanak Priangan yang digambarkan pada awal film terlihat damai, tentram, mesra. Nana memotong rambut Darga, sementara sang suami memuji kecantikan isterinya yang tak kunjung punah. Setelah beberapa menit kesan keharmonisan pasangan itu, dengan halus Kamila Andini menguak luka yang  mengucurkan darah. Adegan demi adegan subtil—surat dari seorang perempuan yang mempersoalkan absensi Darga—atau perempuan lain, atau perempuan lain lagi yang menunjukkan Dargawijaya, betapapun dia mencintai isterinya, toh memiliki beberapa perempuan di mana-mana. 

Paruh kedua film ini semakin mengejutkan, karena paradigma klise tentang perseteruan perempuan merebut seorang lelaki ternyata tak pernah terjadi. Apa yang terjadi justru sebuah persahabatan yang kuat dan solid penuh solidaritas antara Nana, sang istri, dan Ino, sang selir. Persahabatan Nana yang lembut dan pendiam dengan Ino yang asertif dan  pemberontak itu terjadi karena mereka cocok berdiskusi di antara asap rokok dan cipratan air sungai. Akrab, intim, penuh rasa percaya dan merobohkan segala stereotip buruk tentang perempuan. Mungkin adegan-adegan persahabatan Nana dan Ino adalah segmen yang paling refreshing, inovatif sekaligus misterius.

Sutradara Kamila Andini mengaku, dia hanya mengambil satu  bab dari roman biografi  “Jais Darga Namaku” karya Ahda Imran “karena film ini (menceritakan) tentang ibu Jais (Raden Nana Sunani) dan memang hanya bab itu yang bercerita tentang ibunya,” demikian Kamila Andini.

Satu bab inilah yang ternyata menjadi sebuah film sunyi, slowburning yang sesungguhnya menyajikan nyala api di dalam para perempuan. Nana dengan nyala api cinta yang tak pernah padam kepada lelaki yang “harum tubuhnya tak bisa dilupakan” dan Ino yang nyala api kemerdekaan dirinya. Tentu, tentu semua dilakukan dengan suara lirih, tetapi di masa itu, ketika kehidupan politik dan sosial tengah berkobar-kobar, persoalan-persoalan cinta dan rumah tangga memang bukan sebuah prioritas. 

Suasana politik tahun 1960-an di dalam film ini hanya seliweran melalui berita radio atau bisik-bisik gosip tentang Ino atau mereka yang diburu. Ini bisa dilihat sebagai ‘kelemahan’ bagi penggemar film berlatar belakang sejarah. Namun sejak awal, Kamila Andini sudah memilih dan menunjukkan sikap: dia tertarik untuk menyorot kehidupan Nana. Karena itu  fokus kamera dan cerita lebih mengutamakan kisah (cinta) Nana dan pelbagai pilihan hidupnya.

Meski hanya Laura Basuki yang diberi ganjaran penghargaan Silver Bear untuk penampilannya sebagai pemeran pendukung, tentu saja tak bisa kita tak mungkin mengabaikan penampilan Happy Salma sebagai Nana. Seorang ibu, seorang istri, seorang perempuan yang mempunyai hasrat yang tak pernah padam. Juga penampilan Arswendy Beningswara  dan Ibnu Jamil yang berperan sebagai dua lelaki penting dalam hidup Nana sungguh bersinar. Belum lagi wardrobe para menak yang sederhana, tidak menyala-nyala sesuai jamannya ditangani dengan baik oleh Retno Ratih Damayanti atau pilihan musik yang pas (dengarkan lagu tradisional dan beberapa lagu karya Mochtar Embut  itu). 

Semuanya itu ditangkap oleh sinematografi Batara Goempar yang mampu menciptakan puisi hanya dari gerakan kecil Happy Salma. Dan itu semua adalah berkat tangan Kamila Andiri yang juga merupakan ibu sekaligus bapak dari seluruh tim ini.

LEILA S. CHUDORI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Leila S. Chudori

Leila S. Chudori

Kontributor Tempo, menulis novel, cerita pendek, dan ulasan film.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus