Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESEKALI kita bicara tentang sepak bola. Apa boleh buat, sudah dua pekan penuh turnamen Piala Dunia di Jerman merampas semua perhatian kita. Akibat gempa Yogya seakan terlupakan, de-rita penduduk yang terendam lumpur di Sidoarjo seperti tenggelam begitu saja. Bola, bola, dan hanya bola yang diperbincangkan orang di mana-mana. Rating satu sampai sebelas acara televisi yang ditonton pemirsa adalah siaran sepak bola dari Jerman.
Piala Dunia masih akan berlangsung sam-pai 9 Juli nanti. Barangkali produktivitas- pe-gawai, terutama pegawai negeri yang me-mang sudah rendah, akan menurun sedi-kit. Tapi selalu ada sisi yang baik. Negeri ini per-lu hiburan sejenak. Kita capek didera bencana dan segudang masalah. Me-nonton sepak bola merupa-kan sarana refreshing yang se-gar, murah, menjangkau la-pisan yang sangat beragam—da-ri kafe yang mahal sampai tenda-tenda korban bencana.
Dari kegiatan menonton ini saja ekonomi negeri akan mendapat manfaat. Ajang kelas dunia ini diman-faatkan para produsen untuk memasang iklan besar-besaran. Konsumsi makanan kecil dan minuman ringan akan meningkat. Belum lagi konsumsi bir, kopi, teh, dan gula. Juga perlu dihitung belanja kaus bola, suvenir, atau pernak-pernik bola yang lain. Konsumsi akibat bola ini akan menambah kencang roda ekonomi, multiplier effect-nya akan merembes ke sektor-sektor lain.
Hubungan antara sepak bola dan ekonomi ini bukan kha-yalan semata. Sebuah riset unik dari ABN Amro, bank Belanda itu, pada Maret lalu, membuktikan hubung-an jelas itu. Riset membuktikan, akibat semua orang di kantor bica-ra tentang bola, dampaknya memang tidak parah, misal-nya terjadi resesi ekonomi. Sebuah temuan yang b-iasa saja.
Yang menarik adalah hasil riset yang membuktikan hubungan antara keberhasilan suatu negara meraih gelar juara Piala Dunia dan pertumbuhan ekonominya. Istilah win-n-er takes all terjadi di sini. Juara Piala Dunia akan meng-ambil seluruh manfaat ekonomi yang datang berkat prestasi puncak yang diraih. Riset yang menghitung fe-nomena ini sejak Piala Dunia 1970 menemukan bahwa juara Piala Dunia menikmati bonus tambahan pertum-buh-an ekonomi sebesar 0,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sebaliknya negara yang kalah di final menderita penurunan pertumbuhan 0,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Kajian tentang pasar saham selama tiga Piala Dunia yang terakhir memperkuat temuan tadi. Negara yang menang di Piala Dunia ternyata menikmati pertumbuhan indeks saham positif rata-rata 10 persen. Bagi yang kalah di final, indeks sahamnya turun 25 persen.
Ada perkecualian di Piala Dunia 1974 di Jerman dan Piala Dunia 1978 di Argentina. Ketika itu tuan rumah berhasil meraih gelar juara, Belanda dua kali merebut gelar runner-up. Apa yang terjadi dengan ekonomi Jerman dan Argentina? Pertumbuhan ekonomi Jerman malah anjlok hampir 5 persen pada 1975, sementara pertumbuhan ekonomi Belanda hanya melambat kurang dari 1 persen. Nasib Argentina lebih parah. Ketika tim sepak bolanya juara pada 1978, setahun berikutnya pertumbuhan ekonomi jatuh 11 persen, sedangkan pelambatan pertum-buhan ekonomi juara kedua Belanda hampir tak terasa.
Data lain juga menarik. Ketika Belanda men-juarai P-iala Eropa 1988, indeks saham Amsterdam Stock Exchange naik 29 persen dibanding tahun sebelumnya. Setiap kali Belanda lolos ke putaran final Piala Dunia, konsumsi bir penduduk Belanda dalam setahun meningkat hampir se-puluh persen menjadi 84 liter per kepala.
Negara mana pun yang masuk babak final Piala D-unia 2006 perlu hati-hati kalau Belanda nanti masuk final. Lawan Belanda, tak perduli menang atau kalah di final, bisa-bisa mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi tahun depan....
Riset itu jelas tidak menghitung manfaat ekonomi P-iala Dunia untuk negara non-peserta putaran final seperti Indonesia. Dan berharap PSSI secepatnya berlaga di putaran final Piala Dunia rasanya tidak realistis. Mutu sepak bola kita masih tiga sampai empat tingkat di bawah Ghana, Iran, Jepang, Korea, atau Arab Saudi.
Tapi sepak bola lokal bukan tak bisa mendatangkan man-faat ekonomi. Modal utama sudah tersedia: fanatisme tinggi pada sepak bola. Kompetisi Liga Utama Indonesia, yang diikuti 32 klub, diam-diam sudah mendatangkan kese-jahteraan lumayan untuk pemainnya. Gaji pemain pemula saja sudah Rp 3 juta sebulan. Pemain nasional bergaji sedi-kitnya Rp 15 juta sebulan.
Soalnya tinggal memutar roda kompetisi antarklub—yang kini macet—untuk kelompok usia 15 tahun, 18 tahun, dan 23 tahun. Kalau kompetisi lancar, sponsor akan datang, siaran televisi bisa masuk, dan stadion-stadion akan mulai dipadati penonton. Dari pendapatan yang masuk, jumlah sta-dion bisa ditambah, kualitas lapangan bola ditingkatkan, dan diharapkan pertandingan makin bermutu. Pema-in pun akan menikmati gaji dan bonus yang lumayan untuk hidup.
Dengan begitu, sepak bola lokal bisa ikut diajak memperbaiki ekonomi negeri, tanpa harus bermimpi untuk cepat-cepat ikut saling serang di Piala Dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo