Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bulan Juni menjadi sebuah bulan suram bagi siswa SMU di Indonesia. Angka 92,5 persen yang berhasil lulus Ujian Nasional, yang dianggap sebuah kenaik-an yang signifikan dari 80,76 persen dari tahun sebelumnya, tetap menimbulkan kontroversi besar.
Kesuraman itu tentu dirasakan para siswa dan para orang tuanya yang tak lulus Ujian Nasional, bukan ha-nya karena mereka harus mengulang lagi tahun depan, tapi cukup banyak murid-murid yang tak lulus ini t-ernyata m-urid-murid pandai yang sudah telanjur diterima di perguru-an tinggi negeri terkemuka dan hasil rapor tahunannya pun- menunjukkan bahwa mereka murid pandai. Kesuram-an- menjadi kehebohan karena pengumuman ini bahkan berlarut-larut menjadi suasana tragis tatkala seorang murid nekat menenggak cairan pemutih untuk mengakhiri hi-dupnya, meski akhirnya dapat diselamatkan ayahnya yang sigap membawanya ke rumah sakit.
Kontroversi yang lahir dari peristiwa ini menjadi le-bih menekan dibanding setahun silam karena para orang tua dan guru menuntut—sebagian bahkan sudah siap berkunjung ke DPR—untuk mengimbau diadakannya ujian susulan secepatnya. Sebagian dari mereka, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, tak setuju dengan adanya ujian su-sulan (seperti yang diadakan setahun silam) karena, menurut dia, itu tak adil bagi mereka yang sudah belajar mati-matian dan berhasil lulus.
Sebagian lagi menganjurkan agar bagi yang tak ber-hasil lulus untuk “mengejar” atau menamatkan sekolah melalui Ujian Paket C, yaitu sebuah ujian bagi pendidikan nonformal yang disetarakan dengan ijazah SMA. Inilah sebuah ujian bagi mereka yang sempat terputus sekolahnya di masa lalu. Ketua Komisi X DPR yang mengurusi bidang pendidikan, Zuber Safawi, dan sejumlah guru dan kepala sekolah di Jakarta tak setuju dengan alternatif ini; bukan saja karena Ujian Paket C baru diadakan Oktober (sementara mahasiswa baru mulai masuk kuliah di perguruan tinggi pada Juli), tetapi juga karena mereka menganggap proses belajar-mengajar para murid biasa sangat berbeda dengan murid paket C.
Ada dua hal penting yang perlu dipelajari dari kasus ini. Pertama adalah dengan jumlah murid yang tidak lulus dalam Ujian Nasional (bahkan ada beberapa sekolah yang tingkat kelulusannya 0 persen) menunjukkan kua-litas sekolah di Indonesia masih terlalu beragam; belum lagi memperhitungkan murid-murid yang masih bersekolah dalam keadaan sangat minim seperti di Aceh pasca-tsunami (dan nantinya murid-murid sekolah korban gempa di Yogyakarta). Pemerintah sama sekali tidak memperhitungkan bahwa hasil pendidikan bukan ha-nya terletak pada hasil akhir, tetapi juga pada proses. Penyakit bangsa kita selalu mementingkan angka akhir, dan tak mempedulikan apakah kita menghasilkan anak atau murid yang memang betul berkompetensi dan berisi. Akibatnya terjadilah hasil Ujian Nasional yang justru tidak meluluskan anak-anak yang sehari-hari dikenal sebagai siswa pandai dan terpaksa terjegal setahun hanya karena pagar yang bernama Ujian Nasional ini.
Kedua, dengan argumen pertama, seharusnya peme-rin-tah mempercayakan pada sekolah-sekolah untuk mem-ben-tuk kurikulum dan ujian akhir yang kompeten, yang memang memperlihatkan kemampuan murid-mu-ridnya seha-ri-hari. Dengan demikian kita harus memperta-nya-kan apakah Ujian Nasional adalah sebuah sistem yang efektif untuk memperlihatkan mutu para pelajar SMA dan calon mahasiswa kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo