Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MACHIAVELLI Jawa (Javanese Machiavelli) bertindak dengan kepercayaan diri yang tinggi sebagai aktor politik realis. Ia mempraktikkan kekuasaan sebagaimana adanya (power as it is), tanpa pertimbangan moral dan keutamaan publik (public virtue). Baginya, lokus moral berada di luar domain politik dan dipisahkan sepenuhnya dari kekuasaan. Ia tidak memerlukan lagi rujukan dan legitimasi moral untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Realisme politik tanpa etika dan moral tecermin pada kepemimpinan Machiavellian yang penuh kemunafikan, kebohongan, dan kelicikan. Lebih dari 500 tahun silam, inilah nasihat politik Machiavelli (1469-1527) dalam The History of Florence and The Prince (1888:452-53) kepada Pangeran:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
(1) “menjadi seorang munafik dan pembohong yang hebat” (to be a great hypocrite and a liar);
(2) “mencapai hal-hal besar harus belajar menipu” (to accomplish great things must learn to deceive); dan
(3) “tidak pernah kekurangan alasan yang sah untuk mengingkari janji-janjinya” (never lacks legitimate reason to break his promises).
Seluruh nasihat itu menemukan kebenaran dan relevansi politiknya pada gaya kepemimpinan Machiavelli Jawa yang menjalankan kekuasaan melalui “politik tipu muslihat” (the politics of deception).
Politik tipu muslihat berjalan efektif dalam konteks kekuasaan Jawa. Ben Anderson dalam Language and Power (2018:150) menyebutkan kekuasaan Jawa “terobsesi terhadap intrik, sandiwara, permainan politik di panggung, bahkan aspek estetis perilaku politik”. Dalam drama politik yang simbolik, Machiavelli Jawa berhasil memanipulasi persepsi publik melalui pertunjukan kepribadian Machiavellian yang hipokrit: apa yang diucapkan kepada publik secara indah dalam permainan politik di panggung depan sering kali berbeda dengan apa yang sebenarnya dikerjakan secara banal dalam permainan politik di balik layar.
Dengan praktik politik kemunafikan, kebohongan, dan tipu muslihat, Machiavelli Jawa bertindak sebagai aktor politik realis yang berpengaruh luas dan hegemonik karena kemampuan liciknya dalam menggunakan seluruh sumber daya politik, bisnis, dan hukum untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan oligarkinya.
Dunia politik dan kekuasaan memang berputar pada hukum yang diatur sepenuhnya untuk kepentingan dirinya, tanpa peduli dengan retorika moral, etika, dan keutamaan publik. Politik, baginya, berada sepenuhnya pada domain kelicikan dan pengkhianatan. Hasrat untuk berkuasa dan bertahan lama di tampuk kekuasaan harus disertai dengan sikap realis dan pragmatis dengan menggunakan seluruh sumber daya politik yang menghalalkan segala cara.
Tentu saja Machiavelli Jawa tidak pernah terpikir membaca nasihat politik Machiavelli kepada The Prince: “Semua orang tahu betapa terpujinya bagi seorang pangeran untuk menepati janjinya dan hidup dengan integritas moral dibandingkan dengan tipu muslihat. Namun pengalaman di zaman ini menunjukkan kepada kita bahwa para pangeran yang telah mencapai hal-hal besar adalah mereka yang tidak terlalu peduli untuk menjaga kepercayaan kepada rakyat dan yang menggunakan kepintaran untuk membingungkan pikiran-pikiran manusia.”
Meskipun nasihat politik ini tidak pernah terlintas dalam pikiran Machiavelli Jawa, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang ia kerjakan ternyata sama persis dengan isi nasihat Machiavelli kepada The Prince. Terbukti Machiavelli Jawa mempraktikkan politik tipu muslihat bukan sekadar sebagai ekspresi pengkhianatan kepada partainya, melainkan juga sebagai politik pembodohan kepada rakyatnya.
Ia tidak pernah memprioritaskan investasi modal manusia sebagai faktor penentu bagi kecerdasan rakyat dan kemajuan bangsa. Kecerdasan rakyat sengaja dibiarkan rendah dan tertinggal jauh dari bangsa-bangsa maju di dunia agar mudah ditipu daya. Politik tipu muslihat ini menjadi efektif dalam republik yang, sesuai dengan World Population Review (2022), tingkat IQ warganya berkisar di angka 78,49, berada pada peringkat ke-130 di dunia, bahkan terendah di Asia Tenggara.
Tentu saja Machiavelli Jawa tidak pernah menyadari bahwa republik yang dijalankan melalui politik dan kekuasaan yang terpisah dari panduan etika dan moral justru menjadi akar kemunduran suatu bangsa. Simaklah, “akar penyebar keruntuhan masyarakat Romawi”, menurut Edward Gibbon dalam The History of the Decline and Fall of the Roman Empire (1776-1788), adalah “hilangnya keutamaan publik”. Dan “republik tanpa keutamaan (virtue)”, kata pendiri Amerika, James Madison (1751-1836), “bukanlah republik sama sekali”.
Indonesia didesain sebagai negara republik modern bukan sekadar urusan demokrasi perwakilan, juga urusan etika Pancasila, nilai luhur agama-agama, dan keutamaan publik yang semuanya melekat pada republik ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Machiavelli Jawa"