Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK saya membaca komentar warganet di media sosial terhadap status seseorang, yang biasanya figur publik. Komentar itu ditujukan kepada si pembuat status. Kemudian datang warganet lain yang membalas komentar itu dengan tulisan, “Sekolah dulu yang pintar, Dek, kok kata dikota dirangkaikan? Harusnya dipisah donk.” Setelah dicermati, lontaran kalimat itu bertujuan menyuruh dia untuk bersekolah, kemudian memperbaiki penulisan kata di dan kota yang seharusnya dipisah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya kagum terhadap si pembalas komentar yang memahami penulisan kaidah bahasa Indonesia dan ingin berbagi pengetahuan. Komentarnya juga dengan terang-terangan menyebut si penulis komentar sebagai “adik”. Ini tentu bermakna bahwa ia menganggap pemahaman “si adik” terhadap kaidah bahasa berada di bawahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Si pembalas komentar kini lazim disebut polisi bahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), polisi adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Jadi polisi bahasa berfungsi layaknya polisi yang bertugas menjaga dan memelihara muruah formal bahasa.
Istilah polisi bahasa merupakan padanan dari “grammar Nazi”. Istilah ini sudah ada setidaknya sejak 1960-an dan merujuk pada orang yang fanatik terhadap aturan tata bahasa yang ketat. Dari hal yang besar sampai yang terkecil pun tidak luput dari koreksi mereka. Sekarang mereka sangat terobsesi untuk selalu menggunakan ragam formal berbahasa di media sosial. Kondisi ini tidak terlepas dari masifnya kemunculan mereka pada 1990-an lewat diskusi daring Usenet.
Sikap polisi bahasa agaknya sulit diterapkan untuk mengatur tulisan di media sosial. Ivan Lanin menulis di blognya di Medium: “Media sosial merupakan media hibrida: pesannya diwujudkan dalam tulisan, tetapi disampaikan seperti bahasa lisan. Bahasa tulis cenderung formal dan tertata, sedangkan bahasa lisan cenderung nonformal dan acak. Mencari titik temu di antara dua ragam bahasa tersebut tidak mudah.” Pendapat itu sudah cukup menjelaskan mengapa banyak komentar di media sosial yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa.
Bagaimana bila polisi bahasa diterapkan pada tulisan artikel, jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi? Bagi saya, hal itu tidak menjadi masalah yang berarti karena ragam bahasa formal memang diterapkan dalam tulisan-tulisan tersebut. Misalnya, seorang teman saya memperlihatkan coretan dan masukan dari dosen pembimbingnya pada lembar draf tesisnya dengan catatan, “Edit kembali penggunaan preposisi dalam tesis saudara. Banyak preposisi ditulis menyatu dengan nomina di belakangnya.”
Ketika sang dosen menuliskan catatan seperti itu, tidak ada keraguan atau protes sama sekali dari teman saya karena dia menyadari bahwa yang menulis itu adalah orang yang paham di bidangnya. Coba bandingkan dengan komentar di media sosial yang saya kutip di atas. Komentar itu akan dapat memunculkan kolom komentar selanjutnya dan selanjutnya yang mungkin lebih agresif dan pedas.
Omong-omong, saya pernah melihat dan membaca judul berita seperti ini: “Pengunjuk Rasa Melempari Batu ke Barisan Polisi”. Judul itu tidak berterima. Kok, yang dilempari oleh pengunjuk rasa adalah batu, bukan barisan polisi? Semestinya pengunjuk rasa melemparkan batu ke barisan polisi, karena afiks me-i dan me-kan punya perbedaan, yaitu verba berakhiran -kan bermakna bergerak, sedangkan verba berakhiran -i bermakna bergeming. Jangan-jangan pandangan saya ini sesungguhnya mencerminkan polisi bahasa. Waduh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Polisi Bahasa"