Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 2004, karya klasik Isaiah Berlin, Empat Esai Kebebasan, diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia oleh Freedom Institute. Berlin memberi pesan tajam: karut-marut politik membutuhkan “skeptisisme yang tercerahkan”—suatu sikap anti-mesianik atas desain politik dan anti pada janji-janji demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosial-politik di Indonesia kerap dibayangi kerinduan mesianik—semacam “ratu adil” yang diharapkan membawa solusi pamungkas. Majalah Time Oktober 2014 menampilkan wajah Presiden Joko Widodo dengan sampul depan berjudul “A New Hope: Indonesian President Joko Widodo is a Force for Democracy”. Tak sampai satu dekade kemudian, The Economist Intelligence Unit pada 2020-2023 menyebut demokrasi Indonesia dalam kategori cacat. Tak banyak yang menganggap catatan ini serius. Media justru sibuk menampilkan hasil survei tingkat kepuasan publik yang tinggi atas kinerja pemerintahan Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku laporan konferensi Australian National University berjudul Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? telah dipajang sejak 2020 di toko buku sejumlah bandar udara negeri ini. Berkali-kali saya melengos sembari mencibir judul buku karya para indonesianis itu. Namun, tahun ini, saya bergegas dengan gusar membeli buku tersebut dan merasa terlambat memaklumi suasana mandek dan surutnya demokrasi Indonesia.
Kemandekan demokrasi dilaporkan dokumen itu dengan data dari “atas”: ekonomi hanya dikuasai segelintir oligark, mereka yang dengan mudah membeli suara rakyat tapi meninggalkan mayoritas masyarakat prekariat dan pekerja gig. Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi masuk selokan dan indeks persepsi korupsi kita babak-belur. Di luar itu, ada pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 yang bisa menjerat para pencemar nama.
Hal mutakhir di luar dokumen itu tentu saja bisa kita tambahkan: putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah Pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang usia calon presiden/wakil presiden. Juga tak munculnya sikap oposisi dari partai-partai yang kalah dalam pemilihan presiden 2024. Ada pula revisi Undang-Undang Penyiaran yang akan melarang jurnalisme investigasi.
Selanjutnya “dari bawah”: gerakan masyarakat sipil yang melemah, purifikasi agama yang menciptakan ketegangan internal dan di antara agama-agama, plus polarisasi di masyarakat sebagai ekses pemilihan kepala daerah. Dalam keadaan ini, demokrasi sulit berkembang, sekalipun mayoritas warga Indonesia meyakini ini sistem politik dan ekonomi terbaik.
Kita membutuhkan “skeptisisme Berlin”. Sebuah sikap yang bukan putus asa, melainkan sikap kritis yang tak mau dikelabui janji-janji populis serta sikap ragu bahwa ada orang “yang sudah selesai dengan dirinya” yang dapat menyelesaikan masalah bersama. Skeptisisme adalah juga sikap ngotot menguji program politis yang memakai istilah-istilah magis seperti reformasi atau revolusi.
Sejak 1930 Berlin adalah guru besar sejarah pemikiran politik University of Oxford yang menguraikan dengan jernih ideologi-ideologi dunia. Menurut dia, kengerian dunia umumnya datang dari gagasan-gagasan besar. Sekiranya sejak awal gagasan-gagasan itu dilucuti klaim penyelamatannya, kekerasan yang banyak terjadi dalam sejarah bisa dihindari.
Ia membayangkan dirinya sebagai seekor rubah yang bergerak lincah sambil menatap tajam berbagai slogan dan peristiwa politik agar waspada jika ada pemikiran yang mengklaim gagasan yang diusungnya pasti berhasil. Bagi Berlin, sangat baik jika pluralisme ide dan program politik berkembang tanpa saling memberangus.
Dalam hal ini, yang dipertaruhkan Berlin ialah kebebasan manusia. Maka ia dikenal dengan analisisnya tentang kebebasan yang pertama-tama bersifat negatif. Pertanyaannya adalah dalam wilayah seperti apakah kita dibiarkan melakukan apa saja yang kita mampu tanpa campur tangan orang lain? Dalam ruang apa saja kita menjadi tuan atas diri sendiri?
Dengan kebebasan negatif itu, setiap orang dapat memiliki ruang tanpa pembatasan dari siapa pun. Seperti kata Berlin, “Berapa banyak pintu yang tak terkunci yang boleh kubuka?”
Kebebasan harus dilihat sebagai tersedianya keputusan-keputusan yang terbuka bagi kita, yang tak dihalangi oleh siapa pun saat kutetapkan. Kebebasan sebagai “self determination” ini secara positif akan membuat seseorang meraih banyak hal dalam hidupnya. Kebebasan positif ini muncul melalui kesempatan tiap orang untuk mengembangkan potensi diri mereka. Kebebasan selalu berbentuk aktualisasi diri untuk memperluas wilayah pribadi dan memastikan kontrol atas hidup sendiri.
Namun di sini juga Berlin mewaspadai risiko yang muncul dari kebebasan itu. Ruang aktualisasi seseorang bisa meluas terlalu lebar, seperti saat gajah bertarung di antara mereka sementara pelanduk mati di tengah. “Above all, gentlemen, no zeal whatsoever,” katanya. Dengan kata lain: skeptisisme harus terus dipelihara.
Di Indonesia saat ini kita sedang menghadapi gerusan kebebasan negatif yang tampak dari banyaknya pintu kebebasan berpendapat yang mulai ditutup. Ironisnya, hal ini terjadi karena kebebasan positif telah dengan sedemikian tak terbatasnya dinikmati sebagian orang. Mereka telah memperluas jaminan ekonominya dengan mengakumulasi uang dan usaha yang berlimpah serta memastikan kekuasaan dengan dinasti politiknya menyebar. Sikap skeptis akan membuat kita waras sekaligus tenang seperti kaum stoik. Sikap waswas pada pembatasan sekaligus tapi rasa gemas untuk memperluas kebebasan perlu terus dilakukan.
Hari-hari ini tampaknya kita perlu membaca lagi Isaiah Berlin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo