Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN pemerintah dalam mitigasi iklim makin bertolak belakang dengan tujuan awalnya. Alih-alih serius mendukung inisiatif konservasi, pemerintah justru bersikap keras terhadap mereka yang berupaya menjaga hutan, sementara ramah terhadap perusak hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Contohnya adalah pencabutan izin restorasi ekosistem PT Rimba Raya Conservation dan PT Global Alam Lestari oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kementerian mencabut izin dua perusahaan itu dengan tuduhan pelanggaran aturan perdagangan karbon dan tidak menyetor pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua tuduhan pemerintah itu tak berdasar. Sebab, jual-beli karbon dua perusahaan terjadi jauh sebelum aturan perdagangan karbon terbit pada 2021. Transaksi karbon keduanya pun berlangsung di pasar sukarela, ketika pasar karbon wajib belum terbentuk.
Sikap KLHK yang galak kepada pemegang izin restorasi itu malah memantik kecurigaan adanya kepentingan bisnis di baliknya. Penelusuran majalah ini mengkonfirmasi bahwa pencabutan izin itu justru ditengarai sebagai pesanan pengusaha yang dekat dengan kekuasaan. Motifnya, pengambilalihan bisnis karbon yang sedang naik daun. Perusahaan restorasi ekosistem yang melakukan perdagangan karbon sejak 2010 menjadi target empuk pengambilalihan bisnis menggiurkan ini.
Presiden Joko Widodo menyebutkan potensi perdagangan karbon di hutan kita mencapai Rp 4.000 triliun. Harga karbon hutan Indonesia kini masih sekitar US$ 5 per ton emisi setara karbon dioksida. Ketika permintaan meningkat, harga karbon Indonesia pun akan makin naik.
Kebijakan restorasi adalah diskresi pemerintah dalam memanfaatkan hutan produksi pada 2004. Ketika harga kayu anjlok akibat tuntutan global menyetop deforestasi, perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) kolaps. Dari 600 perusahaan sebelum 2000, kini tinggal separuhnya.
Masalahnya, 64 juta hektare hutan sudah dibagi-bagi izinnya. Jika HPH berhenti beroperasi, hutan menjadi rentan perambahan dan pembalakan liar sehingga makin rentan rusak. Pemerintah lalu memberikan izin pengelolaan restorasi dengan syarat hanya memanfaatkan hasil hutan bukan kayu.
Ketika mitigasi iklim menjadi gerakan global sejak 2015, bisnis restorasi bergairah karena skema perdagangan karbon. Namun, alih-alih mendukungnya dengan membuat tata kelola usaha yang baik, pemerintah cenderung antipati terhadap bisnis ramah lingkungan dengan potensi besar ini. Pencabutan izin Rimba Raya dan Global Alam, misalnya, diikuti “audit” terhadap semua perusahaan restorasi yang berdagang karbon.
Kini ada 16 perusahaan restorasi yang berinvestasi melindungi hutan dan menjual jasa pemulihan ekosistem melalui mekanisme perdagangan emisi. Namun KLHK tak kunjung mengesahkan rencana bisnis perdagangan karbon mereka tanpa alasan yang jelas. Sebaliknya, kepada perusahaan ekstraktif, seperti perkebunan sawit dan pertambangan batu bara hingga nikel, pemerintah mengobral izin tanpa syarat berbelit.
Jika sikap dan kebijakan pemerintah terus bertolak belakang dengan akal sehat, Indonesia akan kehilangan kepercayaan kalangan internasional dalam mencegah pemanasan global melalui mekanisme ekonomi yang menguntungkan. Apalagi jika dunia tahu bahwa kebijakan pemerintah itu ditunggangi kepentingan kroni dan oligark.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Penunggang Bisnis Restorasi Ekosistem"