Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dodi Ambardi*
DALAM setahun terakhir, publik seolah terbelah dalam menyikapi kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Halaman dan tayangan media massa dipenuhi evaluasi kritis atas kinerja Presiden pada periode kedua. Mereka yang bersikap kritis merasa tak puas akan kinerjanya.
Cukup banyak isu yang diusung untuk menunjukkan kegagalan Yudhoyono dalam menangani permasalahan negeri ini, dari penanganan kasus Bank Century yang dianggap berjalan di tempat, kriminalisasi dua pemimpin KPK, ketidaktegasan Yudhoyono menanggapi insiden penangkapan petugas Dinas Kelautan dan Perikanan oleh polisi Malaysia, penanggulangan kemiskinan, sampai pada isu terakhir tentang respons Yudhoyono dalam penanganan bencana Wasior.
Momentum satu tahun pemerintahan kedua Yudhoyono, pada 20 Oktober kemarin, tak pelak dijadikan markah oleh sebagian masyarakat untuk menyatakan ketidakpuasan itu dengan cara lebih assertive, yakni melalui demonstrasi yang mengepung Istana Presiden. Sebagian tuntutan demonstran sampai pada permintaan kepada Presiden untuk mundur dari jabatannya. Bahkan wacana penggulingan pun sempat ramai di media massa.
Belahan yang kedua, dalam proporsi yang lebih kecil di media massa, juga muncul. Kelompok ini mengajukan pembelaan terhadap kepresidenan Yudhoyono. Politikus Demokrat, termasuk ketua umumnya, Anas Urbaningrum, misalnya, merespons dengan membuat pernyataan bahwa upaya penggulingan Yudhoyono adalah hasil pikiran gelap belaka. Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie juga menyatakan bahwa Golkar akan mendukung Yudhoyono sampai akhir masa jabatan tahun 2014. Bagaimanakah potret riil pendukung dua posisi yang berseberangan ini di tingkat publik?
Anatomi
Kedua kubu yang berseberangan itu sama-sama mengajukan klaim bahwa publik berada di belakang mereka. Retorika pun berhamburan. Problemnya, bagaimana kita melakukan validasi dan memberikan substansi pada kedua posisi politik tersebut.
Dalam khazanah survei pendapat publik, evaluasi masyarakat umumnya direkam dalam pertanyaan langsung yang sederhana: seberapa puas mereka akan kinerja Presiden. Inilah pertanyaan standar yang umumnya diberi label job rating, atau job approval, alias evaluasi publik atas kinerja kepala pemerintahan.
Data survei LSI pada Agustus 2010 memberikan informasi proporsi nasional dari segmen publik yang tidak puas akan kinerja Yudhoyono, yakni 32 persen. Dengan perhitungan sederhana, persentase ini mewakili kurang lebih 55 juta pemilih. Konversi ini didasarkan pada basis 171 juta total pemilih di Indonesia versi KPU. Jumlah absolut ini tentulah jumlah yang cukup besar dan tak bisa diremehkan. Namun, pada sisi berlawanan, proporsi mereka yang menyatakan puas atau sangat puas sebesar 66 persen atau 112 juta pemilih.
Data survei ini memberi gambaran yang terbalik dari gambaran yang tampak melalui media massa. Di tingkat publik, jumlah orang yang menilai kinerja Yudhoyono memuaskan, atau sangat memuaskan, justru lebih besar.
Siapa saja yang merasa puas, dan siapa yang tidak puas, terhadap kinerja Yudhoyono sebagai presiden?
Data survei LSI lebih jauh memberikan gambaran anatomi sosiologis dari kedua kubu tersebut. Ada dua karakteristik demografis yang memformat sikap evaluatif publik: tempat tinggal dan tingkat pendidikan.
Mereka yang menyatakan puas, atau sangat puas, tersebar di desa dan kota. Namun, secara proporsional, jumlah kedua kelompok ini berbeda. Di perkotaan, proporsi mereka yang menyatakan puas atau sangat puas atas kinerja Yudhoyono lebih rendah (60 persen) dibanding mereka yang tinggal di pedesaan (69 persen). Artinya, lebih sedikit orang kota yang memiliki sikap atau evaluasi positif terhadap kinerja Yudhoyono.
Tingkat pendidikan responden juga ikut membentuk sikap evaluatif mereka. Proporsi tertinggi yang menyatakan puas atau sangat puas atas kinerja Yudhoyono adalah mereka yang berpendidikan SD atau kurang. Proporsi terendah adalah mereka yang berpendidikan SMA dan perguruan tinggi. Artinya, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin rendah pula sikap positif mereka terhadap kinerja Yudhoyono.
Profil demografis mereka yang tidak puas atau sangat tidak puas tentu bisa dirumuskan pula dengan cara sebaliknya. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi dan tinggal di wilayah perkotaan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk tidak puas akan kinerja Yudhoyono.
Keterbalikan persepsi elite dan persepsi publik ini tidak mesti berarti bahwa terjadi diskoneksi antara elite dan publik karena ketidakpuasan di tingkat elite memiliki resonansi di tingkat publik. Namun yang tak mereka duga adalah resonansi itu tak sebesar retorika elite politik. Mari kita lihat juga tren jangka panjang dinamika kepuasan publik ini, yang membawa cerita sedikit berbeda.
Tren Antarwaktu
Tingkat kepuasan publik atas kinerja Yudhoyono yang 66 persen pada Agustus itu bukanlah puncak pencapaian. Tingkat persetujuan publik atas kinerja Yudhoyono mencapai puncaknya pada Juli 2009, sebesar 85 persen.
Namun, sejak itu, dalam waktu setahun, tingkat kepuasan publik menurun terus pada bulan-bulan berikutnya. Dalam survei pada November 2009, tingkat kepuasan itu menurun ke level 75 persen; pada Januari 2010, tingkat kepuasan publik berada di angka 70 persen; dan pada Agustus 2010 di angka 66 persen. Kecenderungan menurun ini tampaknya masih berlanjut. Bagaimana menjelaskan penurunan tingkat kepuasan publik ini?
Analisis terhadap data survei bulan Agustus bisa memberikan informasi lebih jauh. Turunnya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Yudhoyono bertautan erat dengan persepsi publik atas berbagai kondisi nasional yang melingkupi mereka. Jika persepsi publik terhadap kondisi politik, penegakan hukum, dan kondisi ekonomi semakin negatif, tingkat kepuasan publik juga semakin menurun. Dalam bahasa statistik, persepsi publik tentang baik-buruknya berbagai kondisi itu berkorelasi positif dan signifikan dengan kepuasan publik terhadap kinerja Yudhoyono.
Dari ketiga jenis persepsi publik tersebut, korelasi persepsi publik terhadap kondisi perekonomian adalah yang paling tinggi. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi (atau tidak diambilnya sebuah kebijakan ekonomi tertentu) memiliki efek paling kuat dalam mempengaruhi persepsi publik atas kondisi ekonomi.
Pertanyaan yang lebih substantif kemudian, apakah kondisi ekonomi, penegakan hukum, dan politik yang membentuk persepsi publik itu bersumber dari kebijakan strategis yang diambil Yudhoyono, atau karena perkembangan kondisi natural. Jika itu berupa kebijakan strategis, evaluasi publik itu adalah evaluasi riil terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil Yudhoyono: bahwa efek kebijakan itu memang benar-benar memformat persepsi publik.
Pertanyaan substantif berikutnya: jika benar evaluasi publik itu merupakan hasil kebijakan strategis, apakah kebijakan itu bersifat sistematik atau sekadar ”kejutan”?
Data survei reguler antarwaktu yang dimiliki LSI menunjukkan adanya gejala menarik, yakni pola siklikal dari evaluasi publik atas kepemimpinan Yudhoyono sebagai presiden yang direkam sejak Pemilu 2004.
Tingkat kepuasan publik mencapai puncaknya segera setelah pemilu presiden usai, kemudian menurun secara kontinu dalam periode beberapa saat setelah pemilu presiden. Ini yang terjadi setelah Pemilu Presiden 2004. Pola yang sama juga terjadi pada Pemilu Presiden 2009. Pasang naik tingkat kepuasan publik mulai terjadi pada periode setahun sebelum pemilu, dari titik yang rendah, baru kemudian secara kontinu menaik terus sampai saat pemilu, dan satu atau dua bulan setelahnya.
Efek kebijakan strategis dan sistematik Yudhoyono—kalau bisa disebut demikian—memusat pada periode setahun sebelum Pemilu 2009. Pada periode inilah kebijakan Yudhoyono (dari mana pun ide itu berasal) seperti Bantuan Langsung Tunai, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, dan Bantuan Operasional Sekolah dieksekusi.
Pada titik ini kita bisa membuat penafsiran yang dapat menjelaskan naik-turunnya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Yudhoyono. Penjelasan ini bisa disebut sebagai penjelasan yang bertumpu pada siklus elektoral. Pada periode tertentu, yakni menjelang pemilu, kebijakan yang diambil Yudhoyono membawa efek positif atas naiknya tingkat kepuasan publik. Pada periode setelah pemilu (akhir tahun pertama sampai tahun keempat), kebijakan Yudhoyono tak banyak membawa efek langsung pada dinamika tingkat kepuasan publik terhadap kinerjanya.
Dengan kata lain, pada periode ini naik-turunnya tingkat kepuasan publik lebih banyak didefinisikan oleh kondisi natural, di mana intervensi kebijakan Yudhoyono bersifat minimal. Elite politikus, yang pro dan kontra terhadap Yudhoyono, mengkapitalisasi periode yang berbeda itu.
*)Dosen Fisipol UGM, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo