Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya dipanggil Presiden,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar tergopoh-gopoh, Jumat pekan lalu. Ia bergegas meninggalkan ruang rapat Dewan Pers, tapi puluhan wartawan yang telah menantinya kemudian memaksanya bicara.
”Saya tak melarang atau menyuruh orang untuk melarang tayangan Sigi,” kata Patrialis, setelah pertemuannya dengan anggota Dewan Pers itu. Inilah bantahan kesekian kali sejak program investigasi edisi ”Bisnis Seks di Balik Jeruji Penjara” di stasiun SCTV itu batal tayang.
Patrialis menjadi sorotan karena dituding berada di balik pembatalan tayangan Sigi, yang seharusnya mengudara pada Rabu malam dua pekan lalu. ”Ini merupakan pelanggaran berat kode etik jurnalistik,” kata Aditya Heru Wardhana, Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Jakarta. Padahal Undang-Undang tentang Pers 1999 menjamin bahwa pers nasional tidak dikenai larangan penyiaran. Siapa pun yang melanggar ketentuan itu akan dijatuhi hukuman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.
Kisah yang diangkat oleh Sigi diperkirakan telah membuat petinggi Departemen Hukum dan HAM kebakaran jenggot. Laporan bisnis seks tersebut diilhami oleh buku Penjara: The Untold Stories yang ditulis wartawan Tempo Ahmad Taufik. Buku yang terbit pada Juni lalu itu berisi kesaksian penulis ketika menjalani masa tahanan selama 21 bulan di sejumlah penjara, termasuk Salemba dan Cipinang, Jakarta. ”Kami tertantang membuat visual dari cerita buku itu,” kata Pemimpin Redaksi SCTV, Don Bosco Selamun.
Laporan setengah jam itu memuat akal-akalan narapidana untuk menuntaskan berahinya. Keadaan ini dimanfaatkan para sipir, antara lain dengan mendatangkan pekerja seks dan menyewakan ruang kencan. Dalam salah satu transaksi terdengar seorang sipir bertanya kepada narapidana yang akan kencan. ”Tidak bawa kamera tersembunyi kan?” Ya, rekaman gambar merupakan aspek penting dalam liputan ini. ”Pengambilan gambar dilakukan berulang kali hingga dapat yang terbaik. Prosesnya tiga minggu,” kata sumber Tempo.
Pertanda buruk akan nasib liputan itu tampak ketika Menteri Patrialis Akbar berulang kali meminta bukti adanya praktek ”nakal” tersebut. Permintaan itu, beserta ajakan sidak, bila memang ada, disampaikan ketika kru Sigi meminta konfirmasi kepada Patrialis di kantornya, sehari sebelum waktu tayang. Setelah wartawan SCTV kembali ke markas mereka di Senayan City, seseorang yang mengaku dari Kementerian Hukum berulang kali menelepon untuk meminta materi master visual atau gambar yang belum diedit.
Menurut Don Bosco, esok harinya, Rabu sore, dua orang yang mengaku utusan Menteri, salah satunya adalah Roby Leo, datang ke kantornya untuk meminta gambar yang beberapa jam lagi akan ditayangkan tersebut. ”Sebelumnya dia memang mengirim pesan pendek ke ponsel saya, yang isinya ’saya diinstruksikan oleh Pak Menteri (ini ketikan asli di ponsel Don) untuk bertemu Bapak langsung’,” ujar Don. Permintaan gambar itu kontan ditampik oleh Don. ”Kalau mau, setelah tayang, kami bisa memberikan salinannya.”
Kedua tamu itu pun pulang dengan tangan hampa. Tapi, beberapa jam kemudian, sebuah sambungan telepon kepada Don cukup untuk membatalkan tayangan Sigi. Sumber Tempo menyebutkan si penelepon adalah Direktur Utama SCTV. ”Kalau soal itu, saya tak mau berkomentar,” kata Don. Fofo Sariaatmadja juga enggan menjelaskan. ”Untuk soal itu, hubungi Bang Don. Saya direktur utama. Yang berkaitan dengan pemberitaan merupakan wewenang pemimpin redaksi,” katanya kepada Harun Mahbub dari Tempo.
”Apakah itu bentuk intervensi? Silakan tafsir sendiri,” ujar Don. Dalam pertemuan dengan Dewan Pers, Kamis pekan lalu, menurut salah satu anggotanya, Agus Sudibyo, Don mengatakan ada intervensi lewat telepon, pesan pendek, dan pembicaraan langsung. Anggota Komisi Penyiaran Indonesia, Ezki Tri Rezeki, menegaskan bahwa Sigi merupakan program berita yang penayangannya tidak boleh dilarang oleh siapa pun. ”Tayangkan saja, seharusnya SCTV melawan tekanan itu demi kepentingan publik,” katanya.
Meski sempat batal tayang, dan kembali batal pada Rabu pekan lalu, Don menjanjikan hasil kerja anak buahnya akan tetap mengudara di stasiun televisi itu. ”Mereka sudah kerja sungguh-sungguh, dan publik harus tahu. Pasti kami tayangkan tanpa dikurangi,” kata Don. Toh, janji itu sepertinya tak membangkitkan gairah Henry Sianipar, produser program tersebut, yang dihubungi Tempo pada Kamis pekan lalu. ”Thanks, aku lagi tepar di rumah. Silakan menghubungi Pemimpin Redaksi,” demikian pesan pendek Henry.
Adek Media, Mutia Resti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo