Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota Yogyakarta memang bebas banjir. Banyak inlet pembuangan, dan air di sistem drainase mengalir lancar,” ujar Endar Sri Mulwati, Kepala Seksi Drainase Yogyakarta. Endar boleh bangga karena sehebat apa pun hujan mendera, termasuk hujan sepanjang tahun yang terjadi pada 2010 ini, air tak pernah meluap keluar dari gorong-gorong. Di tepi Jalan KH Dahlan, misalnya, puncak ketinggian air di dalam saluran setinggi 100 sentimeter dengan lebar 90 sentimeter paling banter 70-80 sentimeter saja.
Para pakar tata kota sepakat drainase yang baik bisa meminimalkan banjir. Prinsip itu dipraktekkan betul di Kota Yogyakarta. Selain terawat, ukuran gorong-gorong di kota pelajar ini tergolong besar, dari setinggi satu hingga 4,5 meter—saluran serupa di Jakarta cuma berukuran sekitar dua meter. Dengan panjang 316 kilometer menjalar di ”perut” kota, sistem drainase itu menjadi pengering yang sangat efektif ketika hujan turun. Air yang masuk melalui inlet disalurkan ke Kali Code, Winongo, dan Gadjah Wong.
Senin pekan lalu, Tempo sempat mengintip ruas gorong-gorong di Jalan Panembahan Senopati, tepat di depan Gedung Bank Indonesia Yogyakarta. Bau tak sedap bak aroma septic tank berembus ketika dua petugas Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah membuka beton penutup saluran. Di dasar saluran, air mengalir setinggi mata kaki. Tak ada sampah yang tersangkut, dan kedua dinding saluran tampak kokoh. Lebar drainase ini 130 sentimeter, dengan tinggi 160 sentimeter.
Menurut Daldiri, petugas yang membuka gorong-gorong itu, pembersihan drainase dilakukan saban dua tahun. Saat dibersihkan, biasanya kedalaman lumpur mencapai sekitar setengah meter. ”Pembersihan lumpur dilakukan setahun lalu. Saat ini ketinggian lumpur sudah setengah meter, dan tetap setengah meter hingga setahun ke depan,” katanya. Daldiri mengatakan ketinggian lumpur yang konstan itu karena air mengalir lancar. Walhasil, material yang masuk ke saluran tak mandek, dan terangkut hingga ke pembuangan akhir.
Meski tak sebesar gorong-gorong di Njeron Beteng Wetan dan Kulon, yang lebarnya 2,5 meter dan tingginya 4,5 meter, saluran di dekat Bank Indonesia itu masuk sistem drainase vital yang berada di bawah kawasan berpenduduk padat di pusat Kota Yogyakarta. Sistem drainase ini dimulai dari kawasan Jetis menuju Tugu, melalui Jalan Mangkubumi, hingga membelah Jalan Malioboro dan berbelok ke kiri, tepat di depan Bank Indonesia. Saluran itu berlanjut ke Pojok Beteng Wetan dan bermuara di Kali Code.
Ukuran drainase yang jumbo itu didukung oleh banyaknya inlet yang terpasang di kedua sisi jalan. Di Malioboro, misalnya, setiap sepuluh meter terdapat lubang tempat lalu air ke gorong-gorong. ”Ada ribuan inlet yang terpasang di sepanjang jalan kota,” kata Endar Sri Mulwati. Walhasil, kawasan yang selalu ramai didatangi pelancong ini hampir bebas dari genangan air. Sistem drainase di kota ini juga didukung topografi wilayah yang memiliki kemiringan satu hingga dua derajat ke selatan, ke arah Pantai Parangtritis.
Endar meyakinkan, 85,8 persen sistem drainase Kota Yogyakarta berada dalam kondisi baik, 11,29 persen sedang (dinding atau pelat penutup rusak), dan hanya 2,51 persen dalam keadaan rusak (dinding dan pelat penutup rusak). Toh, Endar merasa sistem drainase peninggalan Belanda—yang dibangun pada 1940-an—tak sebanding dengan kapasitas kota. Selain itu, sejumlah gorong-gorong berada di bawah toko atau rumah. ”Ini membuat dinding gorong-gorong mudah ambruk karena menahan beban di atasnya,” ujarnya.
Kota Yogyakarta beruntung memiliki gorong-gorong yang baik dan kontur tanah yang sesuai, sehingga aliran air di saluran bawah kota lancar. Namun, di Bandung, gorong-gorong Kota Kembang tak berfungsi dengan baik—ditambah kondisi topografi kota yang berada di cekungan besar. Kala hujan, genangan air dan banjir muncul di mana-mana. Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung mencatat ada 68 titik genangan setinggi 10-50 sentimeter bila hujan lebat. Saat hujan turun, hampir seluruh badan jalan terendam air berwarna cokelat yang membawa aneka material, seperti sampah, tanah, dan pasir, ke gorong-gorong.
Celakanya, rata-rata lebar drainase di pusat Kota Bandung hanya 50-80 sentimeter. Idealnya, lebar drainase satu meter, agar bisa menampung air hujan. Lahan yang terbatas membuat sebagian drainase yang dibangun tertutup, sehingga permukaannya bisa dipergunakan sebagai trotoar. Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung Iming Ahmad mengatakan sebagian gorong-gorong dipenuhi sampah, ada yang ditutup permanen sehingga sulit dibersihkan, bahkan ada yang teruruk karena ada bangunan di atasnya.
Menurut Iming, dari panjang total jalan Kota Bandung yang sekitar 1.200 kilometer, panjang drainase baru mencapai 60 persennya atau sekitar 720 kilometer. ”Itu pun tak semuanya nyambung. Ada beberapa yang terputus dan mentok, dan sebagian digunakan untuk jaringan kabel listrik fiber optik, sehingga fungsi saluran air tidak optimal,” katanya. Padahal, idealnya, drainase kota harus sebanding dengan panjang jalan. Karena itu, genangan akan terjadi saat hujan lebat, meski menurut Iming jalanan akan kembali kering dalam satu jam.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Kota Bandung memiliki curah hujan tinggi, rata-rata 156,4 milimeter, dan jumlah hari hujan rata-rata 15 hari per bulan. Air hujan mengalir ke Sungai Cikapundung dan anak-anak sungainya, dengan total panjang sekitar 250 kilometer, yang semuanya bermuara ke Sungai Citarum. Nah, kondisi drainase yang tidak memadai dan sampah yang menutupi inlet atau menyumbat gorong-gorong menimbulkan genangan di jalan, yang menghambat kendaraan.
Iming mengatakan pemerintah terus memperdalam dan memperlebar drainase serta menyambung saluran yang terputus, terutama ke arah sungai. Berdasarkan Rencana Pembangunan Kota Bandung 2008-2013, sebanyak 45 titik sistem drainase telah dimasukkan ke rencana perbaikan. Ia mengatakan prioritas pemerintah saat ini adalah pembetonan jalan dan pengerukan endapan material di gorong-gorong. ”Diharapkan pada 2012 ada anggaran yang lebih besar untuk pembangunan sistem drainase,” ujarnya.
Adek Media, Bernada Rurit (Yogyakarta), Alwan Ridha Ramdani (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo