Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Soal waris: masih ada yang berpikir pada pasal 1045

9 November 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membaca tulisan Y.B. Purwaning M. Yanuar tentang kasus Dicky (TEMPO, 12 Oktober 1991, Komentar), saya jadi tersentak. Ternyata, masih ada yang berpikir tentang hukum ala BW yang Barat itu. Tapi tidak berarti pendapat itu salah. Yang saya kemukakan adalah masih benarkah kaca mata hukum yang demikian itu untuk memahami hukum waris. Murni Rauf, S.H., berpetuah bahwa utang Dicky, dalam membayar ganti rugi Rp 811 milyar itu, diidentikkannya sebagai utang seumur hidup kepada negara. Juga, disebut "utang berlanjut ke cicitnya." Kalau dilihat dari namanya, Murni Rauf adalah seorang Islam. Dicky juga seorang muslim. Tentunya, pembahasan soal warisannya tergolong ke dalam hukum keluarga dari syariat Islam. Jangan dipakai hukum di luar itu. Benar menurut pasal 1045 KUH Perdata yang Barat itu, bahwa ahli waris Dicky bisa menolak membayar ganti rugi kepada negara. Dengan kata lain, bila saat Dicky dipanggil Tuhan dan ia belum mampu melunasi utangnya, kepada ahli waris dipesankan: tolak sajalah karena sesuai dengan ketentuan pasal 1045 KUH Perdata. Itulah pesan dan fatwa Y.B. Purwaning M. Yanuar. Itu baik juga dipikirkan oleh para calon ahli waris Dicky. Tapi, baikkah cara itu menurut imannya yang Islam. Mungkin sudah mafhum lewat ceramah agama tentang makna warisan dalam Islam. Yang disebut harta warisan dalam Islam adalah aktiva dan pasiva, tanpa kecuali. Tanggung jawab ahli waris atas harta warisan, berdasarkan iman, wajib diterima secara bulat. Tak dibenarkan berpikir, apalagi memilih mana yang baik. Sebab, setelah hidup di alam fana, masih ada alam baka, yang merupakan tujuan hidup. Tentu pandangan yang demikian tidak ada dalam hukum sekuler, seperti yang digambarkan dalam pasal 1045 KUH Perdata. Bagi manusia seperti itu, hidup hanya di sini, tidak ada di sana. Maka, tak salahlah memanfaatkan kehidupan di sini semanfaatmanfaatnya. Maka, marilah kita berupaya untuk menyelesaikan masalah hukum tidak hanya berkiblat kepada hukum tertulis (KUH Perdata). Apalagi bila itu nyata bertentangan dengan sumber atau filsafat hukum Pancasila. Bagi umat Islam, hukum waris adalah syariat Islam. Alangkah celakanya bila ada seorang hakim yang memanfaatkan pasal 1045 KUH Perdata. BISMAR SIREGAR Jalan Cilandak I/254 Jakarta Selatan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus