Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Soedirman, Panglima di Antara Panglima

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEDIRMAN, rasanya, tak memerlukan surat keputusan presiden untuk diangkat menjadi pahlawan nasional. Bahkan sulit sekali membayangkan jenderal yang ringkih itu sempat bercita-cita melekatkan asmanya pada nama jalan, monumen, plaza, apalagi mengangkat dirinya menjadi generalissimo—alias jenderal paling jenderal.

Hal pertama yang dilakukan Soedirman setelah terpilih sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat adalah merancang pertempuran Ambarawa—langkah yang sungguh-sungguh menjunjung marwah kepanglimaan. Padahal, baru sebulan kemudian, mantan guru Muhammadiyah dan Komandan Divisi Purwokerto itu resmi dilantik oleh Presiden Republik Indonesia sebagai panglima besar.

Tak mudah membayangkan pergulatan batin Soedirman pada hari-hari yang kusut itu. Dalam pemilihan panglima besar di Markas Tinggi Tentara Keamanan Rakyat di Gondokusuman, Yogyakarta, itu dia bukan unggulan tunggal. Di atasnya ada Oerip Soemohardjo, 52 tahun, Kepala Staf Umum dengan pangkat letnan jenderal. Soedirman sendiri ketika itu masih 29 tahun, dengan pangkat cuma kolonel.

Sejarah tak mencatat sejauh mana Presiden Sukarno mengenal Soedirman. Sejak pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat, pada 5 Oktober 1945, Sukarno telah menunjuk Soeprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Aneh bin ajaib, setelah memimpin pemberontakan Pembela Tanah Air di Blitar, Mei 1945, Soeprijadi raib bak ditelan bumi. Kelak berkembang spekulasi, penunjukan Soeprijadi hanyalah akal-akalan Sukarno untuk memancing komandan peleton atawa shodancho itu ke permukaan. Banyak yang menampik akal sehat bahwa Soeprijadi terbunuh di tangan tentara Jepang.

Jabatan "panglima besar" itu sendiri—yang tak pernah terdengar lagi di masa pasca-Soedirman—pada mulanya hanyalah bentuk "tawar-menawar" di antara para pemilih yang berhimpun pada 12 November 1945 tersebut. Betapa tidak: di sana berkumpul sejumlah panglima divisi dan komandan resimen, yang masing-masing punya kekuatan faktual di lapangan. Karena itu, semuanya sepakat: yang harus dipilih bukanlah sekadar panglima, melainkan "panglima di antara panglima".

Soedirman kemudian membuktikan, ia pantas menjadi "panglima di antara panglima". Di Ambarawa, dengan pasukan yang praktis compang-camping, ia menghalau serdadu Belanda dan Sekutu—tentara profesional dengan persenjataan lengkap. Karena ia dipilih, bukan diangkat, Soedirman menjunjung kewajiban moral untuk membuktikan kepada pemilihnya bahwa mereka tidak keliru. Dengan "mandat" itu pula Soedirman melangkah dan mengambil berbagai keputusan yang di kemudian hari menimbulkan perbantahan.

Ketika Sukarno-Hatta ditawan setelah penyerangan Belanda ke Yogyakarta, Desember 1948, Soedirman memilih menyingkir untuk meneruskan perang gerilya. Ada pemahaman yang kurang jernih dalam hal "opsi" Sukarno-Hatta bertahan di Yogya. Langkah itu sebetulnya bukan pilihan, melainkan keputusan kabinet. Tahi Bonar Simatupang pernah mencatat betapa repotnya kalau Sukarno-Hatta ikut menyingkir ke hutan. Paling tidak, tentara harus menyiapkan satu batalion untuk mengawal Sukarno, dan satu batalion lagi mengawal Hatta.

Keputusan Soedirman "meninggalkan" Sukarno-Hatta itulah yang sering disiratkan para pemuka supremasi militer—terutama di era Orde Baru—sebagai simbolisasi ketidakberdayaan pemimpin sipil. Hatta pernah mencatat: Soedirman adalah orang yang keras hati, yang suka membela pendiriannya dengan bersemangat. Tapi, "Apabila pemerintah mengambil keputusan, ia akan menjalankan keputusan itu dengan taat dan sepenuh tenaganya."

Justru tunduk kepada supremasi sipil itulah satu di antara wa­risan Soedirman dan kawan seangkatannya sebagai kultur Tentara Nasional Indonesia. Kita hendaklah juga melihat kebesaran hati Oerip Soemohardjo, letnan jenderal yang dilangkahi kolonel bawahannya dan merelakan diri turun pangkat menjadi mayor jenderal. Oerip menerima tanpa keberatan keputusan para panglima divisi dan komandan resimen yang menjatuhkan pilihan pada Soedirman.

Setelah wafatnya, Soedirman tetap "hidup" sebagai alat politik. Gambar pertama yang digunakan rezim Soeharto untuk menggantikan potret Sukarno pada mata uang Republik Indonesia adalah wajah Soedirman. Acara menapak tilas rute gerilya Soedirman diritualkan sebagai semacam "reminder" pada tidak berdayanya kepemimpinan sipil. Puncaknya terjadi pada 1997, ketika Soeharto mengangkat Soedirman—dan Abdul Haris Nasution—untuk mendampinginya menjadi jenderal besar.

Belakangan, Monumen Soedirman yang megah dibangun di Pacitan, tempat kelahiran Susilo Bambang Yudhoyono, bukan di tanah kelahiran Soedirman di Purbalingga. Sulit menafikan kesan: membesarkan Soedirman merupakan bagian mendapatkan legitimasi kekuasaan. Padahal warisan Soedirman yang sesungguhnya adalah kultur ketundukan Tentara Nasional Indonesia terhadap supremasi sipil dan pilihan-pilihan demokratis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus