Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketergantungan terhadap bahan bakar diesel untuk pembangkit listrik menimbulkan beban signifikan terhadap anggaran negara.
Salah satu solusi untuk mengatasi trilema energi adalah pemanfaatan energi terbarukan yang dipadukan dengan sistem penyimpanan energi berbasis baterai.
Pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim dan modal swasta Indonesia tersedia, tapi memerlukan katalisator.
PERGANTIAN pemerintahan pada Oktober 2024 berlangsung di tengah situasi pembangunan yang genting, terutama di sektor energi. Pemerintahan Prabowo akan menghadapi tantangan untuk memecahkan tiga dilema (trilema) energi yang kita hadapi: ketahanan energi, keterjangkauan harga, dan keberlanjutan.
Tantangan ini, mau tak mau, harus dihadapi pemerintahan berikutnya sembari menjalankan berbagai agenda ambisius yang memerlukan sumber daya fiskal dalam jumlah signifikan, seperti program makan bergizi gratis. Dalam konteks ini, berbagai solusi untuk menjawab trilema energi itu sangat dinantikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ide untuk memecahkan trilema energi sebenarnya sudah tersedia. Salah satunya lewat potensi penghematan energi yang paling menjanjikan, yakni mengurangi pemakaian bahan bakar minyak untuk pembangkit listrik. Saat ini, ketergantungan terhadap bahan bakar diesel untuk pembangkit listrik menimbulkan beban signifikan terhadap anggaran negara.
Pada 2020 saja, setidaknya duit senilai Rp 16 triliun dibelanjakan untuk 2,7 juta kiloliter bahan bakar guna menghidupkan pembangkit listrik di wilayah terpencil (Antara, Maret 2022). Pengeluaran tersebut, meskipun dimaksudkan untuk mendukung akses energi, justru mengalihkan sumber daya berharga dari prioritas pembangunan mendesak lainnya.
Baca Juga:
Indonesia sebetulnya sudah menunjukkan kemajuan dalam peningkatan rasio elektrifikasi—dari 96,7 persen pada 2000 menjadi 99,8 persen pada 2023—tapi masih banyak wilayah yang belum terjangkau pasokan listrik. Terutama di wilayah pelosok. Saat ini, sekitar 500 ribu orang masih kekurangan akses listrik. Per 31 Desember 2023, ada 236 wilayah yang pasokan listriknya tak sampai 24 jam per hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daerah-daerah yang masih kekurangan pasokan dan akses listrik itulah yang masih mengandalkan pembangkit energi diesel yang menggunakan BBM dan menelan anggaran dalam jumlah besar. Ketergantungan terhadap BBM tak hanya membuat harga listrik melonjak, tapi juga berkontribusi terhadap membengkaknya subsidi energi—Rp 67,4 triliun dialokasikan untuk subsidi elektrifikasi pada 2023.
Kondisi itu diperparah dengan harga minyak dunia yang tak stabil. Karena itu, jika pemerintahan Prabowo mampu menekan pengeluaran di sektor ini, dampaknya akan sangat positif. Pemerintahan berikutnya tak hanya mendapat ruang fiskal untuk membiayai program lain, tapi juga menjadi loncatan untuk mencapai tujuan transisi energi.
Berbagai Solusi
Salah satu solusi untuk mengatasi trilema energi yang juga dapat menekan pengeluaran bahan bakar minyak adalah pemanfaatan energi terbarukan yang dipadukan dengan sistem penyimpanan energi berbasis baterai. Kita tahu bahwa banyak wilayah di Indonesia yang punya potensi energi terbarukan luar biasa, khususnya sumber daya tenaga surya dan angin di pulau-pulau terpencil.
Dengan memanfaatkan potensi tersebut, kita dapat mengatasi persoalan ketergantungan wilayah terpencil akan pembangkit listrik tenaga diesel. Dalam jangka pendek, upaya ini bakal meningkatkan ketahanan energi. Sedangkan dalam jangka menengah dan panjang, penggunaan energi terbarukan bakal mengurangi risiko fluktuasi harga minyak, memperbaiki postur fiskal, serta mendukung kelestarian lingkungan yang baik bagi kesehatan masyarakat.
Bagi PT PLN (Persero), strategi ini juga bakal menyehatkan keuangan perusahaan. Upaya menuju ke sana bukannya tidak ada. PLN telah memulai sejumlah inisiatif untuk mengalihkan pembangkit listrik tenaga diesel ke sistem pembangkit energi terbarukan berbasis baterai. Inisiatif ini dilakukan dengan menggandeng sektor swasta melalui skema unit pembangkit swasta (independent power producers).
Baca Juga:
Namun upaya ini bukannya tanpa rintangan. Meskipun biaya teknologi terbarukan telah menurun, penetrasi energi terbarukan yang tinggi (lebih dari 60 persen) masih menimbulkan biaya listrik di atas US$ 0,3 per kWh.
Peraturan yang berlaku, seperti Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, belum bisa memberikan tarif yang cukup untuk menutupi biaya investasi yang besar. Akibatnya, kesiapan pasar pun masih rendah, terlihat dari tender-tender yang kurang diminati.
Untuk mengatasi kesulitan ini, pemerintah perlu mengambil tindakan tegas. Salah satu hal yang penting dilakukan adalah mengurangi beban biaya melalui pelonggaran syarat tingkat kandungan dalam negeri. Pengusaha juga membutuhkan dukungan pinjaman lunak, terutama untuk persiapan dan pendanaan proyek.
Khusus untuk investasi pembangkit listrik energi terbarukan di pulau terpencil dan wilayah pelosok, perlu ada terobosan yang memungkinkan pengembalian investasi. Meningkatkan kesiapan pasar dengan menyediakan data yang komprehensif dan mendorong keterlibatan sektor swasta yang kuat juga esensial.
Dukungan internasional akan sangat penting dalam upaya ini. Meskipun PLN telah menerima bantuan teknis yang berharga dari berbagai organisasi, Indonesia tetap memerlukan investasi modal yang besar untuk mengembangkan proyek-proyek tersebut dalam skala besar. Pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim dan modal swasta Indonesia tersedia, tapi memerlukan katalisator.
Pada bagian inilah sektor filantropi dapat memainkan peran yang sangat menentukan. Dengan bertindak sebagai katalis dan berkontribusi terhadap belanja modal proyek, organisasi filantropi dapat membantu menjembatani kesenjangan antara ambisi dan realisasi.
Di tengah situasi yang genting ini, kita—pemerintah, sektor swasta, mitra internasional, dan organisasi filantropi—wajib bersatu untuk meningkatkan rasio elektrifikasi ke seluruh negeri. Jalan menuju 100 persen elektrifikasi mungkin menantang, tapi dengan adanya inovasi, kolaborasi, dan tekad, kita dapat memastikan bahwa tidak ada masyarakat Indonesia yang tertinggal.
Pergantian pemerintahan dapat menjadi momentum untuk mendefinisikan ulang lanskap energi Indonesia. Dengan memprioritaskan elektrifikasi berkelanjutan di daerah terpencil, kita dapat secara bersamaan mengatasi masalah keamanan energi, keterjangkauan harga, dan keberlanjutan.
Country Lead Indonesia Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) Lucky Nurrahmat berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
---
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.