Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Starlink, penyedia layanan Internet (ISP) satelit jaringan konglomerasi Space-X milik Elon Musk, akhirnya memasuki pasar Indonesia. Digadang-gadang menawarkan layanan Internet dengan jangkauan luas dan kecepatan tinggi, wajar bila kehadirannya begitu dinantikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya potensi layanan yang lebih mumpuni, belakangan strategi bisnis Starlink juga disebut membuat ketar-ketir pesaingnya. Starlink diduga memulai bisnisnya di Indonesia dengan melakukan strategi predatory pricing (harga pemangsa). Dugaan menyeruak setelah Starlink memangkas harga perangkat dari yang sebelumnya dibanderol Rp 7,8 juta menjadi Rp 4,68 juta. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) buka suara. Kemenkominfo disebut akan memantau potensi adanya praktik harga pemangsa oleh Starlink.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harga pemangsa atau sering juga disebut jual rugi merupakan salah satu bentuk pelanggaran dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pertama-tama, tentu Kemenkominfo tidak perlu repot-repot memantau kemungkinan Starlink melakukan praktik predatory pricing. Sejatinya sudah ada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang diberikan atribusi UU 5/1999 untuk menginvestigasi hingga memutuskan apakah benar Starlink melakukan pelanggaran undang-undang.
Harga pemangsa adalah strategi bisnis perusahaan yang menjual barang atau jasa dengan harga yang sangat murah, jauh di bawah harga pasar. Harga itu bahkan dipatok di bawah biaya produksi dan operasional perusahaan. Tak pelak bila perusahaan bukannya untung dan malah merugi dalam jangka waktu tertentu.
Memilih untuk rugi, bagi perusahaan yang menerapkan strategi harga pemangsa, bukanlah tanpa tujuan. Dalam jangka pendek, mungkin saja perusahaan harus berkorban. Namun, dalam jangka panjang, tujuannya adalah membuat pesaing tidak dapat bersaing dengan harga murah yang diterapkan, sehingga keluar dari pasar.
Fase jual rugi atau biasa pula dikenal dengan fase “campaign” dilakukan demi memuluskan fase berikutnya, “recoupment”. Ketika campaign berhasil, para pesaing tak mampu bersaing dan mati perlahan, pelaku harga pemangsa akan menjadi penguasa pasar. Mulailah fase recoupment, yang ditandai dengan pelaku usaha akan bergerak dari jual rugi ke mencari untung. Sebagai penguasa pasar yang bisa saja memonopoli pasar dan tak menghadapi persaingan berarti, dengan mudah dia akan menetapkan harga semaunya yang potensial merugikan konsumen.
Pelanggaran ketentuan harga pemangsa hanya akan terbukti ketika dua fase tadi, campaign dan recoupment, benar-benar terjadi. Masalahnya, acapkali pelaku usaha yang masih “membakar uangnya” di fase campaign keburu terkapar sebelum masuk ke fase recoupment. Mereka tak begitu tahan untuk terus-terusan menjual secara merugi. Alih-alih menjadi strategi mematikan pesaing, mereka sendiri yang terlempar dari pasar.
Berbagai negara yang memiliki undang-undang antimonopoli atau persaingan usaha belakangan tak terlalu sering menggunakan pasal harga pemangsa. Sulitnya konsisten tetap merugi hingga berhasil menjadi penguasa pasar merupakan logika ekonomi yang semakin diterima. Lagi pula, dalam kacamata undang-undang persaingan usaha yang fokusnya melindungi konsumen pula, bukankah baik apabila konsumen memperoleh harga murah dengan kualitas yang bisa diandalkan?
Harga murah tak selamanya lahir dari strategi harga pemangsa. Bisa jadi memang pengusaha hanya melancarkan gimmick pemasaran lewat harga promosi atau diskon dalam jangka pendek. Hal yang begitu lazim terjadi dalam dunia bisnis. Selain itu, dalam kasus bisnis yang berkaitan dengan teknologi seperti Starlink, bisa saja memang ada alasan-alasan seperti kemajuan teknologi dan skala ekonomi yang membuat Starlink ke depannya bisa jauh lebih efisien ketimbang ISP lain.
Keunggulan Starlink dari sisi teknologi sudah sering dibahas. Ambil contoh penggunaan roket yang dapat digunakan kembali seperti Falcon 9 milik SpaceX. Teknologi ini disebut dapat mengurangi biaya peluncuran satelit. Setiap peluncuran satelit menjadi lebih murah. Roket yang dapat digunakan berulang dipakai untuk beberapa peluncuran. Hal ini masih ditambah dengan teknologi satelit canggih dari Starlink yang disebut memiliki jangkauan dan umur yang lebih panjang sehingga dapat menekan biaya operasionalnya.
Secara ekonomi, Starlink juga dikenal mengoperasikan konstelasi satelit dalam jumlah besar. Hal ini memungkinkan Starlink mendistribusikan biaya operasionalnya kepada sejumlah besar pengguna di berbagai negara. Ujung-ujungnya biaya per pengguna bisa dipangkas.
Selain itu, perlu dipahami bahwa Starlink terintegrasi dengan induk usahanya, SpaceX. Hal ini membuat Starlink dapat menggantungkan operasionalnya pada infrastruktur satelit yang telah dirancang, diproduksi, dan diluncurkan oleh induknya itu. Ini tentu dapat mengurangi biaya terkait dengan penempatan dan operasi satelit secara signifikan. Di lain sisi, ISP pesaingnya mungkin saja masih perlu mengeluarkan biaya untuk membangun dan memelihara jaringan infrastrukturnya sendiri seperti jaringan fiber optik atau kabel.
Masuknya Starlink ke Indonesia memang terasa cukup dirayakan. Harapan besar muncul agar wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) juga benar-benar dapat menikmati Internet secara optimal. Lagi-lagi Starlink dianggap sebagai jawaban dengan konstelasi satelit orbit rendahnya atau biasa dikenal dengan LEO (low earth orbit) yang disebut mampu membuat wilayah terpencil tetap dapat mengakses Internet berkecepatan tinggi.
Terlalu tergesa-gesa menganggap Starlink melakukan praktik harga pemangsa yang melanggar hukum. Terlebih, hal tersebut baiknya diserahkan kepada KPPU sebagai penegak hukum dan bukannya Kemenkominfo. Baiknya Kemenkominfo tetap berfokus menjadi regulator yang memastikan Internet dapat diakses di setiap penjuru Indonesia dengan kecepatan optimal.
Memastikan pula bahwa setiap proyek yang memastikan akses Internet ke wilayah 3T adalah bentuk implementasi keadilan sosial dan sungguh biadab apabila sampai dikorupsi. Segala cita-cita digitalisasi Indonesia sebaiknya disimpan dalam saku selama infrastruktur penunjang utamanya, Internet, masih byarpet.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.