Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HENDRAWAN, saat pukulan smes ampuhmu menamatkan perlawanan pemain Malaysia dan Indonesia memenangi Piala Thomas untuk kelima kalinya, sebuah rekor baru di dunia bulu tangkis, kami ikut bangga. Ketika kamu acungkan raket ke arah penonton yang berisik dan memihak lawan di Tianhe Gymnasium, Guangzhou, Cina, seakan kamu mau bilang, "Lihat ini, Indonesia akhirnya juara!" kami ikut terharu. Ya, kemenangan, juara, dan rekor adalah kata yang makin langka dalam kamus olahraga Indonesia. Kemenanganmu dan tim Piala Thomas—oh ya, sampaikan salut kami kepada Trikus dan Halim yang bermain prima itu—bagi Indonesia ibarat ketemu sebutir kelapa muda di tengah padang pasir.
Tentu kau juga mencatat, kecuali Piala Thomas, tak sebiji pun gelar juara dunia kita kantongi. Dulu masih lumayan ada Susi dan Alan yang meraih emas Olimpiade. Ada petinju juara dunia, Ellyas Pical. Ada tim panahan yang meraih perak Olimpiade. Sekarang? Huh! Di Asia Tenggara saja, jika SEA Games di Brunei 1999 menjadi ukuran, kita cuma nomor tiga. Jangan coba-coba bicara prestasi Asia. Jauh. Apalagi bicara PSSI mau menggapai arena Piala Dunia. Wow, mimpi. Boleh dibilang itu hil yang mustahal.
Sudah begitu, Hen, yang datang kepada kita cuma gelar-gelar juara beraroma busuk. Juara korupsi se-Asia dan bahkan sedunia. Kita punya banyak jagoan. Ada lebih dari 200 konglomerat jago ngutang dan jago mengakali pemerintah—yang mau-maunya dibodohi. Ada yang pura-pura sakit, eh, ketika didatangi, kamar rumah sakitnya kosong, sementara "si pasien" berleha-leha di rumah bagusnya di luar negeri. Malah ada yang sudah dibui, eh, malah menyulap bui jadi kantor. Yang pegang rekor juga ada: setelah 32 tahun berkuasa, dengan setumpuk dakwaan di pengadilan, eh, dia masih bertahan di Cendana—katanya sih sakit.
Nah, kau tahu sekarang, Hendrawan, betapa menang dalam arti sesungguhnya itu luar biasa mewah bagi negeri ini. Prestasimu sedikit mengusir dahaga prestasi orang Indonesia. Bagi kami, kamu berjasa, walaupun kamu menolak disebut pahlawan, sambil menahan air mata. Kami paham, kamu seperti mau berteriak, "Mana ada pahlawan yang bahkan belum diakui oleh pemerintahnya sebagai warga negara yang sah?" Kamu menyanyikan Indonesia Raya. Kamu 30 tahun yang lalu juga lahir di sini, di Malang, sepotong wilayah Indonesia di Jawa Timur. Orang tuamu pun lahir di bumi Indonesia. Kami pun tak mengerti mengapa kamu masih perlu punya surat bukti kewarganegaraan RI. Bukankah setiap anak yang lahir di Indonesia berhak atas kewarganegaraan Indonesia sesuai dengan asas tanah kelahiran (ius soli) atau asas ius sanguinis sesuai dengan warga negara orang tua?
Banyak yang tidak kita pahami di negeri ini, Hen. Misalnya soal surat bukti kewarganegaraan RI itu. SBKRI sudah lama dihapus. Malah ada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1980 yang menegaskan penghapusan itu dan memberikan batas waktu: semua pengurusan SBKRI harus beres sebelum 17 Agustus 1980. Waktu itu ada sepuluh ribu berkas yang harus dibereskan. Masa, jangka waktu 22 tahun tidak cukup? Apa semua ini bukan kiat lama birokrat kita: "kalau bisa dipersulit, mengapa juga harus dipermudah"?
Untunglah Presiden Megawati membaca ihwal SBKRI milikmu dan istrimu dan langsung mengayun tongkat komando—dan kini surat yang berbau diskriminasi itu sudah beres dan tinggal diambil di Pengadilan Negeri Cibinong. Tapi bagaimana dengan nasib keturunan Tionghoa yang lain yang namanya tidak dikenal Presiden?
Kami dengar Presiden membolehkanmu meminta apa pun sebagai kado kemenangan. Kami sarankan, mintalah tiga perkara. Pertama, mintalah SBKRI ini dihapus selama-lamanya. Kedua, mintalah Presiden memecat birokrat yang memerasmu dan semua keturunan Tionghoa yang antre untuk mendapat SBKRI. Ketiga, mintalah Presiden melarang menterinya menjadi pemimpin induk organisasi olahraga. Kalau ditanya mengapa, jawablah itu penyebab olahraga kita mandek.
Kami tak sanggup memberimu bonus miliaran seperti yang lain. Tapi, sesekali mampirlah ke kantor, sekadar mencicipi nasi bungkus jatah malam deadline kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo