Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mengamankan Kecurigaan

Mewaspadai gerakan politik eksklusif adalah wajar, tapi kecurigaan berlebihan justru berisiko tinggi.

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAUKUS Islam terbentuk? Pertanyaan ini menjadi pembicaraan khalayak setelah sebuah pertemuan digelar di rumah Amien Rais, Rabu dua pekan lalu. Di kediaman resmi sang Ketua MPR, berkumpul tokoh politik beragama Islam dari berbagai partai. Maka muncul kecurigaan—tentu dari pihak yang tak diundang—bahwa sebuah koalisi ala Poros Tengah sedang dibangun.

Kecurigaan itu ada sebabnya, terutama bila berasal dari kelompok PDIP. Selain tak diundang, para pengurus partai berlambang banteng ini jelas belum lupa terhadap apa yang dilakukan kelompok Poros Tengah kepada mereka dalam Sidang Istimewa MPR pada 1999. Itulah saat Amien Rais dan koalisinya berhasil menghadang peluang Megawati terpilih menjadi presiden kendati PDIP adalah peraih suara terbanyak dalam pemilihan umum.

Bukan itu saja. Amien Rais—yang berperan dalam penggulingan rezim Soeharto—kemudian juga berhasil menggalang suara MPR untuk menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid. Maka jangan heran jika Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini punya reputasi sebagai pengguling presiden dan segala gerak-geriknya menjelang sidang tahunan MPR, Agustus mendatang, dicermati banyak orang. Jangan-jangan ia mulai bersiap-siap untuk melengserkan Presiden Mega.

Amien telah membantah tudingan ini. Tapi, kalaupun sangkaan itu benar, ini adalah hak politiknya. Kekhawatiran yang lebih besar bukanlah pada tujuan Amien Rais mengadakan pertemuan itu, melainkan pada tata caranya. Ada kesan Amien sedang menggalang kelompok eksklusif Islam sehingga kalangan nasionalis ataupun non-Islam merasa cemas akan potensi munculnya konflik primordial sebagai ekses dari pertentangan politik.

Persoalannya kemudian adalah apakah kecemasan ini wajar. Jawabannya sangat bergantung pada sejauh mana amandemen Undang-Undang Dasar 1945 akan dilakukan. Sebab, bila tak banyak penyempurnaan disepakati, kekhawatiran bahwa pada suatu saat dapat muncul pemerintahan yang menindas kelompok minoritas adalah beralasan. Konstitusi nasional yang berlaku saat ini terlalu banyak memberikan kekuasaan kepada penyelenggara kekuasaan. Padahal kondisi geografis ataupun demografis Indonesia saat ini memungkinkan sebuah kelompok politik yang menggalang solidaritas primordial dapat meraih kemenangan melalui pemilihan umum yang demokratis.

Dan kemungkinan seperti ini bukan hanya ada dalam teori. Adolf Hitler maupun Mussolini naik ke puncak kekuasaan melalui pemilihan umum yang demokratis dan didukung oleh partai yang boleh dikata bersikap rasis. Mereka kemudian meniadakan hak-hak pihak lawannya yang minoritas.

Harus diakui, demokrasi memang tak menjamin munculnya keadilan. Sebab, prinsip demokrasi adalah mayoritas yang menentukan. Itu sebabnya pembentukan masyarakat madani tak cukup dengan hanya berlandaskan pada sistem demokrasi, tapi juga dengan keyakinan atas keniscayaan hak asasi manusia yang universal seperti kebebasan beragama, berpendapat, ataupun hak mendapatkan proses pengadilan yang memadai.

Amandemen UUD 1945 harus mampu memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang universal itu. Ini bukan soal sulit. Amerika Serikat telah melakukannya, 15 Desember 1791, ketika mengamandemen konstitusinya dengan tambahan Bill of Rights. Negara maju yang demokratis lainnya juga menggunakan cara yang mirip. Maka kita juga dapat meng-adaptasinya agar sesuai dengan tata nilai bangsa Indonesia.

Pilihan lain adalah mengikuti naluri kecemasan dan terjerembap ke cara-cara tidak demokratis seperti mengakui kekuatan tentara di atas konstitusi ala Turki atau menafikan hasil pemilihan umum bila mencurigai pemenangnya berideologi antidemokrasi seperti di Aljazair.

Cara amandemen jelas lebih baik. Dan, bila ini telah dilakukan, kecemasan terhadap segala jenis kaukus bolehlah ditanggalkan. Sebab, soal keberagaman suku, agama, ras, ataupun golongan tak perlu lagi dianggap sebagai ancaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus