Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo sebaiknya menunda penggunaan anggaran kelurahan untuk tahun depan. Nihilnya landasan hukum bisa mengundang kecurigaan bahwa pemerintah memainkan politik anggaran menjelang pemilihan presiden. Tanpa adanya aturan pelaksanaan yang jelas, anggaran itu juga rawan diselewengkan.
Wasangka muncul manakala Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat terkesan terburu-buru menyetujui anggaran Rp 3 triliun untuk 8.485 kelurahan atau sekitar Rp 353 juta per kelurahan. Alokasi dana yang diambil dari anggaran desa itu memang diusulkan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia. Tapi Presiden Jokowi tidak menyinggungnya sama sekali ketika menyampaikan nota keuangan pada Agustus lalu.
Pemerintah ternyata juga belum menyiapkan aturan penggunaan anggaran kelurahan, termasuk kriteria kelurahan yang akan mendapat dana itu. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, misalnya, menyatakan tak semua kelurahan menerima dana tersebut, tapi hanya yang di luar Jawa. Tanpa instrumen hukum yang mengatur secara ketat dan transparan ihwal penggunaan dan pengawasannya, dana kelurahan akan gampang disalahgunakan.
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai satu-satunya landasan hukum alokasi dana kelurahan sebetulnya kurang kuat dan rentan bertabrakan dengan aturan lain. Apalagi Undang-Undang Pemerintahan Daerah tak menyebutkan kelurahan berhak mengelola anggaran sendiri. Sesuai dengan undang-undang ini, pemerintah daerah mengalokasikan dana pembangunan kelurahan melalui anggaran kecamatan.
Posisi kelurahan memang berbeda dengan desa, yang bersifat otonom dan diatur melalui Undang-Undang Desa. Selain mendapat anggaran khusus, desa memperoleh sepuluh persen hasil pajak dan retribusi daerah serta bagian dari dana perimbangan. Pengaturan dana itu pun sudah termaktub dalam peraturan pemerintah serta peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Dengan pengaturan lengkap itu pun, sebagian dana desa masih diselewengkan. Sepanjang 2015-2017, setidaknya terjadi 51 kasus penyalahgunaan, 32 penggelapan, dan 17 laporan fiktif. Kepala daerah juga kerap memperlambat pencairan anggaran tersebut untuk menekan kepala desa agar ikut mendukung dalam pemilihan kepala daerah.
Bukan tak mungkin modus seperti itu akan terjadi pula dalam penyaluran dana kelurahan. Bisa saja para kepala daerah—sebagian besar sudah menyatakan mendukung calon tertentu—menggunakan cara yang sama untuk memenangkan jagoannya dalam pemilihan presiden.
Pemerintah seharusnya tidak terburu-buru mengabulkan aspirasi para wali kota. Alasan mereka bahwa dana itu dibutuhkan untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kemacetan, kriminalitas, dan kemiskinan, tidaklah masuk akal. Justru tanggung jawab para wali kota untuk membereskan semua masalah itu dengan mengefektifkan anggaran daerah yang sudah ada.
Presiden Jokowi, yang sempat melontarkan kata “sontoloyo” gara-gara dikritik soal dana kelurahan, semestinya me--ng-utamakan tata kelola pemerintahan yang baik. Ia juga mesti berhati-hati dalam menggunakan anggaran negara. Pemerintah dan DPR bisa merevisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah sehingga memungkinkan kelurahan mengelola dana sendiri. Cara lain, Jokowi bisa menerbitkan peraturan pemerintah untuk memperkuat posisi kelurahan.
Jika direncanakan dan disiapkan lebih matang, alokasi da-na ke-lu--rahan tentu tidak mengundang keributan dan syak wasang-ka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo