Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IRA Sartika terkejut saat mendapati nilai rapor putrinya, Kia, turun drastis. Kia, yang tadinya cemerlang di kelas I sekolah dasar, masuk ke urutan nilai terbawah di kelas II. ”Di kelas I, sewaktu pelajarannya masih dibacain sama guru, nilainya bagus. Tapi, naik kelas II, nilainya terjun,” kata Ira, 35 tahun, Sabtu awal Oktober lalu.
Kia, 8 tahun, juga sering berperilaku aneh setelah naik ke kelas II. Ira mendapat laporan dari guru anaknya bahwa Kia selalu berusaha kabur ketika diminta membaca. Alasannya macam-macam. ”Kadang bilang lapar, nanti setelah makan bilangnya ngantuk,” ujar Ira, yang tinggal di Jakarta Timur.
Ira akhirnya mengetahui Kia, yang sekarang duduk di kelas III, menderita disleksia, yaitu kelainan genetik yang salah satunya ditandai dengan kesulitan membaca dan berkata-kata. Kia, misalnya, sering salah mengucapkan beberapa kata. ”Seperti ’Instagram’ dibilang ’Intasgram’, ’kereta’ bilangnya ’ketetra’,” ucapnya.
Disleksia berasal dari bahasa Yunani ”dys” yang berarti kesulitan dan ”lexia” yang berarti kata-kata. Asosiasi Disleksia Internasional mendefinisikan disleksia sebagai kelainan neurologis yang mengakibatkan ketidakmampuan belajar spesifik. Penderitanya kesulitan mengenali kata secara akurat, kesulitan mengeja, dan kesulitan mengkode simbol.
Kelainan ini membuat pemahaman membaca penderitanya kurang dan pengalaman membaca yang minim sehingga perkembangan kosakata yang dimiliki juga terhambat. ”Dampaknya, wawasannya jadi tidak luas,” kata psikolog Diah Puspasari dalam seminar bertajuk ”Closer with Dyslexia” di Jakarta, 6 Oktober lalu. Sejumlah dokter dan pegiat disleksia mengisi seminar ini untuk memberi pemahaman tentang penanganan disleksia kepada para orang tua penyandang dan guru.
Menurut dokter spesialis anak Kristiantini Dewi, satu dari sepuluh orang di dunia menyandang disleksia. Namun kebanyakan kelainan ini tak terdiagnosis. Pada disleksia ringan, gejalanya bisa berupa tak suka membaca dan menulis sampai dewasa. ”Ketika sudah dewasa, misalnya, idenya banyak, tapi kesulitan ketika disuruh bikin proposal atau menuliskannya,” ujar Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia ini. Albert Einstein, Leonardo da Vinci, Tom -Cruise, Walt Disney, Steve Jobs, dan mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, adalah beberapa pesohor yang menyandang kelainan ini.
Dampak dari kelainan yang melibatkan 23 gen tersebut tak hanya dalam urusan menulis dan membaca. Disleksia juga berefek pada, antara lain, belajar. Kecepatan belajar penyandangnya juga jauh lebih rendah ketimbang anak normal. Menurut Diah, anak penyandang disleksia butuh waktu pangkat dua daripada anak normal untuk memahami sesuatu. ”Misalnya, agar bisa sesuatu, anak normal butuh mencoba sepuluh kali. Anak disleksia perlu sepuluh pangkat duanya, jadi harus mencoba seratus kali,” tuturnya. Mereka juga kesulitan memahami arah sehingga sering nyasar, kesulitan memahami susunan agenda kegiatan dalam konsep yang terstruktur, sering salah menempatkan barang, tidak rapi dalam banyak hal, dan kesulitan mengelola dan mengatur waktu.
Lantaran hambatan tersebut, penyandang disleksia kerap dianggap bodoh. Padahal mereka umumnya memiliki IQ normal atau di atas normal. Karena anggapan itu, mereka tertekan dan rentan dirisak. Tekanan tersebut menyebabkan masalah mental. Sebanyak 20 persen penyandang disleksia menderita depresi dan 20 persen lainnya menderita gangguan kecemasan.
Gangguan tersebut bisa berkembang menjadi gangguan perilaku, sampai bisa menjadi gangguan bipolar, yakni gangguan mental yang membuat penderitanya mengalami perubahan suasana hati yang ekstrem berupa manic dan depresi. ”Bahkan, pada usia lebih dari 12 tahun, mereka sudah memiliki keinginan untuk bunuh diri,” kata Kepala Divisi Neurologi Anak Fakultas -Kedokteran Universitas Padjadjaran Purboyo Solek. Maka, makin cepat didiagnosis, kelainan disleksianya akan lebih mudah dikelola sehingga efek tersebut bisa diminimalkan.
Jika diagnosis sudah ditegakkan, cara mengajari penyandang disleksia mesti berbeda dengan anak normal. Mereka akan lebih mudah belajar dengan bantuan gambar dan gerakan. Karena fokus mereka pendek, durasi belajarnya juga disarankan diba-tasi 10-15 menit saja. Selain itu, talenta mereka mesti digali. ”Berikan mentor yang terbaik untuk menggali bakat mereka,” ujar Romandito Mahendrayudha, pegiat disleksia dari Yayasan Pendidikan Pelita Bangsa.
Amalia Prabowo adalah salah seorang yang mengembangkan bakat dua anaknya. Saat anak keduanya, Satria Prabowo, 10 tahun, tertarik pada fotografi, ia menitipkannya kepada fotografer Darwis Triadi dan Anton Ismael.
Adapun untuk anak pertamanya, Aqil Prabowo, 15 tahun, Amalia mengeluarkannya dari sekolah umum, dua tahun lalu, karena sudah menunjukkan gejala gangguan kecemasan. ”Tiap mau berangkat sekolah, mual. Lihat tas sekolah saja sudah pusing,” ucapnya.
Aqil, yang tertarik pada lukisan, dibebaskan untuk melakukan hobinya ini kapan pun. Hasilnya, kata Amalia, lukisannya jauh lebih menarik dan berwarna setelah ia keluar dari sekolah. “Lukisan Aqil akan dipinjam oleh Museum of Modern Art, New York, Amerika Serikat, untuk diteliti,” ujarnya.
NUR ALFIYAH
Deteksi Sejak Dini
MENURUT Kepala Divisi Neurologi Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Purboyo Solek, makin dini anak penyandang disleksia ditangani, makin mudah memperbaiki masalah akademiknya dan makin gampang menggali talentanya. ”Kalau anak didiagnosis pada usia lima tahun ke atas, biasanya sulit untuk memperbaiki kedisleksiaan anak,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia Kristiantini Dewi mengatakan gejala disleksia sebenarnya bisa dideteksi sejak usia prasekolah. Berikut ini tandanya.
1. Sangat pelupa
2. Gangguan berbahasa dalam mengutarakan pikiran, termasuk:
-Kesulitan membedakan unit bunyi terkecil dari suatu huruf (phonological awareness). Misalnya ”taman” untuk ”tanam”.
-Penggunaan istilah yang tidak tepat untuk mengungkapkan sesuatu.
-Kesulitan bercerita secara berurutan.
-Kesulitan memahami konsep ”lebih banyak dari”, ”lebih sedikit dari”, ”persamaan” ”perbedaan”, ”sebelum”, ”sesudah”.
-Penggunaan istilah yang terbalik, misalnya ”atas” untuk ”bawah” dan ”maju” untuk ”mundur”.
3. Menuliskan huruf dan/atau lambang bilangan terbalik Anak penyandang disleksia biasanya melakukan hal ini lebih konsisten dibanding anak normal dan cenderung lebih sulit dikoreksi. Meski tak semua anak disleksia menunjukkan gejala ini.
4. Kesulitan menyusun atau menyebutkan huruf-huruf dalam susunan alfabet yang tepat.
5. Kesulitan dalam koordinasi gerakan motorik, seperti sering terjatuh, sering menabrak benda, dan sering tersandung, meski anak penyandang disleksia tidak selalu menunjukkan gejala tersebut.
6. Kesulitan melakukan aktivitas yang membutuhkan keterampilan motorik halus, seperti mewarnai, menggunting, dan mengancingkan baju.
7. Lambat memberi respons dan lambat dalam mengeksekusi suatu tugas atau instruksi.
8. Sering kehilangan barang, seperti pensil, botol minum, jepit rambut, dan kaus kaki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo