Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
R. William Liddle
APAKAH Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua merupakan reinkarnasi Mafia Berkeley, yang selama puluhan tahun sangat mempengaruhi pembentukan kebijakan ekonomi pemerintahan Soeharto? Dari satu segi, jawabannya pasti ya. Profesor Widjojo Nitisastro dari Universitas Indonesia, mantan capo mafia tersebut, dan Profesor Boediono dari Universitas Gadjah Mada, Menteri Koordinator Ekonomi yang baru, menganut aliran keyakinan yang sama.
Mereka adalah mainstream economists, ekonom profesional yang percaya pada kekuatan pasar sebagai penggerak utama ekonomi modern. Negara dalam model ini diberi peran tut wuri handayani, mengatur konteks agar pasar bisa berjalan dengan baik. Pemerintah ditugasi menjaga stabilitas makro-ekonomi melalui kebijakan moneter dan fiskal yang konservatif, serta menciptakan aturan perdagangan dan penanaman modal yang terbuka. Pemerintah juga harus mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lain untuk memberdayakan semua aktor ekonomi.
Namun, dari segi lain, yaitu strategi politik untuk mewujudkan cita-cita ekonomi tersebut, dua tokoh itu berpaling seratus delapan puluh derajat. Widjojo adalah makhluk Orde Baru yang otoriter, sedangkan Boediono makhluk era Reformasi yang demokratis. Audiens Widjojo adalah Soeharto; audiens Boediono adalah seluruh rakyat Indonesia. Saya teringat secara dramatis perbedaan itu ketika saya mendengarkan ceramah Boediono, ”Managing the Indonesian Economy: Some Lessons from the Past,” di Canberra, Australia, September lalu.
Boediono memaparkan visi politiknya dengan jelas, juga dalam beberapa ceramah di Jakarta sebelum ia diangkat sebagai menko. Intinya adalah sebuah tawaran kepada kaum politisi: kalau Anda mengizinkan kami, para ekonom, untuk membentuk kebijakan pokok ekonomi berdasarkan pengetahuan ilmiah, kami menjanjikan laju pertumbuhan yang maksimal. Anda dan masyarakat Indonesia akan menikmati hasilnya dalam bentuk kue nasional yang semakin besar. Kebijakan pokok yang dimaksudkan termasuk kebijakan moneter, yang sudah dikuasai Bank Indonesia, kebijakan fiskal, dan beberapa bagian dari kebijakan perdagangan dan pembangunan.
Tawaran Boediono dipengaruhi analisis Alan Blinder, profesor ekonomi di Universitas Princeton dan mantan Wakil Ketua Federal Reserve Board, bank sentral kami. Menurut Blinder, masyarakat Amerika perlu memikirkan kembali proses pengambilan berbagai macam keputusan kolektif. Khususnya di bidang ekonomi, ”government is too political”--pemerintah terlalu dipengaruhi oleh kalkulasi politik. Kebijakan negara sering berpihak pada kelompok kepentingan yang sempit, yang membuat masyarakat semakin skeptis terhadap semua politisi, baik Republikan maupun Demokrat.
Blinder tak mau meninggalkan demokrasi, yang merupakan persaingan sehat antarpolitisi untuk memperoleh dukungan masyarakat. Tanpa persaingan politik, masyarakat akan kehilangan kesempatan memilih pemerintahannya sendiri. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa setiap masalah harus dipecahkan dengan cara yang sama. Blinder menganjurkan fleksibilitas. Dalam tiap kasus kebijakan, para politisi diharap memperhitungkan bobot relatif dari tiga faktor: pengetahuan ilmiah, perspektif jangka panjang, dan dampak luas atau umum sebuah solusi.
Pengetahuan ilmiah yang hanya dikuasai oleh para ahli sering diperlukan, misalnya untuk memilih beberapa rencana undang-undang pajak. Hanya ekonom terlatih yang mampu menilai dampak rencana-rencana tersebut terhadap pertumbuhan atau distribusi. Begitu juga dengan perspektif jangka panjang dan kemampuan untuk mengetahui apakah sebuah kebijakan akan berdampak luas atau tidak. Contohnya adalah penentuan tingkat bunga oleh Federal Reserve Board. Orang-orang yang berpikiran jangka pendek dan hanya untuk kepentingan kelompoknya sendiri, seperti kebanyakan politisi, akan menciptakan kebijakan yang keliru bagi masyarakat umum.
Tawaran Boediono merupakan penerapan analisis Blinder kepada masyarakat Indonesia masa kini, ketika kedua negara kita adalah negara demokrasi. Ada tiga alasan untuk menerima tawaran tersebut. Pertama, Boediono dan timnya adalah ekonom profesional yang akan menciptakan dan melaksanakan kebijakan berdasarkan ilmu yang mereka kuasai. Mereka tidak punya kepentingan lain sebagai pengusaha atau pemimpin partai politik.
Kedua, dalam sistem demokrasi yang berlaku kini, Boediono dan timnya terpaksa berhubungan dengan wakil rakyat di DPR secara langsung, transparan, dan kontinu. Perkataan dan perbuatan mereka akan dipantau, diperiksa, dan dinilai terus. Hal ini berbeda sama sekali dengan zaman Soeharto, ketika Widjojo dan rekannya hanya berbicara kepada sang penguasa tunggal. Akhirnya, senjata pamungkas wakil rakyat adalah hak mereka untuk menolak tawaran Boediono kalau kinerjanya tak lagi memadai. Tentu kita semua berharap supaya hak itu tidak pernah perlu dilakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo