Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETAHUN setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan wabah Covid-19 sebagai pandemi global, inilah saat kita menengok ke belakang. Berhenti sejenak untuk belajar dari kekeliruan penanganan pandemi jauh lebih bijak ketimbang jalan terus seraya menganggap tak ada yang menyimpang. Ketergesaan mengambil keputusan atas nama kedaruratan hanya membawa mudarat jika tak dibarengi transparansi dan akuntabilitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengenai potensi kerugian negara dalam pengadaan jutaan unit alat kesehatan untuk penanganan pandemi merupakan salah satu contoh kekeliruan. Pengadaan alat tes dan reagen polymerase chain reaction (PCR), ribonucleic acid (RNA), serta viral transport medium (VTM) yang dilaporkan BPKP itu terjadi pada April-Agustus 2020 dengan potensi kerugian hampir Rp 40 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan setelah dikirim ke berbagai provinsi, baru diketahui bahwa alat tes reagen tak cocok dengan fasilitas laboratorium. Tak tanggung-tanggung, 78 laboratorium di 29 provinsi secara bertahap mengembalikan alat tes dan reagen tersebut, dengan total nilai hampir Rp 170 miliar. Insiden ini jelas merupakan sinyal buruk tata kelola pengendalian pandemi.
Memang Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Letnan Jenderal Doni Monardo sudah meminta perusahaan penyedia alat kesehatan yang bermasalah segera menarik produk mereka. Meski begitu, tetap ada risiko semua reagen tersebut kedaluwarsa jika tak segera diredistribusi ke lab yang tepat. Kesalahan fatal seperti ini seharusnya tak terjadi jika pemerintah mampu berkoordinasi dengan lebih baik.
Koordinasi, itulah soalnya. Pada April 2020, di masa kritis penanganan pandemi Covid-19, Kementerian Kesehatan dan Satgas Covid-19 memiliki data yang berbeda soal ketersediaan reagen dan alat tes PCR. Satgas memastikan stok kosong, sementara Kementerian yakin stok reagen masih ada. Pada saat yang sama, para dokter dan pengelola laboratorium sudah kelimpungan karena puluhan ribu spesimen menumpuk tanpa bisa dites. Tanpa tes, rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan tak bisa membedakan mana pasien Covid-19 dan mana yang bukan.
Pada kondisi segenting itu, Kementerian Kesehatan tidak hanya bungkam soal ketersediaan reagen, mereka juga tak memiliki daftar alat kesehatan yang lolos uji produk atau setidaknya laik pakai. Sebagai otoritas medis tertinggi di Indonesia, mereka tak menyediakan data yang tepat dan memadai soal spesifikasi alat kesehatan dan laboratorium. Karena itu, amburadulnya pengadaan alat reagen yang kemudian terjadi sebenarnya tak mengagetkan. Miskoordinasi ini berpotensi menimbulkan ratusan miliar rupiah kerugian negara.
Telah banyak ditelaah: di masa-masa awal, Indonesia mengatasi pagebluk tanpa kepemimpinan. Semua unit pemerintah bergerak sendiri-sendiri nyaris tanpa koordinasi. Otoritas medis yang seharusnya responsif dalam melindungi kepentingan publik malah lumpuh. Terawan Agus Putranto, Menteri Kesehatan ketika itu, bahkan menolak mengakui krisis kesehatan yang skalanya sudah sangat mengkhawatirkan.
Aktivitas dasar seperti pengujian, pelacakan, dan pengobatan untuk meredam penyebaran Covid-19 tak dilakukan pemerintah dengan sungguh-sungguh. Semua itu terjadi bukan semata karena keterbatasan sarana, melainkan lantaran berkembangnya pandangan anti-sains bahkan di kalangan pemerintah sendiri.
Lemahnya infrastruktur pelayanan kesehatan juga patut menjadi catatan. Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), yang seharusnya menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan dasar, tak diurus dengan baik. Berada dalam wewenang kepala daerah, nasibnya tergantung niat politik serta kesadaran para gubernur, bupati, dan wali kota. Soal produksi obat dan alat kesehatan, kita juga kedodoran. Berbeda dengan Cina dan India, yang bertahun-tahun berinvestasi dalam industri farmasi dan alat kesehatan, Indonesia jauh tertinggal.
Baca liputannya:
- Mengapa Pengadaan Alat Tes Covid-19 di BNPB Kisruh
- Bagaimana Bisa Tes Covid-19 Negatif Tapi Hasilnya Positif
- Siapa Budiyanto A. Ganti, Pengusaha yang Mendapat Porsi Terbesar Distributor Tes Covid-19
- Hubungan Budiyanto A. Gani dengan Doni Monardo
Tak hanya di bidang kesehatan, setahun pandemi juga menunjukkan kelemahan kita dalam hal kebijakan sosial-ekonomi. Proporsi anggaran untuk sektor kesehatan dan sosial jauh lebih minim ketimbang pos belanja lain. Kaum miskin dan rentan diperlakukan ala kadarnya dalam skema perlindungan sosial. Anggaran bantuan sosial bahkan dikorupsi.
Solidaritas sosial sebagai modal utama malah tak dikelola dengan baik. Kelompok masyarakat yang ingin membantu kerap dicurigai. Pemerintah gagal membangun kepercayaan masyarakat sipil untuk bersama-sama menghalau pandemi. Jika pemerintah tak mengevaluasi kinerjanya setahun terakhir, semua catatan buruk ini sangat mungkin terulang kembali.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel iin terbit di bawah judul "Darurat Dahulu, Mubazir Kemudian"