Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAIN tersandung masalah korupsi karena Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi, proyek reklamasi Makassar New Port menimbulkan persoalan lingkungan. Dalam risetnya sepanjang Agustus-Desember 2020, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menemukan penambangan pasir di perairan Kodingareng untuk membangun pelabuhan itu merusak ekosistem laut dan menghilangkan ekonomi masyarakat di kawasan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Walhi, penambangan pasir di Kodingareng menghasilkan sedimen yang membuat air laut keruh. Sedimen ini mempengaruhi terumbu karang, habitat berbagai organisme laut. “Penambangan pasir laut telah merusak ekosistem laut yang berakibat pada menurunnya tangkapan nelayan,” kata Muhammad Al Amin, Direktur Walhi Sulawesi Selatan.
Bukan kali ini saja reklamasi menimbulkan persoalan lingkungan. Di era Presiden Soeharto, megaproyek Pantai Indah Kapuk (PIK) yang menguruk kawasan cagar alam Angke Kapuk di utara Jakarta menyisakan masalah lingkungan. Dalam artikel majalah Tempo edisi 29 Januari 1994 berjudul “Menelusuri Angke dan Reklamasi PIK”, proyek itu dikabarkan menuai polemik.
PIK kembali disorot karena sejak akhir tahun lalu puluhan truk besar tanpa henti menderu menyisir tepian cagar alam. Mereka membawa ribuan ton pasir, kemudian menumpahkannya ke proyek permukiman PIK, yang terletak di sebelah barat daya cagar alam itu.
Seirama dengan hiruk-pikuk di cagar alam, kegiatan yang tak kurang berisik terjadi di PIK. Dua kapal pengeruk jenis suction hopper dredger, milik badan usaha milik negara Departemen Perhubungan, secara bergantian menyuplai pasir ke sana.
Menurut beberapa karyawan PIK, pasir itu diambil dari Tanjungkait dan Cituis di Kepulauan Seribu. Tak aneh bila sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah kawasan yang ditimbun tanah dan pasir.
Hutan bakau dan danau buatan yang merupakan persyaratan dikeluarkannya izin pembangunan PIK belum juga kelihatan sosoknya. Yang tampak hanyalah kegiatan reklamasi pasir, yang diperkirakan mencapai luas 20 hektare. Ada kekhawatiran reklamasi itu akan mengancam kelestarian cagar alam Angke Kapuk.
Daerah penyangga cagar alam yang sebenarnya harus dipertahankan keasliannya ternyata ikut pula diuruk. Padahal, sebelumnya, pemilik PIK, yakni PT Mandara Permai, telah sepakat membangun pembatas antara cagar alam dan lokasi proyek selebar 100 meter.
Menurut sumber Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), pembangunan permukiman di daerah penyangga cagar alam telah menyalahi Undang-Undang Tata Ruang. Mungkin karena itu Bapedal belakangan kembali mempersoalkan pembangunan PIK.
Seorang anggota staf lembaga itu mengatakan instansinya telah mengajukan dua usul kepada pemerintah DKI: evaluasi pelaksanaan proyek atau revisi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan. Usul Bapedal ini agak mengherankan karena, sejak pembangunan dimulai dua tahun lalu, PIK sudah mengantongi izin dari Departemen Kehutanan dan pemerintah DKI.
Rupanya, selama pembangunan berlangsung, ada beberapa persyaratan dalam amdal yang belum dilaksanakan PIK. “Reklamasi dikhawatirkan menimbulkan bencana bagi penduduk di sekitarnya,” ujar sumber di Bapedal
Sebelum adanya pembangunan, kawasan PIK merupakan rawa- rawa yang berfungsi menampung luapan air dari Cengkareng Drain. Dengan adanya reklamasi, luapan air dari Cengkareng Drain akan menggenangi kawasan industri dan permukiman penduduk di luar PIK.
Pihak Mandara Permai menampik semua kekhawatiran itu, termasuk soal terjadinya banjir. Mandara sesumbar akan menjaga ketinggian air tanah dengan mempertahankan rawa-rawa selebar 20 meter. Bila kemarau tiba dan air rawa turun, air akan dipompa dari Cengkareng Drain.
Ihwal pembangunan kota di atas hutan bakau itu, Wakil Gubernur DKI Bidang Ekonomi dan Pembangunan Tubagus Muhammad Rais mengatakan, selain diperuntukkan bagi tempat rekreasi, cagar alam, bisnis, dan pelabuhan, kawasan Jakarta Utara diizinkan untuk dikembangkan menjadi daerah permukiman. “Persaingan makin ketat,” ujar Rais.
Dalam soal perizinan, Mandara memang tak ada kelemahan. Namun apa yang terlihat di lapangan ternyata tak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan. Malah hutan bakau dan danau buatan belum juga dibangun, padahal sarana itu diperlukan untuk habitat burung, monyet, dan kucing hutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo