Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGAMBILALIHAN paksa Partai Demokrat lewat kongres luar biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara, bukan sekadar prahara internal partai, melainkan ancaman serius terhadap demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyerobotan itu membunyikan alarm bahaya bahwa tidak ada partai politik atau organisasi kemasyarakatan yang bisa selamat dari intervensi pemerintah. Asalkan didukung oleh pejabat negara plus segelintir kader, kekuasaan bisa berpindah tangan. Setidaknya konflik berkepanjangan akan terjadi di partai atau organisasi itu, sesuatu yang menggerus tenaga dan perhatian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam kongres luar biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, 5 Maret lalu. Berlangsung hanya sekitar satu jam, kongres itu dihadiri pengurus dadakan. Praktik bagi-bagi duit mewarnai jalannya KLB. Moeldoko dan pendukungnya mengklaim KLB abal-abal itu sah. Saat ini ia bersiap mendaftarkan kepengurusan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tindakan ngawur Moeldoko seharusnya bisa dihentikan lebih awal, setelah dugaan pendongkelan Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mencuat awal pada Februari lalu. Moeldoko, misalnya, meminta pengurus daerah mendukungnya dalam KLB. Istana dan sejumlah menteri menyatakan penyerobotan—waktu itu masih berupa ancang-ancang—merupakan persoalan internal Partai Demokrat. Sikap ini tentu tak tepat mengingat Moeldoko merupakan bagian dari kekuasaan Presiden Joko Widodo. Melenggangnya Moeldoko di KLB menunjukkan kegagalan Jokowi membangun demokrasi.
Demokrat memang bukanlah partai tanpa cela. Korupsi yang menimpa sejumlah kader saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat presiden ikut merontokkan perolehan suara dan kursi partai itu dalam Pemilihan Umum 2014 dan 2019. Partai itu pun menjadi organisasi keluarga setelah kongres yang digelar pada Maret 2020 mengesahkan Agus, putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai ketua umum. Tak terlatih berorganisasi, Agus gagal mengkonsolidasi para kader. Betapapun buruknya, keadaan itu tidak bisa dijadikan Moeldoko sebagai alasan untuk mengambil alih.
Tindakan Moeldoko merebut Partai Demokrat mudah menimbulkan wasangka bahwa aksi ini merupakan rangkaian upaya pemerintah untuk menaklukkan lawan politik. Bersama Partai Keadilan Sejahtera, Demokrat menjadi partai yang berada di luar lingkar kekuasaan Jokowi.
Selama ini, pemerintah menghalalkan segala cara untuk menekan mereka yang berseberangan pendapat. Menghadapi para penentang Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, sejumlah pegiat demokrasi ditekan lewat media sosial atau dipidanakan. Cara-cara kotor semacam ini tentu sangat berbahaya bagi demokrasi.
Presiden harus menghentikan langkah Moeldoko. Jokowi dan para menteri tak bisa lagi menyangkal bahwa persoalan itu bukan semata menyangkut Partai Demokrat, melainkan nasib demokrasi di Indonesia. Presiden bisa memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tak mengesahkan hasil kongres Deli Serdang. Presiden secepatnya harus menindak Moeldoko yang jelas-jelas merampas partai yang ia sendiri belum pernah menjadi kadernya.
Keberpihakan Jokowi terhadap demokrasi pada akhirnya akan melambungkan nama baiknya. Jika keberpihakan itu ia pilih, motifnya hendaknya bukan untuk menjadikan Partai Demokrat berutang budi lalu menjadikan partai itu bagai kerbau dicocok hidung. Menyelamatkan Partai Demokrat hendaknya dilakukan untuk menjaga demokrasi, sistem terbaik yang dulu mengantarkan Jokowi menjadi presiden. Menaklukkan Partai Demokrat—lewat Moeldoko atau Agus Harimurti yang telah “dijinakkan”—untuk kepentingan kekuasaan Jokowi semata merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo