BUKU Margatrends tentu Anda sudah baca. Dan kalau tidak salah, Anda membeli buku itu karena mendengar judul buku itu disebut oleh seorang profesor dalam suatu ceramah. Karena profesor itu bilang bahwa buku itu baik, maka Anda pun tidah mau ketinggalan untuk ikut membelinya, lalu membacanya, dan kemudian mengatakan pula kepada orang lain bahwa Margatrends adalah buku yang istimewa. Maka, teman Anda pun akan pergi ke toko buku dan membeli buku itu. Dapatkah Anda bayangkan berapa saja orang yang membeli buku itu dengan cara yang lazim dikenal di Jawa sebagai getok tular ini? Orang Inggris pun mengenal getok tular dalam istilah word-of-mouth. Di sono pun word-of-mouth dianggap sebagai suatu kekuatan yang patut diperhitungkan. Megatrends itu sendiri ketika diluncurkan ke pasaran pun menggunakan teknik promosi word-of-mouth. Penerbitnya, Warner Books, mengirimkan 1.000 buku itu kepada para eksekutif yang perusahaannya terdaftar dalam Fortune-500. Seribu orang eksekutif puncak yang merasa bangga mendapat kiriman buku ini tentu saja akan berkata kepada anak buahnya dan teman bisnisnya tentang buku penting yang baru dibacanya itu. Lalu terjadilah apa yang dinamakan top-down word-of-mouth. Dalam waktu kurang dari sebulan Megatrends sudah menjadi buah bibir semua orang penting. Orang-orang yang merasa dirinya penting pun tentu saja ikut membeli buku ini, dan membicarakannya. The Asian Wall Street Journal pun melaporkan sebuah sukses bisnis lain yang dihasilkan oleh teori getok tular ini. Pada 1983 Columbia Pictures meluncurkan film Educating Rita, Sebuah cerita tentang seorang guru yang jatuh cinta kepada muridnya. Anggaran promosi untuk film ini begitu kecil sehingga film ini tidak bisa diluncurkan secara besar-besaran seperti biasanya dilakukan dalam bisnis perfilman, baik di Amerika maupun di negara lain. Tetapi mengapa Educatng Rita berhasil menjadi salah satu hit pada tahun itu? Rahasianya adalah: teori getok tular. Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 80% dari pilihan pembeli terjadi karena adanya "rekomendasi" dari orang lain. Thomas Bonoma, seorang guru besar tentang ilmu pemasaran di Harvard Business School, berkata bahwa word-of-mouth adalah suatu pengaruh yang sangat kuat, tetapi justru jarang diteliti. Seorang eksekutif dari perusahaan film Paramouint Pictures pun sependapat bahwa word-of-mouth adalah elemen pemasaran yang sangat penting. Ia dapat berkata begitu karena salah satu filmnya, Term of Endearment, menjadi bahan pembicaraan orang hanya dalam waktu 43 jam setelah pertunjukan perdananya. Seorang ahli psikologi, Ernest Dichtcr, menganggap bahwa sukses teori getok tular ini adalah karena pada galibnya setiap orang suka menjadi pembawa berita "Kemampuan seseorang untuk memberi advis atau rekomendasi kepada orang lain membuatnya merasa lebih bergengsi. Rasanya ia sudah lebih pakar (expert)," kata Dichter. Kunci kekuatan teori ini adalah menemukan orang yang tepat sebagai penyampai berita. Siapakah orang yang tepat? Ketika bekerja di bidang komunikasi keluarga berencana pada awal tahun 1970-an, saya dulu mengenal satu kelompok sasaran yang dikenal sebagai informal leaders. Lurah, Camat, babinsa adalah formal leaders, yaitu pemimpin yang ditunjuk, dipilih, atau diangkat memang untuk memimpin. Tetapi di dalam masyarakat selalu saja ada orang-orang tertentu yang tidak menjadi pemimpin, misalnya Pak Kiai, Mbah Dukun tukang tambal ban sepeda di pos hansip, Pak Guru, dan Bu Bidan. Mereka bukan pemimpin, tetapi apa yang mereka katakan selalu didengar oleh banyak orang. Kalau Bu Bidan bilang spiral itu baik maka akan banyaklah akseptor KB. Kalau Pak Kiai bilang kumpul kebo itu buruk, maka amanlah kampung itu dari kejadian samen leven. Kalau Pak Guru bilang bahwa baterei cap kucing itu baik, maka murid-muridnya akan meminta orangtuanya untuk membeli baterei cap kucing. Begitu hebatnya teori getok tular. Dan teori ini tentu tidak akan ditularkan di bangku sekolah. Ada yang berminat? Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini