Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Democracies may die at the hands of presidents who subvert the very process that brought them to power. (Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, How Democracies Die, 2018)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG tiran yang berasal dari Jawa (Javanese tyrant) menyelenggarakan pemilihan umum secara semu (pseudo-election) dan hanya sebagai topeng elektoral sembari merusak dan membunuh substansi demokrasi secara halus. “Elected autocrats maintain a veneer of democracy while eviscerating its substance,” kata profesor Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di Harvard University, Amerika Serikat, dalam How Democracies Die (2018).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sambil mempertahankan the veneer of democracy, seperti pemilu, partai politik, dan pelbagai institusi demokrasi lain, agar Indonesia terkesan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India, tiran Jawa terus merusak, menghancurkan, bahkan membunuh substansi demokrasi melalui polarisasi politik. Ia menciptakan dan melanggengkan polarisasi untuk kepentingan politik elektoral. Pemilu 2024 ini sama sekali bukan kontestasi politik yang jujur, adil, dan demokratis, hanya topeng demokrasi elektoral bagi tiran Jawa beserta para penerima warisannya untuk melanggengkan kekuasaan.
Pemilu tidak berlangsung dalam konteks pertarungan ideologi dan gagasan antar-kontestan dan partai politik untuk kemajuan Indonesia. Jauh dari itu. Rangkaian politik menuju pemilu justru ditandai dengan polarisasi dalam bentuk benturan antara mereka yang mempunyai kekuasaan dan mereka yang fakir kekuasaan. “Dalam sebagian besar sejarah manusia,” kata Moisés Naim dalam The Revenge of Power (2022), “mereka yang berkuasa menimbun kekuasaan demi keuntungan sendiri, mewariskannya kepada anak-anak mereka untuk mendirikan dinasti darah dan hak istimewa, tanpa memperhatikan mereka yang tidak memiliki kekuasaan.”
Dengan kekuasaan autokratik yang terpusat pada diri sendiri, tiran Jawa membangun dinasti politik atas dasar garis keturunan darah dan berkampanye untuk anaknya secara sembunyi dan terbuka. Seruan netral dalam pemilu yang disuarakan, ia langgar sendiri. Janji demokrasi yang meritokratik dan terbebas dari nepotisme, ia khianati sendiri. Tiran Jawa adalah tipe pemimpin yang penuh kontradiksi. Ben Bland (2020) menyebutnya sebagai “man of contradictions” yang bertindak lebih sebagai seorang raja daripada presiden dan mengingatkan memori kita pada otoritarianisme Soeharto. Kedua tiran Jawa ini sama-sama merawat topeng demokrasi sambil merusak norma dan substansinya.
Konsekuensinya, kampanye politik berlangsung di luar kesepakatan bersama: jujur, adil, dan demokratis. Dengan modal sumber daya negara, pejabat publik yang ditunjuk, dan kekuatan uang yang tak terbatas, tiran Jawa bersama penikmat kekuasaan bergerak leluasa untuk berkampanye politik tanpa ada rintangan apa pun. Sebaliknya, kebebasan tak pernah dirasakan secara leluasa oleh mereka yang tidak menggenggam kekuasaan. Politik intimidasi dan ketakutan dipergunakan sebagai senjata ampuh bagi tiran Jawa untuk mempersempit pergerakan pesaing politiknya. Kampanye politik pun berlangsung secara tak adil antara mereka yang berkuasa dan mereka yang tak punya kekuasaan.
Kebijakan negara dalam bentuk bantuan sosial merepresentasikan ketidakadilan dalam pemilu. Pesan bantuan sosial disampaikan kepada rakyat sebagai kebaikan pribadi penguasa dan para penerima warisan kekuasaannya daripada kebijakan negara yang impersonal dan adil. Dari sisi informasi, bantuan sosial yang disampaikan kepada para penerima, jelas itu bentuk penyesatan publik. Dari sisi esensi kebijakan publik, jelas itu bentuk penyelewengan kekuasaan.
Berbagai penyelewengan kekuasaan, pelanggaran etika, dan perusakan norma demokrasi dipertontonkan secara vulgar dalam rangkaian politik menuju pemilu. Tidak terlihat “sikap hidup dengan rasa malu selamanya”—long live shame—(Anderson, 1999) yang terpancar pada raut wajah tiran Jawa dan mereka yang mempraktikkan kekuasaan secara tiranik. Padahal, kata Ben Anderson (1999), “sebagai bagian dari komunitas imajiner, setiap orang harus merasakan ketidaknyamanan moral dalam setiap hal buruk yang terjadi atas nama bangsa”.
Bantuan sosial, yang menguntungkan penguasa beserta penerima warisan kekuasaannya dan merugikan mereka yang fakir kekuasaan, hanya menebalkan topeng kerakyatan bagi tiran Jawa sebagai penguasa populis. Populisme tiran Jawa melengkapi daftar panjang para tiran populis dari berbagai belahan dunia. Seperti tiran populis Hugo Chávez di Venezuela, Viktor Orbán di Hungaria, Recep Tayyip Erdoğan di Turki, dan Donald Trump di Amerika Serikat, tiran Jawa pun merepresentasikan tipe penguasa populis. Seperti halnya nasib tragis demokrasi di tangan para tiran populis dunia, demokrasi kita juga sedang dibunuh secara halus, gradual, dan sistematis oleh tiran populis Jawa.
Populisme menjadi senjata ampuh bagi tiran Jawa untuk membunuh substansi demokrasi. Ia melahirkan dan membentuk tradisi kultus personal (personal cult) yang sangat luas, tak hanya di kalangan rakyat kecil yang tak berpendidikan, tapi juga dalam komunitas intelektual yang terdidik. Mereka bersikap sama dengan “tegak lurus” melalui kultus personal kepada tiran Jawa.
Demokrasi berada di ujung kematian saat warganya tak mampu lagi berpikir rasional dan terjatuh pada kultus personal. Situasi inilah yang menjadi kerisauan intelektual Timothy Snyder di Yale University dalam “The Cowardly Face of Authoritarianism” (The New York Times, 3 Desember 2018): “Transisi dari demokrasi ke kultus kepribadian dimulai dari seorang pemimpin yang mau berbohong sepanjang waktu untuk mendiskreditkan kebenaran. Transisi selesai ketika rakyat tidak lagi bisa membedakan antara kebenaran dan perasaan”. Kerisauan inilah yang terjadi pada kualitas kepemimpinan tiran Jawa yang gemar berbohong sepanjang waktu sehingga pikiran rakyatnya tumpul dan perasaan, bukan kebenaran, yang menjadi penentu dalam urusan politik.
Republik ini memanggil kita, yang masih “tegak lurus” pada akal budi dan hati nurani, untuk menyelamatkan pemilu dari bahaya tiran Jawa dan mereka yang mempraktikkan kekuasaan secara tiranik. Menjelang 14 Februari 2024, kita harus bergerak menyadarkan keluarga, sedulur, tetangga, dan masyarakat sekitar untuk berpegang teguh pada akal budi dan hati nurani memilih pemimpin Indonesia ke depan. Dengan memilih pemimpin secara benar, republik kita terselamatkan dari ujung kematian demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tiran Jawa"