Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelarangan ibadah Natal bersama di Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, adalah tragedi berulang bagi asas kebebasan beragama di negeri ini. Pemerintah tak boleh berdiam diri demi melindungi hak beragama setiap warga negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kedua wilayah itu, warga Nasrani hanya boleh melakukan ibadah di kediaman masing-masing. Jika ingin melakukan ibadah bersama, mereka harus mencari gereja resmi. Masalahnya, tak ada satu pun gereja di Dharmasraya ataupun Sijunjung. Gereja terdekat berada di Kabupaten Sawahlunto, yang berjarak 120 kilometer dari Dharmasraya dan 30 kilometer dari Sijunjung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembatasan ibadah Natal bersama di kedua wilayah itu telah beberapa kali terjadi. Yang terakhir, sebanyak 60 warga (22 keluarga) Katolik di Jurong Kampung Baru, Nagari Sikabau (Dharmasraya), tak mendapat izin untuk mengadakan kebaktian bersama oleh wali nagari, ninik mamak (tetua adat), tokoh masyarakat, pemuda Sikabau, dan pihak lainnya. Hal serupa dialami 210 keluarga di Nagari Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung.
Pada 2000, umat Katolik Dharmasraya pernah mencoba mengadakan kebaktian Natal bersama di sebuah rumah warga. Kala itu, mereka tak hanya mendapat penolakan lisan. Rumah warga yang dipakai untuk kebaktian itu pun dibakar. Sejak insiden tersebut, pemerintah daerah seharusnya bertindak tegas, tidak malah tunduk kepada tekanan mayoritas.
Kali ini, pembatasan Natal bersama di Dharmasraya dan Sijunjung mendapat perhatian besar masyarakat di luar dua kabupaten itu. Mau tak mau, pejabat pemerintah pun menyatakan responsnya, dari kepala daerah, Menteri Agama, hingga pemegang otoritas keamanan. Sayangnya, mereka seragam menyatakan bahwa situasi di kedua kabupaten itu buah dari kesepakatan bersama masyarakat.
Respons semacam ini hanya menegaskan sikap lepas tangan dan pengabaian atas kewajiban negara untuk menjamin kebebasan beragama. Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Pemerintah di berbagai tingkatan tak boleh lari dari kewajiban konstitusional tersebut. Kalaupun benar adanya, kesepakatan antara warga mayoritas dan minoritas bisa jadi sangat tidak adil. Ketika membuat kesepakatan, umat Nasrani di Dharmasraya dan Sijunjung yang minoritas boleh jadi didikte atau berada dalam tekanan mayoritas. Kesepakatan di antara warga, apalagi bila itu merugikan kaum minoritas, tak pantas didudukkan di atas konstitusi.
Bila dibiarkan berlarut-larut, pembatasan ibadah bersama ini bisa menjadi preseden buruk bagi umat minoritas di tempat lain-entah mereka itu muslim, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, ataupun penganut kepercayaan. Pembiaran atas perlakuan diskriminatif itu hanya akan melahirkan benih-benih perpecahan.
Ketika pejabat pemerintah di bawah tak berani bertindak tegas, Presiden Joko Widodo tidak boleh berdiam diri. Presiden tak boleh lagi menghindar untuk menangani langsung problem sensitif yang melanggar konstitusi dan hak asasi ini. Presiden jangan sampai lupa bahwa jaminan kebebasan beribadah juga merupakan "infrastruktur" utama bagi kelangsungan negeri majemuk ini.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 23 Desember 2019