Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Over 90 percent of financial frauds are discovered
by accident."
(G. Jack Bologna & Robert J. Lindquist, 1987)
KUTIPAN di atasyang diambil dari literatur lama, Fraud Auditing and Forensic Accountingmerupakan salah satu dari 13 prinsip dasar dalam membongkar kecurangan. Beberapa prinsip lain di antaranya: membongkar kecurangan lebih sering mengabaikan pakem konvensional, karena itu faktor intuisi dan pola pikir auditor sangat menentukan.
Jika kita mencermati dan membayangkan bagaimana implementasi prinsip-prinsip di atas, kita mafhum dengan apa yang sedang terjadi beberapa pekan ini. Tindakan Khairiansyah, seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melaporkan upaya penyuapan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam konteks ini bisa saja disebut sebagai suatu "accident".
Tertangkapnya Mulyana W. Kusumah pun dapat disebut sebagai suatu "kecelakaan". Kecelakaan yang menjadi kunci pembuka gembok besar pengunci kasus korupsi di suatu lembaga terhormat, Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang bisa jadi akan menyeret orang-orang terhormat. Maka, hebohlah seluruh negeri.
Alih-alih bangga dengan keberanian anak buahnya dan memberikan penghargaan serta perlindungan, yang dilakukan Kepala BPK Anwar Nasution malah memaki-maki seraya mengancam akan memberikan sanksi kepada Khairiansyah.
Di negeri yang sistem hukumnya sangat rawan dan korup seperti Indonesia, nasib saksi pelapor memang sungguh celaka. Ambil contoh beberapa waktu lalu, Endin Wahyudin, yang melaporkan dugaan korupsi tiga hakim agung, malah menjadi terdakwa di persidangan. Belajar dari kasus yang menimpa Endin, publik jadi paham bahwa negara belum menyediakan jaminan dan proteksi hukum yang memadai bagi para saksi pelapor tindak pidana korupsi.
Sejauh ini Indonesia memang baru memiliki produk perundangan-undangan untuk perlindungan saksi dalam kasus tindak pidana terorisme. Beleid ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme. Sementara itu, untuk para saksi pelapor tindak pidana korupsi, proteksi hukum serupa belum tersedia.
Beberapa negara lain telah melangkah lebih jauh dalam memberikan perlindungan saksi. Di Amerika Serikat, misalnya, Undang-Undang Reformasi Keamanan Saksi tahun 1984 menjamin pemberian proteksi kepada para pelapor tindak kejahatan. Ujung tombak lembaga perlindungan saksi ini adalah US Marshals, yang menyediakan tenaga terlatih dan profesional dari para marshal-nya.
Fasilitas untuk para pelapor ini mulai dari pemberian rasa aman hingga kelangsungan hidup pribadi dan keluarga. Semua kegiatan dan kebutuhan diatur melalui kantor operasi penegakan unit khusus perlindungan saksi yang berada di bawah Divisi Kriminal Departemen Kehakiman. Cerita serupa bisa kita peroleh dari Afrika Selatan.
Bagaimana dengan Indonesia? Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebenarnya telah menempatkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Saksi sebagai agenda pembahasan dalam tahun 2005. Namun, bila mengingat tingkat kerusakan yang muncul akibat ulah para koruptor, dan lemahnya upaya pemberian perlindungan hukum bagi para saksi, sudah sepantasnya para wakil rakyat di Senayan memprioritaskan pembahasan RUU Perlindungan Saksi. Tak ada waktu untuk menunda lagi.
Apalagi, sebenarnya banyak para pelapor yang bersedia membeberkan data, modus operandi penyelewengan kekuasaan, penyuapan, dan berbagai trik korupsi canggih lainnya. Mereka terdiri dari beberapa anak muda di berbagai lembaga pemerintah yang sudah geram dengan tingkah laku korup para atasannya. Tapi, jika jaminan hukum tidak segera terwujud, proses legal terhadap pemberantasan korupsi terancam menemui jalan buntu karena para pelapor enggan bersaksi di depan persidangan.
Tak syak lagi urgensi pengesahan RUU Perlindungan Saksi menjadi valid bila kita melihat keberanian auditor BPK, Khairiansyah, dalam kasus dugaan korupsi Mulyana. "Khairiansyah-Khairiansyah" baru bisa bermunculan di berbagai lembaga pemerintah, korporasi, dan lembaga publik lainnya bila negara mampu memberikan proteksi hukum terhadap para saksi pelapor.
Kombinasi antara "demam" Khairiansyah yang melahirkan deretan para pelapor baru dan kepastian hukum untuk memberikan perlindungan akan menimbulkan harapan terhadap perang melawan korupsi. Bila fenomena ini sudah terbentang di depan mata, para pelaku korupsi, penegak hukum, pejabat yang korup, dan juga oknum lainnya akan berpikir ulang untuk melakukan praktek buruk mereka dalam menyelewengkan kekuasaan yang telah membuat negeri ini terpuruk. Indonesia tidak cukup dengan satu Khairiansyah. Negara ini perlu ribuan Khairiansyah lain dalam perang melawan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo