Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ekstasi dari Kandang Sapi

Polisi membongkar pabrik ekstasi beromzet Rp 189 miliar per bulan. Pemiliknya tewas tertembak, tapi jaringannya belum habis.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketenangan warga kampung itu sama sekali tidak terusik ketika sejumlah intel polisi datang dengan menyamar. Berpakaian sipil, mereka leluasa mengamati aktivitas orang-orang di kampung Kandang Sapi, Desa Pangradin, Kecamatan Jasinga, Bogor, Jawa Barat. Sebuah rumah di tengah kebun durian yang berada di ujung kampung menjadi titik perhatian. Lahan tiga hektare ini dikelilingi tembok setinggi tiga meter. Di gerbangnya ada tulisan "Milik H. Gandhi A.M., Keluarga Besar Perguruan Al-Hikmah".

Dua hari berselang, tepatnya Minggu awal April lalu, datang lagi 40 polisi yang bersenjata lengkap. Sedari pagi mereka menutup jalan keluar dan masuk ke kampung yang berjarak lima kilometer dari jalan raya ini. Warga Kampung Kandang sapi pun tegang. Mereka bertanya-tanya apa yang bakal terjadi. Apalagi, saat matahari di ubun-ubun, datang dua mobil penuh polisi, masuk ke pintu gerbang Perguruan Al-Hikmah.

Hanya sebuah papan nama. Orang yang masuk ke pintu gerbang itu tidak bakal menemukan sekolah atau pesantren. Yang ada cuma sebuah rumah. Warga tidak tahu persis apa yang dilakukan polisi di sana. Suasananya sepi. "Padahal, kalau anak nangis saja sudah terdengar sekampung," kata Iyah, warga setempat.

Tak lama kemudian, mereka melihat polisi mengangkut sejumlah orang dari sana, termasuk Iyok Satria, 25 tahun, penjaga rumah itu. Selanjutnya, beberapa polisi menjaga lokasi, sehingga penduduk tak bisa mendekat. Warga yang ingin tahu, tak ada tempat bertanya. "Saya tidak mau bicara selain ke polisi," kata Atang, ketua RT setempat.

Sepekan setelah kejadian ganjil itu, warga terkejut dengan pemberitaan di televisi. Kampung Kandang Sapi mendadak terkenal, tapi dalam cerita tak elok. Dalam sebuah jumpa pers di kantor Badan Narkotika Nasional (BNN), Jakarta, pada Rabu dua pekan lalu, disebutkan polisi telah menggerebek pabrik ekstasi di kampung itu.

Direktur IV Narkoba dan Kejahatan Terorganisasi, Brigadir Jenderal Polisi Gorries Mere, dalam keterangan persnya mengatakan pabrik ekstasi ini mampu mencetak 840 butir ekstasi per menit. Pabrik yang mengoperasikan dua mesin penghasil ekstasi itu beroperasi sejak tahun 2000, setiap tahun menghasilkan 90 juta butir ekstasi. Diperkirakan, Hans Philip, 46 tahun, si pemilik, bisa memperoleh pemasukan Rp 189 miliar per bulan.

Hans Philip tewas ditembak polisi. Bukan di Kandang Sapi, dia didor di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat, dua hari sebelum penggerebekan pabrik ekstasi di Kandang Sapi. Waktu itu, sejumlah polisi sudah mengintai sebuah rumah di Tanjung Duren yang diduga dihuni Hans.

Di dalam rumah, Hans bersama dua anak buahnya, Bertje Bessy, 44 tahun, si peracik ekstasi, dan Bangkit Satrio, 44 tahun, sopir yang ikut membantu di laboratorium. Saat diintai, Hans tiba-tiba keluar dari rumah dengan mengendarai mobil. Dia mempercepat laju mobilnya ketika polisi membuntutinya. Lalu, polisi berusaha menghadang mobil Hans. Saat itu, Hans mengeluarkan senjata apinya. Tetapi kalah cepat, polisi lebih dahulu menembaknya hingga tewas.

Tanpa perlawanan, dua anak buah Hans pun bisa ditangkap. Kini polisi masih mencari tujuh tersangka lainnya. Salah satunya adalah Meneer Jaap van Dick, warga Belanda yang disebut perancang pabrik dan ahli kimia yang juga pintar membuat ekstasi.

Tak hanya mendirikan pabrik di Jasinga, kelompok Hans juga memiliki gudang penyimpan bahan baku. Letaknya di Kampung Poncol, Desa Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampe, Bogor, sekitar satu jam perjalanan dari pabriknya. Menurut Kepala Pusat Dukungan Penegak Hukum BNN, Brigadir Jenderal Djoko Satrio, di sana polisi menemukan 52 drum berisi methylamine, bahan baku ekstasi.

Sebagian bahan ekstasi disimpan di tempat lain, di sebuah rumah di Bukit Sentul, Bogor, Jawa Barat. Di sini polisi menemukan methylamine yang tersimpan dalam 20 drum. "Semua penggerebekan itu dilakukan setelah kami mendapat keterangan dari Bartje Bessie dan Bangkit Satrio," ujar Komisaris Jenderal Sutanto, Kepala Pelaksana Harian BNN.

Sutanto berkeyakinan, Hans adalah pentolan sindikat narkoba yang jaringannya sampai ke Belanda dan Amerika Serikat. Kelompok ini memiliki senjata api. Hans sudah masuk daftar buron polisi sejak empat tahun lalu, setelah polisi menyita 281 ribu butir ekstasi dari sebuah perusahaan ekspedisi di sekitar Bandar Udara Soekarno-Hatta. Ekstasi milik Hans ini hendak dikirim ke seseorang bernama David Rose di California, Amerika Serikat. Diperkirakan, ekstasi ini adalah produksi pabrik Kandang Sapi.

Nama Hans kembali muncul setelah polisi menggerebek pabrik ekstasi milik Ang Kim Soei di Tangerang, 6 April 2002. Pada hari yang sama Ang Kim Soei dibekuk di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Ini temuan polisi yang paling besar kala itu. Pabrik ini menghasilkan 12 ribu butir ekstasi per hari. Sampai-sampai polisi perlu mengundang anggota Drug Enforcement Administration (DEA), Amerika Serikat. Dari sini pula terungkap, ekstasi yang diproduksi di Tangerang dipasarkan sampai ke Amerika.

Ketika diperiksa polisi dari Mabes Polri, Ang Kim Soei sempat menyebut nama Hans sebagai orang yang mendanai pabrik ekstasinya. Pengakuan ini tak banyak menolongnya. Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memvonisnya hukuman mati, pada 13 Januari 2003. Pria 52 tahun ini kini mendekam di penjara Cipinang.

Yang menarik, dalam kasus Hans maupun Ang Kim Soei, nama Jaap selalu muncul. Ketika pabrik ekstasi di Tangerang digerebek, pria dari Utrecht, Belanda, ini lolos. Begitu pula saat pabrik ekstasi di Jasinga dibongkar, Jaap tak terendus.

Sebenarnya nama Jaap sudah disebut saat peristiwa penangkapan Burhan Tahar pada 2 September 1998. Burhan alias Tjan Bak Han ditangkap polisi di sebuah rumah di Kreo Batas, Ciledug, Tangerang. Penangkapan ini berkaitan dengan temuan pabrik ekstasi di Joglo, Ciledug. Polisi menuduh Burhan sebagai pemiliknya. Pria kelahiran Lubuk Pakam, Sumatera Utara, 4 November 1948 ini menyangkal.

Kepada polisi, Burhan menunjuk Ang Kim Soei sebagai pemiliknya. Di sinilah pertama kali nama Ang Kim Soei muncul sebagai tokoh dalam jaringan ekstasi. Sejak itu, Ang Kim Soei masuk buron polisi. Burhan yang mengaku tak tahu-menahu soal ekstasi, dan dia bilang dirinya hanya bekerja untuk Ang Kim Soei, akhirnya hanya dihukum empat bulan penjara.

Namun pengakuan Burhan ini diduga bohong belaka. "Karena itu kami memonitor terus setelah dia keluar dari penjara," kata Direktur Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Carlo B. Tewu, kepada Tempo. Memang butuh kesabaran sampai lima tahun untuk menunggu Burhan beraksi lagi. Hasilnya, polisi menemukan empat pabrik ekstasi milik Burhan, pada 5 November 2004. Empat pabrik ini berlokasi di kawasan Jakarta Utara, dua pabrik di Serpong, Tangerang, dan di Cengkareng, Jakarta Barat.

Empat pabrik penghasil 10 ribu butir ekstasi per hari itu sudah disita polisi. "Sedangkan Burhan tak berada di tempat. Dia sedang kami cari, jaringannya sudah kami urai dan sejumlah anak buahnya juga telah kami tangkap," kata Carlo kepada Tempo. Setidaknya, ada tujuh anak buah Burhan yang dibekuk, mulai dari tukang racik ekstasi sampai ke tenaga pemasarnya. Carlo menduga Burhan melarikan diri beberapa hari setelah polisi menemukan jejak pabriknya.

Carlo meyakini Burhan, Hans, dan Ang Kim Soei bernaung dalam satu jaringan. Menurut data dari Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya, Burhan Tahar adalah satu dari tiga Tahar bersaudara yang masuk jaringan ini. Dua lainnya adalah Sofyan Tahar dan Erwin Tahar.

Indikasi kelompok ini berada dalam satu jaringan bisa dilihat dari keberadaan Jaap. Pentolan peracik ekstasi dari Negeri Kincir Angin ini selalu berada di tengah-tengah tiga orang ini. Apakah ada tokoh lain di balik keberadaan tiga orang ini, Carlo sedang menelusurinya. Carlo juga tak menampik kemungkinan tiga sekawan ini kini berjalan sendiri-sendiri atau telah bergabung dengan kelompok lain.

Dari penjara Cipinang, Ang Kim Soei membantah semua keterangan yang mengaitkannya dengan jaringan ekstasi. Dia mengaku kenal dengan Hans hanya karena sama-sama berasal dari Irian.

Sungguh tak gampang mengendus sekaligus mempreteli jaringan para juragan ekstasi. "Kita berhadapan dengan kejahatan terorganisasi, punya otak dan dana tak terbatas, sebaliknya mereka tak punya hati nurani," kata Sutanto.

Mereka bahkan berani menyembunyikan pabrik barang haram itu di balik kedok agama. Seperti yang terjadi di kampung Kandang Sapi, nama Perguruan Al-Hikmah sengaja dipampangkan buat menutupi diri.

Nurlis E. Meuko, Ramidi, Eni Saeni, dan Deffan Purnama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus