Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah sebaiknya mengkaji kembali rencana pe-lunasan utang kepada Dana Moneter Internasio-nal (IMF) sebesar US$ 7,8 miliar. Bermaksud melunasi utang itu dalam dua termin sampai awal tahun depan, seperti tekad Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, merupakan gagasan yang menarik. Tapi semua harus dihitung lebih cermat sebelum keputusan diambil. Harus ada kepastian bahwa pelunasan utang itu menguntungkan Indonesia, bukan malah mendatangkan masalah baru yang lebih berat.
Peluang percepatan pembayaran utang itu memang terbuka setelah cadangan devisa Indonesia awal Juni ini mencapai US$ 44 miliar. Angka itu sendiri merupakan kabar gembira, yang tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia. Dengan patokan cadangan devisa dianggap aman dan cukup untuk tiga bulan impor, sekitar US$ 27 miliar, cadangan itu masih berlebih. Semestinya dengan hitungan ini Indonesia bisa melunasi utang kepada IMF.
Ada beberapa manfaat jika kita melunasi utang tersebut. Paling tidak, Indonesia bisa mengurangi beban bunga dan ongkos komitmen yang nilainya sekitar 4,9 persen per tahun. Setiap tahun sampai 2010, Indonesia harus mencicil pokok dan bunga utang IMF sebesar US$ 2 miliar. Lagi pula, utang ini bukan dana segar yang bisa segera dipakai untuk keperluan apa saja. Utang ini hanya pinjaman siaga yang tidak mewujud dalam bentuk apa pun. Pinjaman siaga itu baru bisa dipakai kalau terjadi krisis moneter, atau sesuatu sebab yang membuat cadangan devisa kurang dari tiga bulan impor. Pinjaman IMF ini berbeda dengan utang Bank Dunia, misalnya, yang bisa dipakai untuk memba-ngun bendungan atau untuk membiayai program pengentasan kemiskinan.
Pelunasan utang IMF itu punya manfaat lain yang sifat-nya intangible (nonmateri) dan bersifat nonekonomi, y-aitu pemerintah bisa mendapatkan nilai positif dari rakyat karena benar-benar sudah terlepas dari utang IMF. Indonesia juga bisa mengurangi timbunan utang luar negeri, sehingga rasio utang terhadap produk domestik bruto yang saat ini masih 47 persen bisa diturunkan. Bukan tidak mungkin peringkat utang Indonesia di mata dunia akan membaik. Indonesia bisa belajar dari Korea Selatan, Argentina, atau Brasil yang lebih dulu melunasi utang ke IMF dan mendapatkan banyak manfaat dari sana.
Namun, ada juga kekhawatiran bahwa pelunasan ini ma-lah mendatangkan persoalan baru. Ada yang beranggapan jumlah cadangan devisa itu masih belum aman. Jika ada spekulan yang menggoyang rupiah, ditakutkan cadangan yang sudah berkurang sekitar US$ 4 miliar itu terlalu sedikit untuk dipakai Bank Indonesia membendung goyang-an itu. Harga minyak internasional yang terus berada di atas US$ 70 per barel juga perlu diperhitungkan. Jika harga minyak kelak di atas US$ 80, cadangan devisa pasti terganggu, dan Bank Indonesia pastilah memerlukan utang IMF itu.
Belum lagi soal informasi baru tentang kaitan utang IMF dengan pinjaman dari Japan Bank Internasional Corporation (JBIC) sebesar US$ 700 juta. Berdasarkan penjelasan pemerintah, utang ke Jepang tersebut paralel dengan utang IMF. Artinya, jika utang ke IMF dilunasi, pinjaman ke Jepang juga mesti dibereskan. Sejauh ini masih belum jelas apakah masalah ini bisa dibereskan. Tapi, berdasarkan tujuan dan pihak yang berutang, mestinya keduanya tidak terkait. Dengan demikian, Indonesia sebetulnya bisa saja melunasi utang ke IMF tanpa harus menyelesaikan utang ke JBIC.
Alhasil, kaji dulu untung-rugi pembayaran utang IMF ini. Sesal kemudian karena salah hitung, atau hanya lantar-an menghitung aspek ekonomi semata, tentu tak banyak menolong keadaan kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo