Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah kerap terlambat menghentikan pembelajaran tatap muka di sekolah yang ditemukan kasus Covid-19. Seharusnya mengutamakan pencegahan dan keselamatan siswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah masih terkesan gamang untuk memutuskan menutup atau membuka sekolah di masa pandemi. Ketika virus varian Omicron merebak, pemerintah pusat baru menghentikan pembelajaran tatap muka 100 persen di sejumlah sekolah setelah banyak siswa, guru, dan pegawai terjangkiti Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah DKI Jakarta mencatat ada 90 sekolah yang ditutup setelah temuan kasus Covid-19, per 22 Januari 2022. Kasusnya tersebar di lima kota administrasi di Ibu Kota. Kegiatan belajar tatap muka berkapasitas penuh di 34 sekolah di Kota Depok, Jawa Barat, juga dihentikan setelah terdapat 239 kasus Covid-19 per 31 Januari lalu. Yang mencemaskan, di Depok, Covid-19 juga menulari murid taman kanak-kanak yang belum mendapat suntikan vaksin.
Pemerintah daerah sebenarnya sudah membunyikan alarm sejak angka korban terpapar Covid-19 di sekolah melonjak, beberapa pekan setelah kegiatan belajar offline dimulai pada awal Januari lalu. Daerah meminta pemerintah pusat mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran tatap muka 100 persen. Tapi, pemerintah pusat terlambat merespons sirene peringatan dari daerah itu.
Masalah antara lain berpangkal pada aturan yang tumpang-tindih dan kerap berubah-ubah. Pemerintah pusat kerap mendelegasikan urusan membuka sekolah di musim pandemi kepada pemerintah daerah. Tapi, kewenangan untuk menghentikan pembelajaran tatap muka masih berada di tangan pusat. Dasarnya adalah surat keputusan bersama (SKB) Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Menteri Agama, yang diteken pada 21 Desember 2021.
Berdasarkan ketentuan ini, di daerah berstatus pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 1 dan 2 berlaku pembelajaran tatap muka penuh alias 100 persen. Adapun pembelajaran tatap muka 50 persen berlaku di daerah berstatus pembatasan level 3. Penghentian pembelajaran tatap muka diizinkan di daerah berstatus level 4, atau jika terdapat klaster penularan Covid-19 dengan positivity rate dan warga sekolah yang masuk dalam notifikasi kasus hitam di atas 5 persen.
Celakanya, penetapan setatus PPKM pun bisa tak sinkron. Di Depok, misalnya. Berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri, kota ini berstatus PPKM level 2, per 1 Februari 2022. Tapi, pada saat yang sama, Kementerian Kesehatan menilai Depok berada di level 4. Data Kementerian Kesehatan yang diperbarui setiap saat semestinya menjadi rujukan utama dalam membatasi aktivitas masyarakat di suatu daerah. Penetapan status pembatasan tidak boleh serampangan karena memiliki banyak konsekuensi yang berbeda.
Belakangan, setelah jumlah kasus Covid-19 melonjak tajam, barulah pemerintah pusat dan daerah berembug. Namun, alih-alih menyetujui usulan daerah untuk menggelar kembali pembelajaran jarak jauh (online), pada 2 Februari lalu, pusat malah memutuskan pembelajaran tatap muka terbatas 50 persen.
Dengan pertimbangan apa pun, keputusan tutup-buka sekolah seharusnya mengutamakan pencegahan penularan Covid-19 di kalangan siswa. Katakanlah pembelajaran jarak jauh memiliki banyak kekurangan dibanding pembejalaran tatap muka. Tetap saja, kesehatan dan keselamatan murid sekolah seharusnya menjadi prioritas utama.