Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

<font face=arial size=1 color=brown><B>Rachmat Witoelar:</B></font><BR />Kita Tak Mau Menjadi Sandera Politik Negara Lain

7 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masa depan perubahan iklim Indonesia ada di tangan Rachmat Witoelar. Dia ketua delegasi Indonesia dalam Konfe­rensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember. Dalam pertemuan itu, Rachmat akan berjuang agar Indonesia, antara lain, memperoleh bantuan dana dan teknologi dalam usaha menurunkan emisi.

Rachmat juga harus menghadapi negara industri penghasil karbon terbesar yang keras kepala, ogah menurunkan emisi. ”Misi Indonesia ke sana mendapat manfaat untuk kemaslahatan rakyat,” katanya.

Kepada wartawan Tempo Kurnia­wan, Adek Media, dan Rudy Prasetyo, mantan Menteri Lingkungan Hidup ini menjelaskan lebih jauh target Indonesia di Kopenhagen. Wawancara berlangsung tanpa penerangan lampu di ruang kerjanya di lantai 18, Gedung Badan Usaha Milik Negara. Berikut ini petikannya.

Apa yang akan diperjuangkan Indonesia di Kopenhagen?

Saya akan menyampaikan sikap Indonesia di Kopenhagen sebagai inisia­tor yang melahirkan Bali Road Map 2007. Kita berpegang pada kesepakatan di Bali yang menguntungkan bagi Indonesia dan dunia. Semua negara telah berjanji melaksanakan apa yang dirumuskan dalam Bali Road Map. Mereka sudah setuju. Indonesia tidak menuntut hal yang baru.

Tuntutannya seperti apa?

Pertama, tentunya pengalihan hutan kita lewat program REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Selanjutnya, financing untuk adaptasi dan transfer teknologi. Ini diikat dalam satu paket keputusan, termasuk penurunan emisi. Kalau ada satu keputusan yang buntu, kesepakatan lainnya bisa terhambat.

Bagaimana dengan penurunan emisi negara maju?

Yang susah itu perihal penurunan emisi karbon. Itu yang negara maju tidak mau. Pokoknya tidak atau ­enggak gitu. Jadi yang lain terhambat. Padahal tidak ada masalah dalam transfer teknologi dan bantuan dana. Masalahnya, ada kemacetan pada penurunan emisi untuk negara maju antara 25 dan 40 persen pada 2020. Misalnya Amerika terganjal persetujuan di Senat. Padahal 5 miliar rakyat dunia menunggu aksi perubahan iklim. Kita tidak mau menjadi sandera politik negara lain.

Apa yang harus dilakukan?

Indonesia bisa saja bilang itu (penurunan emisi) tidak usah, tapi itu sudah bagian dari kesepakatan paket janji negara maju. Jadi misi Indonesia ke sana mendapatkan manfaat untuk kemaslahatan rakyat. Apabila manfaat yang utama sudah didapat, yang lain (penurunan emisi) bisa nantilah. Urusan penurunan emisi sebesar apa pun tidak menjadi masalah, walaupun nantinya dalam 40 tahun baru terasa.

Bagaimana posisi Indonesia dalam menghadapi kebuntuan itu?

Indonesia, sebagai inisiator atau penengah, memberi tahu negara lain. Lebih baik kita dapat 75 persen daripada nol. Kesempurnaan bisa bikin orang menjadi macet. Mencari kesepakatan dalam konteks 192 negara itu susah.

Bagaimana Indonesia menurunkan 26 persen emisinya seperti janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pertemuan G-20 di Pittsburgh?

Itu ide brilian Presiden SBY. Masalahnya, negara maju takut menurunkan emisinya. Jadi Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sampai 26 persen bahkan sampai 41 persen jika ada bantuan internasional. Indonesia saja berani menjanjikan menurunkan emisi, sedangkan Amerika yang kayanya 200 kali dari kita tidak mau. Banyak negara yang ­mengikuti. Jadi paling tidak ini membuat malu mereka. Efek psikologi ini yang sengaja dilakukan Indonesia.

Bagaimana Indonesia menurunkan emisi sampai 26 persen?

Ada hitungannya tersendiri. Pertama mengubah tingkah laku. Itu saja bisa menurunkan emisi sekitar 9 persen. Contohnya, di ruang kantor saya ini, saya tidak menyalakan lampu mulai masuk pukul 08.00 sampai pulang pukul 18.00. Penghematan bisa dilakukan masyarakat di antaranya naik mobil tidak sendiri-sendiri, berjalan kaki bila dekat, atau penghematan penggunaan penyejuk udara.

Kedua, mengubah sistem transportasi, seperti penerapan MRT (mass rapid transit), busway, dan kereta api, termasuk pemanfaatan energi panas bumi dan energi terbarukan lain. Banyak peluang penurunan emisi gas di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus