Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bumi makin panas. Penghuni bumi telah gagal mengerem laju kenaikan suhu dunia 2 derajat Celsius. Dan suhu bumi pun naik terus mendekati 4 derajat Celsius. Akibatnya, hamparan es di kutub mencair dengan cepat. Bila tak dihentikan, bencana besar sudah menanti. Sejumlah pulau kecil, termasuk yang berada di Indonesia, bakal tenggelam. Perubahan musim yang tidak menentu, kekeringan, berkurangnya persediaan air, menurunnya produksi pangan, dan munculnya wabah penyakit adalah sederet bencana yang kian nyata.
Anehnya, dampak pemanasan global yang ada di depan mata itu tak membuat negara maju bersedia menurunkan emisi karbon. Sejak sepuluh tahun lalu, upaya menelurkan perjanjian baru sebagai pengganti Protokol Kyoto yang berakhir pada 2012 selalu menemui jalan buntu. ”Dekade lalu adalah sebuah kesempatan yang hilang,” kata Profesor Bob Watson, kepala ilmuwan dari Departemen Urusan Lingkungan dan Pedalaman Inggris.
Tak semua orang pesimistis. ”Masih ada peluang memerangi perubahan iklim,” kata tuan rumah Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pemanasan Global dan Perubahan Iklim, sekaligus Perdana Menteri Denmark, Lars Lokke Rasmussen.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, dimulai hari ini hingga 18 Desember mendatang. Hampir seratus kepala negara dan kepala pemerintahan dari 192 anggotanya, termasuk Indonesia, Cina, dan Amerika, berkomitmen hadir untuk mencari solusi global mencegah kerusakan.
Jalan berliku menuju konferensi perubahan iklim ini berawal dari Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil pada 1992. Tujuannya menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca akibat perubahan iklim di atmosfer guna menyelamatkan kehidupan manusia.
Sejak itulah, saban tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa rutin menggelar UNFCCC. Konferensi pertama digelar di Berlin, Jerman, pada 1995. Dua tahun kemudian, disepakati perjanjian tentang perubahan iklim yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Keputusan utamanya berupa komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca rata-rata 5 persen di bawah level emisi pada 1990, untuk periode 2008-2012.
Apa lacur, setiap negara mempunyai posisi tawar yang berbeda. Amerika Serikat, misalnya, menolak desakan pengurangan jumlah emisi karbon. Selain menolak Protokol Kyoto, negeri Abang Sam (AS) ini malah balik menuntut negara seperti Cina, India, Afrika Selatan, dan Brasil mengurangi pertumbuhan emisinya. ”Semua negara yang terlibat tawar-menawar berada di ambang kesepakatan, dan itu akan saya lakukan juga,” kata Presiden Barack Obama. Tapi Obama terganjal beleid tentang pengurangan emisi di Senat.
Cina menuntut negara maju mengurangi emisi hingga 40 persen pada 2020. Negeri Panda ini meminta negara maju menyediakan teknologi karbon rendah dan membayar satu persen dari produk domestik bruto kepada negara berkembang dan negara miskin. Sedangkan negara-negara di Afrika meminta bantuan US$ 67 miliar per tahun. Jika tidak dipenuhi, mereka mengancam keluar dari konferensi.
Uni Eropa masih berpikir menurunkan emisi 20 persen pada 2020 dan meminta negara miskin mengurangi laju pertumbuhan emisinya. Jepang sepakat mengurangi emisi hingga 25 persen dan bertambah 10 persen pada 2030. Negara-negara kepulauan kecil meminta negara maju menyumbang satu persen dari PDB dan pengurangan emisi hingga 85 persen pada 2020. Sementara itu, negara-negara Teluk berjanji menyumbang US$ 750 juta untuk penelitian tentang perubahan iklim.
Indonesia bertekad menurunkan emisi sampai 26 persen, bahkan jika ada bantuan internasional bisa sampai 40 persen pada 2020. ”Kami menuntut financing untuk adaptasi dan transfer teknologi sesuai dengan Bali Road Map 2007,” kata ketua delegasi Indonesia Rachmar Witoelar. Banyak cara, kata Rachmat, yang bisa dilakukan Indonesia untuk mengurangi emisi karbon.
UNFCCC ke-13 di Bali pada 2007, yang semula digulirkan untuk melahirkan perjanjian baru sebagai pengganti Protokol Kyoto, ternyata gagal. Kemudian disepakati Bali Road Map, yang di antaranya mengatur komitmen setelah berakhirnya Protokol Kyoto, dana adaptasi dan alih teknologi, serta pengurangan emisi akibat penggundulan hutan di negara berkembang. Berdasarkan Bali Road Map, di Kopenhagen inilah perjanjian baru yang mengikat semua negara diharapkan bisa disepakati. Kelak, sejarahlah yang akan mencatat apakah pertemuan ini sukses atau gagal.
Rudy Prasetyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo