Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan perwakilan dari beberapa departemen dan kementerian memenuhi Ruang Magzi, Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Rabu malam pekan lalu. Sesudah menyantap hidangan makan malam berupa daging sapi panggang, ikan makarel bakar, dan ayam panggang, mereka mendengarkan paparan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar, dan Ketua Sekretariat Dewan, Agus Purnomo.
Inilah pertemuan terakhir delegasi Indonesia sebelum berangkat ke Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, yang dimulai Senin ini. ”Beberapa hari terakhir ini kami rapat terus,” kata Tri Tharyat, anggota tim perundingan dari Departemen Luar Negeri.
Dalam pertemuan itu Indonesia akan mengirim delegasi beranggota sekitar 100 orang, termasuk tim perundingan dan perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat dan media massa. ”Kami sudah siap mendorong agar pertemuan Kopenhagen melahirkan satu kesepakatan, setidak-tidaknya kesepakatan politis bila kesepakatan legal tak tercapai,” kata Tri.
Dalam usul yang dokumennya sudah dikirim ke UNFCCC, tim perundingan Indonesia meminta semua negara menyetujui adanya target pengurangan emisi global, penambahan dana dari negara maju untuk membantu negara berkembang dalam menurunkan emisinya, proses perundingan terus berlanjut hingga Juni 2010, dan komitmen lanjutan bagi negara maju dalam penurunan emisi karbonnya.
Indonesia, kata Tri, berperan penting dalam pertemuan ini, karena menjadi pengawal garis haluan dan rencana pelaksanaan yang diputuskan para peserta UNFCCC di Bali pada 2007—dikenal sebagai Bali Road Map dan Bali Action Plan. Dalam pertemuan Bali itu disepakati bahwa UNFCCC menggelar beberapa pertemuan yang diikuti dengan pertemuan besar di Poznan, Polandia, Desember 2008, dan berpuncak di Kopenhagen tahun ini.
Selama ini perundingan mengenai perubahan iklim sering menemui jalan buntu karena negara maju menolak menurunkan emisi gas rumah kacanya, karena akan berdampak terutama pada perekonomiannya. Sebanyak 37 negara industri dimasukkan ke Annex 1 pada Protokol Kyoto dengan kewajiban menurunkan emisi gas karbon dioksida dan gas lain yang dapat menyebabkan efek rumah kaca di planet ini sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi mereka pada 1990 selama 2008 hingga 2012.
Dalam protokol itu negara berkembang dan miskin tidak diwajibkan menurunkan emisi, tapi tetap memiliki komitmen untuk turut bertanggung jawab dalam penurunan emisi. Masalah muncul ketika negara industri menuntut negara berkembang, terutama India dan Cina yang sekarang dianggap sudah maju, memiliki kewajiban yang sama. Tapi negara berkembang tetap menolak menjadikan hal itu sebagai kewajiban.
Komitmen negara maju itu akan berakhir pada 2012, sehingga diperlukan komitmen baru untuk melanjutkannya. Makarim Wibisono, mantan Duta Besar Indonesia untuk PBB yang terlibat perundingan ini hingga pertemuan Bali, berharap pertemuan Kopenhagen menghasilkan kesepakatan baru itu, sehingga ada waktu bagi negara anggota untuk meratifikasi kesepakatan tersebut sebelum 2012. ”Kalau kesepakatan ini tidak ada, berarti kita akan menghadapi masalah besar, karena ada kekosongan rezim yang membatasi emisi gas rumah kaca,” kata diplomat senior yang kini mengajar di Graduate School of Diplomacy Universitas Paramadina itu.
Suasana pertemuan Bali, kata Makarim, telah menghasilkan beberapa terobosan, seperti berubahnya sikap Australia dengan meratifikasi Protokol Kyoto. Amerika Serikat, yang hingga kini menolak meratifikasi protokol itu, bersedia menerima Bali Road Map. Namun, kata dia, pertemuan di Poznan agak melembek, sehingga menimbulkan pesimisme terhadap perundingan selanjutnya di Kopenhagen.
Tri, sebaliknya, melihat adanya optimisme dalam beberapa perundingan terakhir pada tahun ini, terutama setelah pengumuman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan tingkat tinggi G-20 di Pittsburg, Amerika Serikat, 24 September lalu. Kala itu Presiden menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi karbon Indonesia 26 persen pada 2020 dan dapat mencapai 41 persen bila mendapat dukungan internasional.
”Pengumuman Presiden itu disambut baik oleh banyak pihak, dan negara-negara lain mulai menyebut target pengurangan emisinya setelah itu, seperti Afrika Selatan dan Brasil. Bahkan, Amerika Serikat dan Cina akhirnya juga mengumumkan targetnya,” kata Tri.
Namun banyak pihak menilai angka 26 persen yang disebut Presiden itu hanya asumsi kosong, tanpa dasar penelitian yang memadai. ”Tidak benar itu. Kami sudah menghitungnya,” kata Agus Purnomo seraya menyodorkan risalah kajian Dewan Nasional Perubahan Iklim mengenai peluang dan biaya dalam menghadapi perubahan iklim di Indonesia.
Kajian itu menyebutkan bahwa dengan skenario bisnis yang lazim, emisi gas rumah kaca Indonesia akan naik dari 1,5 gigaton pada 2000 menjadi 2,6 gigaton pada 2020. Sumbangan terbesar berasal dari gambut (naik dua kali lipat lebih menjadi 984 juta ton) dan kehutanan (dari 963 juta ton menjadi 1 gigaton lebih).
Dari perhitungan Dewan, Indonesia berpeluang dalam menurunkan emisi karbon 26 persen dan 41 persen pada 2020 dengan biaya US$ 6-13 miliar. Peluang itu terutama pada sektor kehutanan dan gambut, melalui pengelolaan hutan berkelanjutan pada lahan kering, rehabilitasi lahan gambut tak terpakai, dan pengelolaan hutan berkelanjutan. Bila peluang pada dua bidang ini dilakukan dan berhasil, akan ada sumbangan penurunan emisi 37 persen.
Target Indonesia sebenarnya bertujuan mendorong negara maju lebih serius menangani emisinya. ”Masak, negara berkembang saja berani memiliki target, tapi mereka yang sudah maju belum,” kata Tri.
Dalam enam bulan terakhir ini, menurut Tri, tanda-tanda optimisme telah muncul dan ada harapan Kopenhagen akan berhasil. Presiden Amerika Serikat Barack Obama telah berjanji akan hadir dalam pertemuan itu, suatu tanda dukungan Washington terhadap isu ini. ”Tekanan semakin tinggi terhadap semua pihak untuk menyukseskan Kopenhagen. Kegagalan bukan pilihan,” kata Tri.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo