Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Panas dan Lembap yang Memicu Kematian Jemaah Haji 2024

Lebih dari 1.300 anggota jemaah haji 2024 meninggal akibat panas-lembap di Arab Saudi yang melampaui batas. Ini baru permulaan.

24 Desember 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ibadah tawaf ifadah mengelilingi Ka'bah yang menjadi rukun haji di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, 20 Juni 2024. ANTARA/Sigid Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pada 2024, ibadah haji berlangsung pada pertengahan Juni, awal musim panas di Arab Saudi.

  • Pada tahun ini, lebih dari 1.300 anggota jemaah haji meninggal, diduga akibat suhu udara panas dan tingkat kelembapan tinggi.

  • Perjalanan haji, menurut prediksi Climate Analytics, akan lebih berbahaya di masa depan ketika berhaji kembali ke puncak musim panas pada Agustus dan September.

SETIAP tahun, ratusan ribu muslim melaksanakan ibadah haji—perjalanan ke Tanah Suci Mekah, Arab Saudi. Pada 2024, ibadah haji berlangsung pada pertengahan Juni, yang merupakan awal musim panas di Arab Saudi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada tahun ini, mengutip berita dari The Guardian, lebih dari 1.300 anggota jemaah haji meninggal. Panas yang mematikan dikombinasikan dengan kelembapan terbukti fatal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penelitian baru kami yang terbit dalam jurnal Nature pada 18 Desember 2024 menunjukkan batas atas toleransi manusia terhadap panas telah dilampaui dengan total 43 jam selama enam hari ibadah haji. Selama periode ini, panas dan kelembapan melewati titik untuk tubuh kita dapat mendinginkan diri.

Para ilmuwan makin khawatir dengan jumlah kematian yang disebabkan oleh gelombang panas yang lembap dan bagaimana hal itu akan meningkat dalam waktu dekat. Tahun ini, menurut catatan Copernicus Climate Change Service, adalah tahun terpanas, melampaui rekor terpanas sebelumnya pada 2023.

Jadi mengapa perjalanan haji sangat mematikan? Dan apa artinya bagi kita ketika terjadi perubahan iklim?

Masjidil Haram tempat menunaikan ibadah haji di Makkah, Arab Saudi, 4 Juni 2024. ANTARA/Sigid Kurniawan

Apa yang terjadi di Mekah?

Ketika planet ini makin panas, ia juga menjadi lebih lembap di banyak tempat, termasuk di Arab Saudi yang gersang. Sejak 1979, periode panas-lembap yang ekstrem telah meningkat lebih dari dua kali lipat secara global, yang menambah kemungkinan kejadian mematikan seperti ini.

Untuk melakukan ibadah haji, Anda harus berjalan sejauh 6-21 kilometer setiap hari. Banyak anggota jemaah yang lebih tua dan tidak dalam kesehatan yang baik, membuat mereka lebih rentan terhadap stres panas.

Ibadah haji tahun ini dimulai pada 14 Juni. Selama enam hari berikutnya, suhu mencapai 51 derajat Celsius, sementara wet-bulb temperature (kombinasi suhu dan kelembapan) naik setinggi 29,5 derajat Celsius.

Juni biasanya merupakan bulan terkering di Arab Saudi dengan kelembapan relatif rata-rata sekitar 25 persen dan wet-bulb temperature rata-rata 22 derajat Celsius. Namun, selama ibadah haji tahun ini, kelembapan rata-rata menjadi 33 persen dan naik sebesar 75 persen selama periode stres panas yang paling ekstrem.

Penelitian kami menunjukkan batas toleransi panas untuk orang dewasa yang lebih tua telah dilampaui pada enam hari ibadah haji, termasuk empat periode yang berdurasi lebih dari enam jam. Pada satu hari yang ganas, 18 Juni, panas-lembap mencapai tingkat yang dianggap berbahaya, bahkan bagi para anggota jemaah muda dan sehat. Titik wet-bulb temperature memasuki zona mematikan bergantung pada kombinasi suhu dan kelembapan tertentu karena tubuh kita merespons secara berbeda terhadap panas-kering atau lembap.

Otoritas Arab Saudi telah memasang penyejuk ruangan di tempat penampungan serta menggunakan metode pendinginan lain. Namun ini hanya tersedia untuk anggota jemaah dengan izin resmi. Sebagian besar dari mereka yang meninggal tidak memiliki izin, yang berarti mereka tak dapat mengakses bantuan pendinginan.

Perjalanan haji, menurut prediksi Climate Analytics, akan lebih berbahaya di masa depan. Dalam 25 tahun, masa ibadah haji akan kembali ke puncak musim panas pada Agustus dan September. Berdasarkan kajian Fahad Saeed dan kawan-kawan yang dipublikasikan dalam jurnal Environmental Researced Letters, 9 Februari 2021, pada pemanasan 2 derajat Celsius, risiko serangan panas selama ibadah haji akan sepuluh kali lebih tinggi.

Kita bisa menangani berapa banyak panas dan kelembapan?

Pada 2010, Steven C. Sherwood dari New South Wales University, Australia, dan Matthew Huber dari Purdue University, Amerika Serikat, yang pertama kali mengusulkan teori "batas bertahan hidup", yaitu wet-bulb temperature sebesar 35 derajat Celsius.

Tapi sekarang kita tahu batas sebenarnya jauh lebih rendah. Eksperimen Larry Kenney dan kawan-kawan yang dipublikasikan dalam Journal of Applied Physiology, 28 Januari 2022, yang menguji batas fisiologis manusia di dalam ruangan panas yang dikendalikan, yang didukung oleh model canggih Jennifer Vanos dan kawan-kawan yang terbit dalam jurnal Nature pada 29 November 2023, telah mengungkapkan batas toleransi panas baru.

Batas-batas ini bervariasi, bergantung pada usia Anda dan berapa tingkat kelembapannya. Misalnya, batas toleransi untuk orang muda adalah sekitar 45 derajat Celsius pada kelembapan 25 persen dan menjadi hanya 34 derajat Celsius pada kelembapan 80 persen. Untuk orang yang lebih tua, batasnya lebih rendah, yakni 32,5 derajat Celsius pada kelembapan 80 persen pun masih tetap berbahaya.

Batas-batas ini adalah titik yang terlalu panas dan lembap bagi tubuh Anda untuk mendinginkan diri sendiri, bahkan saat beristirahat. Paparan yang berkelanjutan menyebabkan suhu tubuh inti Anda meningkat, terjadi serangan panas, dan setelah beberapa jam, menyebabkan kematian.

Banyak dari kita yang akrab dengan suhu udara 34 derajat Celsius dan di atasnya. Namun kita menoleransi panas-kering jauh lebih baik daripada panas-lembap. Kondisi lembap membuat kita jauh lebih sulit menggunakan cara utama kita untuk mengeluarkan panas, yakni berkeringat.

Kita mengandalkan udara untuk menguapkan keringat dari kulit dan membawa panas bersamanya. Namun kelembapan mengubah ini. Ketika ada lebih banyak air di udara, lebih sulit untuk menguapkan keringat.

Panas-lembap adalah ancaman yang meningkat di seluruh dunia

Panas adalah pembunuh yang tenang. Ini bukan ancaman yang terlihat, tidak seperti kebakaran, banjir, kekeringan, dan cuaca ekstrem lain yang dipicu oleh iklim. Kematian yang berkaitan dengan panas sulit dilacak, dan menurut epidemiolog Kristie Ebi dari University of Washington, Amerika Serikat, ada kemungkinan diremehkan. Namun, menurut artikel Terri Adams-Fuller dari Howard University, Amerika Serikat, yang terbit dalam Scientific American pada 1 Juli 2023, panas adalah bahaya iklim yang paling mematikan di banyak bagian dunia. Sampai sekarang, banyak penelitian berfokus pada satu variabel, yaitu suhu udara. Para ilmuwan baru-baru ini mulai mengurai ancaman mematikan dari kelembapan yang kurang dikenal.

Kelembapan berasal dari penguapan lautan dan badan air yang besar. Menurut Woods Hole Oceanographic Institution, ketika perubahan iklim memanaskan lautan, mereka menghasilkan lebih banyak kelembapan. Itu berarti wilayah pesisir—rumah bagi banyak kota terbesar di dunia—menjadi rentan. Itulah mengapa Arab Saudi yang gersang dan negara-negara lain di Semenanjung Arab sangat berisiko—mereka dikelilingi laut yang dangkal dan menghangat.

Namun, menurut studi Christine A. Shields dan kawan-kawan yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Communications Earth & Environment, 19 Oktober 2024, kelembapan juga dapat menyebar jauh ke pedalaman melalui fenomena yang dikenal sebagai atmospheric rivers, sungai kelembapan di udara. Beginilah bagaimana episode kelembapan yang mematikan dapat menyerang daerah yang terkurung daratan, seperti India utara.

Ancaman panas-lembap akan memburuk dengan tajam. Kita sudah melihat panas-lembap yang mematikan di Teluk Arab, di seluruh Bangladesh, India utara dan sebagian Pakistan, serta di Asia Tenggara.

Orang-orang sekarat karena peristiwa-peristiwa ini, tapi sejauh ini hal itu didokumentasikan dengan buruk. Gelombang panas tahun ini menutup sekolah-sekolah di Filipina, India, dan Bangladesh, serta menewaskan puluhan orang selama pemilihan umum di India.

Tanpa penghentian bertahap bahan bakar fosil yang cepat, kita akan melihat panas-lembap yang mematikan melanda beberapa kali dalam setahun di setiap wilayah perekonomian utama, termasuk Amerika Serikat, India, Cina, Amerika Selatan, Eropa, dan sebagian besar Afrika.

Sejumlah Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) mendorong kursi roda calon haji Indonesia di Makkah, Arab Saudi, 4 Juni 2024. ANTARA/Sigid Kurniawan

Ada batasan untuk adaptasi

Kita ingin berpikir bahwa kita dapat beradaptasi dengan perubahan. Namun ada batas kaku bagi kemampuan kita beradaptasi dengan kelembapan dan panas yang mematikan.

Adaptasi teknologi, seperti penyejuk ruangan (AC), memang berfungsi. Tapi teknologi itu tidak tersedia untuk semua. Teknologi ini juga tidak aman dari kegagalan.

Selama gelombang panas, banyak dari kita menyalakan AC pada saat yang sama, menggunakan banyak daya dan meningkatkan kemungkinan pemadaman listrik. Pemadaman listrik selama gelombang panas dapat memiliki konsekuensi yang mematikan.

Dalam bab pertama novel Kim Stanley Robinson, The Ministry for the Future yang terkenal, seorang relawan penolong Amerika berjuang untuk bertahan hidup dari gelombang panas-lembap yang intens di India, yang menewaskan jutaan orang. Kejadian di buku itu hanya beberapa tahun ke masa depan.

Kematian selama musim haji memperingatkan kita bahwa panas-lembap yang mematikan bukanlah fiksi. Ini adalah alasan lain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara cepat dengan mengakhiri ketergantungan kita pada bahan bakar fosil.

Shanta Barley, dosen ajun bidang ekologi pada University of Western Australia, berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation.
Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Emma Ramsay

Emma Ramsay

Ilmuwan lingkungan yang meneliti adaptasi iklim di kota-kota tropis. Dia menyelesaikan gelar doktornya di Monash University, Australia dengan fokus kajian tentang tekanan panas di permukiman informal perkotaan. Emma kini berbasis di Nanyang Technological University, Singapura sebagai peneliti pascadoktoral, dan berafiliasi dengan Monash University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus