Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dua perempuan muda asal Tebo, Jambi, hadir di antara ribuan delegasi peserta Konferensi Para Pihak atau COP29 dari KTT Perubahan Iklim PBB di Baku, Azerbaijan, yang berakhir hari ini, 22 November 2024. Mereka adalah Nasywa Adivia Wardana (17 tahun) dan Qurrota A’yun Nur Ramadhani (17), pelajar Kelas XI dan XII SMAN 2 Kabupaten Tebo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nasywa dan Qurrota hadir difasilitasi oleh Global Alliance for Green and Gender Action (GAGGA), sebuah lembaga internasional yang berkedudukan di Belanda. Keduanya dinilai sebagai generasi muda yang mampu melakukan aktivitas berharga yang menjadi bagian dari upaya penanganan perubahan iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di COP29, Nasywa dan Ayun berkesempatan bicara dalam forum yang mewakili anak muda seusianya tentang situasi di negaranya dan ancaman perubahan iklim yang mereka rasakan. Di hadapan seluruh delegasi, mereka menyampaikan rasa bangga atas kehadirannya di Baku, terlibat dalam pembahasan hari ke hari yang resolusinya ditunggu masyarakat di dunia.
“Dalam waktu bersamaan, kami merasa kurang beruntung dan prihatin karena semakin dalam kami mengetahui apa itu krisis iklim, semakin kami kehilangan waktu untuk menikmati usia muda,” kata Ayun dalam sebuah forum pada 21 November dan dikutip dari keterangan tertulis pada 22 November 2024.
Mereka bercerita melihat situasi yang begitu menyedihkan: jutaan pemuda seusia mereka belum memiliki pengetahuan yang benar dan cukup tentang bahaya perubahan iklim. Aktivitas diskusi, seni dan budaya, serta berbagai aktivitas yang menjelaskan tentang bahaya perubahan iklim dinilai masih sangat terbatas.
“Kepulauan Indonesia terlalu luas. Ancaman bencana akibat perubahan iklim begitu nyata dan jauh lebih cepat dibandingkan dengan jumlah pemuda yang berpengetahuan mengenai ini, menyadari bahaya dan apa yang bisa dilakukan,” tutur Ayun.
Adapun Nasywa menyatakan juga hadir di COP28 di Dubai pada tahun lalu. Kala itu dia mengungkap pengalaman masa kecilnya diselimuti bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan, yang dampaknya diperparah oleh perubahan iklim. “Kami bangga menjadi bagian dari sejarah yang hanya segelintir pemuda seusia kami yang memiliki kesempatan ini,” katanya.
Pelajar dari SMAN 2 Kabupaten Tebo, Jambi, Nasywa Adivia Wardana, di COP29 Konferensi Perubahan Iklim PBB di Baku, Azerbaijan, 21 November 2024. FOTO/Dok. Tim Global Alliance for Green and Gender Action (GAGGA)
Ayun dan Nasywa menggunakan kesempatan kehadirannya di COP29 juga untuk menyampaikan kecintaan pada Indonesia, sekaligus kecemasan dan kemarahan ketika mengetahui sebab-sebab kerusakan iklim di Indonesia . Kabut asap, misalnya, disebutkannya membuat mereka terkurung di rumah dengan tabung oksigen.
Anak-anak di Tebo, menurut keduanya, mengungkap kemarahan dengan corat-coret di dinding, menulis puisi, bahkan ikut dalam aksi-aksi demonstrasi menuntut ruang isolasi. "Bahkan kabut asap pula yang membentuk kami menjadi aktivis, mencermati lahan, sungai, rawa, tanah gambut yang mengering akibat hutan dihabisi oleh perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit,” ucap Nasywa.
Korban Generasi Sebelumnya
Pada bagian akhir kesempatan itu, Ayun dan Nasywa menegaskan bahwa pemuda seusia mereka bukanlah perusak alam. Sebaliknya, mereka adalah korban dari kebijakan-kebijakan yang dikendalikan oleh generasi sebelumnya.
“Kebangkitan generasi bersih adalah kebangkitan para korban yang berhak berjuang untuk meraih penyelesaian krisis iklim dengan segera," kata Ayun sambil menambahkan, "Pemuda harus menjadi kekuatan penting dalam mengubah situasi ini.”
Pelajar dari SMAN 2 Kabupaten Tebo, Jambi, Qurrota A’yun Nur Ramadhani, di COP29 Konferensi Perubahan Iklim PBB di Baku, Azerbaijan, 21 November 2024. FOTO/Dok. Tim Global Alliance for Green and Gender Action (GAGGA)
Mereka juga mengungkap alam dan masyarakat Indonesia pasti akan rusak berkelanjutan tanpa perjuangan sungguh-sungguh pemuda dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pemudalah, menurut mereka, yang akan mengendalikan penyelesaiannya di kemudian hari.
Tantangannya, generasi mereka sebagian besar tidak pernah tahu hutan tropis yang dulu lebat, Sungai Batang Hari yang jernih, gambut dan rawa sebelum dirusak, selain dari cerita dan buku-buku.
“Kami generasi yang lahir dari alam Indonesia yang telah rusak. Kami butuh sekolah krisis iklim yang relevan, serta dukungan solidaritas nasional dan internasional yang intensif dan berkelanjutan,” kata Ayun berseru.