Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penanggulangan banjir di perkotaan menjadi tantangan besar seiring meningkatnya jumlah penduduk dan pembangunan infrastruktur. Banjir di area perkotaan tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga aktivitas manusia yang memperburuk kondisi lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peningkatan jumlah permukaan tanah yang tertutup beton dan minimnya daerah resapan air menjadi faktor utama penyebab banjir. Untuk itu, menanggulangi banjir di perkotaan memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anda bisa berkontribusi dalam upaya ini melalui langkah-langkah sederhana, seperti membuang sampah pada tempatnya dan memperbanyak area hijau. Selain itu, pengelolaan tata ruang yang baik dan sistem drainase yang efektif juga memiliki peran penting dalam mengurangi risiko banjir.
Cara Penanggulangan Banjir di Perkotaan
Penanggulangan banjir di perkotaan membutuhkan kombinasi berbagai metode untuk memastikan lingkungan tetap aman dan berkelanjutan.
Berdasarkan jurnal 7 Penyebab Banjir di Wilayah Perkotaan yang Padat Penduduknya yang ditulis oleh P. Nugro Rahardjo dari Pusat Teknologi Lingkungan, BPPT, berikut ini caranya.
1. Konsisten Menerapkan Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Perbaikan dan pemeliharaan sistem drainase dari daerah hulu hingga hilir perlu dilakukan secara menyeluruh dan terkoordinasi. Upaya ini memerlukan kerja sama antar-kabupaten atau bahkan antar-provinsi, terutama dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berwawasan lingkungan.
Selain itu, pengelolaan bantaran sungai dan langkah penertiban kawasan juga menjadi langkah penting dalam menjaga kapasitas tampung sungai. Pembatasan luas lahan yang boleh dibangun sebesar 70 persen dari total lahan sudah cukup efektif untuk mencegah berkurangnya daya tampung kawasan terhadap air hujan. Sisa 30 persen lahan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) harus ditaati oleh seluruh pemanfaat lahan.
Pelestarian kawasan hijau di daerah hulu menjadi keharusan, sementara kompensasi atas penutupan lahan terbuka dengan bangunan, seperti pembangunan waduk resapan atau sumur resapan, perlu terus digalakkan sesuai dengan daya tampung lahan yang tertutup.
2. Menerapkan Konsep Water Front Villages
Konsep Water Front Villages menempatkan sungai atau bantaran sungai sebagai halaman muka rumah. Penataan ini mendorong masyarakat untuk menjaga kebersihan dan memperindah area depan rumah yang menghadap ke sungai. Dengan begitu, masyarakat menjadi lebih peduli terhadap kelestarian lingkungan sekitar sungai.
Sebaliknya, jika rumah membelakangi sungai, kawasan tersebut cenderung diabaikan dan berpotensi dijadikan tempat pembuangan sampah atau limbah. Penerapan konsep ini telah banyak dilakukan di negara maju, di mana rumah-rumah dibangun dengan teras menghadap sungai, menciptakan pemandangan alami yang asri dan menenangkan.
3. Menerapkan Konsep One River One Management
Konsep One River One Management berfokus pada pengelolaan keseimbangan air dalam suatu kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Satuan Wilayah Sungai (SWS). Konsep ini menekankan bahwa pengelolaan sungai tidak hanya berdasarkan batas administratif daerah, tetapi berdasarkan ekosistem secara keseluruhan.
Pemerintah Indonesia telah menerapkan konsep ini melalui Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 1999 yang disempurnakan menjadi PP No. 46 Tahun 2010, dengan menunjuk Perum Jasa Tirta I dan II sebagai pengelola wilayah sungai tertentu.
Salah satu kunci keberhasilan konsep ini adalah pengelolaan kawasan hulu, yang berperan dalam memperlambat aliran air hujan agar bisa meresap ke dalam tanah dan mengisi akuifer bawah tanah (confined aquifer), sehingga tidak langsung melimpas ke sungai dan menyebabkan banjir.
4. Membuat Kawasan Resapan Khusus
Pembuatan sumur resapan di setiap rumah dan kawasan niaga merupakan langkah efektif untuk mencegah banjir di daerah perkotaan yang padat penduduk.
Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 68 Tahun 2005, yang merevisi Pergub Nomor 115 Tahun 2001, mewajibkan pembuatan sumur resapan dengan volume 40 liter untuk setiap 1 m² lahan terbuka hijau yang ditutup atau diperkeras.
Jika seluruh rumah memiliki sumur resapan, hal ini tidak hanya membantu menanggulangi banjir, tetapi juga menjadi upaya menabung air tanah guna menjaga ketersediaan air bersih.
Selain sumur resapan di permukiman, pembuatan situ atau bendungan sungai dengan sistem pintu air dan kanal di beberapa titik juga penting untuk mengendalikan debit aliran air di permukaan tanah. Upaya ini membantu mengatur aliran air yang masuk ke sungai, sehingga mampu mencegah luapan air yang berpotensi menyebabkan banjir.
5. Mencegah Land Subsidence dengan Metode Ground Water Injection
Pencegahan penurunan muka tanah (land subsidence) dapat dilakukan melalui metode ground water injection, yaitu penyuntikan air ke dalam lapisan air tanah dalam. Injeksi ini menggunakan air dengan kualitas tertentu yang memenuhi syarat agar tidak merusak ekosistem bawah tanah. Proses ini perlu segera diterapkan di daerah hulu maupun hilir untuk menjaga kestabilan struktur tanah.
Konsep ini mirip dengan sumur resapan, namun berbeda dalam mekanismenya. Sumur resapan memanfaatkan gravitasi untuk menyerap air secara alami, sedangkan ground water injection menggunakan pompa untuk memasukkan air ke lapisan penyimpan air tanah.
Metode ini mencegah penyempitan permanen rongga batuan pasir kasar pada lapisan confined aquifer, sehingga kapasitas penyimpanan air tetap terjaga dan penurunan muka tanah dapat dihindari.
Begitulah cara penanggulangan banjir di perkotaan padat penduduk yang bisa dilakukan. Pastikan Anda tetap menjaga kondisi lingkungan bersih dan menerapkan pola hidup bersih dan sehat untuk menjaga diri sendiri dan keluarga.