Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ada Pupuk Dan Pabrik Bumbu

Untuk mengatasi pencemaran lingkungan akibat pembuangan air limbah, kini pabrik bumbu masak mengolah air limbah tersebut menjadi pupuk cair. pt. miwon dengan nama "orgami", pt. ajinomoto dengan nama "amina".

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOKOH gendut, pelawak Djalal sering muncul di layar teve mempromosikan bumbu masak Miwon. Setiap kali ia mencicipi masakan yang dicampur bumbu ajaib ini, ia mengacungkan jempolnya. Dan suatu perusahaan modal patungan Korea Selatan (80%) dan Indonesia (20%) setiap bulan melemparkan 400 ton Miwon ke seluruh pelosok Indonesia. Tapi pabriknya di Surabaya ternyata tidak jempolan bagi lingkungannya. Sisa bahan kimia, ampas bahan organik dan macam kotoran lain dari proses produksi bumbu itu langsung dibuang ke Kali Surabaya yang mengalir di belakang kompleks pabrik yang megah itu. Kali Surabaya itu 25 km ke hilir memasuki kota. Dan menjelang itu sebuah instalasi PAM menyedot air kali itu untuk diolah menjadi air minum. Satu ketika, akhir tahun 1977, kota itu geger. Air yang keluar dari kran langganan PAM Surabaya berbau amis dan kotornya bukan main. Gubernur Ja-Tim, Soenandar Prijosudarmo, terpaksa mengungsikan seorang tamunya dari Kanada ke luar kota gara-gara air yang tercemar itu. Pabrik Miwon yang berada di hulu Kali Surabaya waktu itu segera disegel. Ia tidak boleh membikin bumbu ajaib lagi sebelum air limbah, yang setiap hari mencapai 80.000 liter, diurus. Maka sibuklah pimpinan pabrik itu. Untuk memasang instalasi pengolahan air limbah, "bisa milyaran rupiah," ujar Ir. Sapari Sumoanggono, asisten manajer PT Miwon kepada TEMPO. Gubernur memberi jalan keluar sementara. Ia mengharuskan pabrik itu membangun sebuah kolam besar di sebelah timur Kota Surabaya sebagai penampungan darurat. Baru 9 bulan kemudian pabrik Miwon boleh berproduksi lagi, setelah ia mengangkut air limbahnya ke kolam itu. Jaraknya lebih 25 km dari lokasi pabrik, hingga cukup merepotkan. "Sebulan menghabiskan sekitar 2,5 juta rupiah," tutur Sapari. Tapi ini masih dianggap lebih murah ketimbang mengadakan instalasi pengolahan air limbah, dan yang penting pabrik bisa berputar lagi. "Selama 9 bulan disegel, 600 karyawan harus terus digaji," ujar Yusuf, staf manajer di sana. "Kalau bukan PMA, barangkali pabrik ini sudah bangkrut." Sistem kolam penampungan ini adalah suatu langkah darurat. Pabrik Miwon masih harus memikirkan sistem pembuangan air limbah yang lebih sempurna. Soalnya air dalam kolam itu -- setelah diencerkan dan dicampur dengan kapur -- masih dibuang juga ke Kali Surabaya, meski kini di hilir instalasi PAM. "Kalau terus begini kan sama saja dengan memindahkan polusi ke hilir sungai," komentar seorang anggota PPLH Ja-Tim kepada TEMPO. Oleh karena pembangunan instalasi pengolahan air limbah tetap merupakan beban, pabrik Miwon mencoba cara lain. Air limbah itu kemudian dijadikan pupuk yang bisa dijual. "Induk perusahaan kami di Seoul sebenarnya sudah lama menginstruksikan pembuatan pupuk itu," ungkap Sapari. Tapi, menurutnya, percobaan untuk ini memakan waktu lama. Percobaan ini ternyata berhasil dan selama tahun 1979 Miwon sudah menjual 60.000 liter produk sampingan itu sebagai pupuk organik cair bernama 'Orgami', dengan harga Rp 7 per liter. Kalau diambil sendiri ke pabrik, harganya bisa Rp 6,5. "Ada petani dari Ciamis yang ambil sendiri, bahkan diberi gratis," cerita Sapari. Tentu saja PPLH Ja-Tim senang dengan perkembangan ini. "Saya kira pertama kali di Indonesia air limbah berpotensi sebagai polutan dikendalikan ke arah produktif," ujar Sujarwo dari PPLH Ja-Tim. Meski begitu gubernur sampai pekan lalu masih menetapkan agar pabrik Miwon menjelang Mei tahun depan sudah memasang sebuah instalasi pengolahan air limbah. Dianggap Merugikan Memang tidak semua air limbah bisa diolah menjadi pupuk. Masih ada sekitar 25% yang harus dinetralisasi. Terutama air yang dipakai untuk mencuci mesin yang mengandung zat karbon aktif. Bahkan bahan baku untuk membuat bumbu masak berupa tetes masih ikut dalam air cucian itu, hingga tetap berpotensi sebagai polutan. Tapi untuk mengatasi ini saja rupanya tidak terlalu mahal. "Kami sudah membeli instalasi pengolahan khusus untuk air ini seharga 100 juta rupiah," ujar Sapari. "Tinggal memasangnya saja." Tentu produk baru ini membawa problema baru, terutama soal pemasarannya. Harganya yang Rp 6,5 di pabrik, menurut Sapari, sekedar menutupi biaya produksi. "Kami tidak ambil keuntungan," jelasnya. Juga harganya harus bersaing dengan harga pupuk Urea yang disubsidi. Tidak hanya Miwon yang mengisi pasaran pupuk di Indonesia dengan produk sampingan ini. PT Ajinomoto Indonesia yang berlokasi di Mojokerto bahkan sudah 3 tahun lebih dulu membikinnya dengan nama Amina. "Di Jepang sendiri sudah sejak 30 tahun lalu air limbah Ajinomoto dijadikan pupuk," cerita Ichiro Sasaji, direktur pabrik itu kepada TEMPO. Sekarang perusahaan patungan Jepang (80%) dan Indonesia (20%) ini menghasilkan 100.000 liter Amina setiap hari. Dengan harga yang sama seperti Orgami, jumlah ini selalu habis terjual. Toh proses pembuatan pupuk itu oleh Sasaji dianggap merugikan. Sejak didirikan tahun 1970, PT Ajinomoto Indonesia sampai tahun 1975 membuang air limbahnya ke Sungai Brantas yang mengalir di depan pabriknya. Tapi karena sungai itu sangat besar agaknya belum pernah dirasakan efek negatifnya. Sebaliknya Kali Surabaya, yang merupakan cabang Sungai Brantas lebih kecil, hingga buangan pabrik Miwon sempat bikin geger Kota Surabaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus