TOKOH gendut, pelawak Djalal sering muncul di layar teve
mempromosikan bumbu masak Miwon. Setiap kali ia mencicipi
masakan yang dicampur bumbu ajaib ini, ia mengacungkan
jempolnya. Dan suatu perusahaan modal patungan Korea Selatan
(80%) dan Indonesia (20%) setiap bulan melemparkan 400 ton Miwon
ke seluruh pelosok Indonesia. Tapi pabriknya di Surabaya
ternyata tidak jempolan bagi lingkungannya. Sisa bahan kimia,
ampas bahan organik dan macam kotoran lain dari proses produksi
bumbu itu langsung dibuang ke Kali Surabaya yang mengalir di
belakang kompleks pabrik yang megah itu.
Kali Surabaya itu 25 km ke hilir memasuki kota. Dan menjelang
itu sebuah instalasi PAM menyedot air kali itu untuk diolah
menjadi air minum. Satu ketika, akhir tahun 1977, kota itu
geger. Air yang keluar dari kran langganan PAM Surabaya berbau
amis dan kotornya bukan main. Gubernur Ja-Tim, Soenandar
Prijosudarmo, terpaksa mengungsikan seorang tamunya dari Kanada
ke luar kota gara-gara air yang tercemar itu.
Pabrik Miwon yang berada di hulu Kali Surabaya waktu itu segera
disegel. Ia tidak boleh membikin bumbu ajaib lagi sebelum air
limbah, yang setiap hari mencapai 80.000 liter, diurus. Maka
sibuklah pimpinan pabrik itu. Untuk memasang instalasi
pengolahan air limbah, "bisa milyaran rupiah," ujar Ir. Sapari
Sumoanggono, asisten manajer PT Miwon kepada TEMPO.
Gubernur memberi jalan keluar sementara. Ia mengharuskan pabrik
itu membangun sebuah kolam besar di sebelah timur Kota Surabaya
sebagai penampungan darurat. Baru 9 bulan kemudian pabrik Miwon
boleh berproduksi lagi, setelah ia mengangkut air limbahnya ke
kolam itu. Jaraknya lebih 25 km dari lokasi pabrik, hingga cukup
merepotkan. "Sebulan menghabiskan sekitar 2,5 juta rupiah,"
tutur Sapari. Tapi ini masih dianggap lebih murah ketimbang
mengadakan instalasi pengolahan air limbah, dan yang penting
pabrik bisa berputar lagi.
"Selama 9 bulan disegel, 600 karyawan harus terus digaji," ujar
Yusuf, staf manajer di sana. "Kalau bukan PMA, barangkali pabrik
ini sudah bangkrut."
Sistem kolam penampungan ini adalah suatu langkah darurat.
Pabrik Miwon masih harus memikirkan sistem pembuangan air limbah
yang lebih sempurna. Soalnya air dalam kolam itu -- setelah
diencerkan dan dicampur dengan kapur -- masih dibuang juga ke
Kali Surabaya, meski kini di hilir instalasi PAM. "Kalau terus
begini kan sama saja dengan memindahkan polusi ke hilir sungai,"
komentar seorang anggota PPLH Ja-Tim kepada TEMPO.
Oleh karena pembangunan instalasi pengolahan air limbah tetap
merupakan beban, pabrik Miwon mencoba cara lain. Air limbah itu
kemudian dijadikan pupuk yang bisa dijual. "Induk perusahaan
kami di Seoul sebenarnya sudah lama menginstruksikan pembuatan
pupuk itu," ungkap Sapari. Tapi, menurutnya, percobaan untuk ini
memakan waktu lama.
Percobaan ini ternyata berhasil dan selama tahun 1979 Miwon
sudah menjual 60.000 liter produk sampingan itu sebagai pupuk
organik cair bernama 'Orgami', dengan harga Rp 7 per liter.
Kalau diambil sendiri ke pabrik, harganya bisa Rp 6,5. "Ada
petani dari Ciamis yang ambil sendiri, bahkan diberi gratis,"
cerita Sapari.
Tentu saja PPLH Ja-Tim senang dengan perkembangan ini. "Saya
kira pertama kali di Indonesia air limbah berpotensi sebagai
polutan dikendalikan ke arah produktif," ujar Sujarwo dari PPLH
Ja-Tim. Meski begitu gubernur sampai pekan lalu masih menetapkan
agar pabrik Miwon menjelang Mei tahun depan sudah memasang
sebuah instalasi pengolahan air limbah.
Dianggap Merugikan
Memang tidak semua air limbah bisa diolah menjadi pupuk. Masih
ada sekitar 25% yang harus dinetralisasi. Terutama air yang
dipakai untuk mencuci mesin yang mengandung zat karbon aktif.
Bahkan bahan baku untuk membuat bumbu masak berupa tetes masih
ikut dalam air cucian itu, hingga tetap berpotensi sebagai
polutan. Tapi untuk mengatasi ini saja rupanya tidak terlalu
mahal. "Kami sudah membeli instalasi pengolahan khusus untuk air
ini seharga 100 juta rupiah," ujar Sapari. "Tinggal memasangnya
saja."
Tentu produk baru ini membawa problema baru, terutama soal
pemasarannya. Harganya yang Rp 6,5 di pabrik, menurut Sapari,
sekedar menutupi biaya produksi. "Kami tidak ambil keuntungan,"
jelasnya. Juga harganya harus bersaing dengan harga pupuk Urea
yang disubsidi.
Tidak hanya Miwon yang mengisi pasaran pupuk di Indonesia dengan
produk sampingan ini. PT Ajinomoto Indonesia yang berlokasi di
Mojokerto bahkan sudah 3 tahun lebih dulu membikinnya dengan
nama Amina. "Di Jepang sendiri sudah sejak 30 tahun lalu air
limbah Ajinomoto dijadikan pupuk," cerita Ichiro Sasaji,
direktur pabrik itu kepada TEMPO. Sekarang perusahaan patungan
Jepang (80%) dan Indonesia (20%) ini menghasilkan 100.000 liter
Amina setiap hari. Dengan harga yang sama seperti Orgami, jumlah
ini selalu habis terjual. Toh proses pembuatan pupuk itu oleh
Sasaji dianggap merugikan.
Sejak didirikan tahun 1970, PT Ajinomoto Indonesia sampai tahun
1975 membuang air limbahnya ke Sungai Brantas yang mengalir di
depan pabriknya. Tapi karena sungai itu sangat besar agaknya
belum pernah dirasakan efek negatifnya. Sebaliknya Kali
Surabaya, yang merupakan cabang Sungai Brantas lebih kecil,
hingga buangan pabrik Miwon sempat bikin geger Kota Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini