Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Randa Kemulan, Sruntul & Seterusnya

Pasar seni di u.g.m dibuka oleh rektor ugm prof. soekadji ranuwihardja, menampilkan para pengrajin tradisional. tujuannya: revitalisasi kesenian rakyat.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REKTOR Universitas Gajah Mada Prof. Soekadji Ranuwihardja mendekati Dr. Umar Kayam. "Acara dimulai saja -- walaupun tak ada tamu," bisik Soekadji . Umar Kayam, Ketua Panitia Pasar Seni II/80 Universitas Gajah Mada, mengangguk. Setelah pidato ala kadarnya Soekadji memukul gong. Tanggal 10 Mei sore Pasar Seni II/80 di halaman kampus UGM itu resmi dibuka. Di Pasar Seni itu ada sekitar 100 buah kios sederhana dengan tidak kurang dari 77 grup pengrajin yang tetap awet melakukan kerajinan tangan tradisional, mengerjakan sekitar 50 macam barang kerajinan. Tidak ketinggalan pula 10 warung makanan, berikut beberapa warung yang memunculkan kembali makanan yang nyaris tidak pernah lagi masuk kota sate gembus, peyek jingking, randa kemulan. Selain itu dihidangkan juga 11 jenis hiburan rakyat dengan sistem parade ngamen yang diboyong dari berbagai desa di sekitar Yogya -- seperti angguk, runtul, dan sintren. Hiburan pertunjukan modern cuma orkes Melayu. Untuk penyelenggaraan pasar ini universitas sendiri hanya menyediakan biaya Rp 2 juta, sedang yang habis tertelan sebanyak Rp 7 juta. Menurut A. Fanani, manajer kesenian di Pasar Seni itu pada Pasar Seni I (akhir 1978) panitia untung Rp 300.000 karena waktu itu barang banyak yang laku. Fanani tidak memberikan gambaran untung/ruginya Pasar Seni II ini. Cuma dia menceritakan para mahasiswa sejak beberapa bulan yang lalu telah keluar masuk desa untuk mengajak para pengrajin agar turut serta. Kalau mereka tidak mempunyai modal, panitia Pasar Seni meminjami modal terlebih dahulu yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karya mereka. Tetapi sering, diperhitungkan akan membuat 10 macam karya, di Pasar Seni muncul dengan jumlah 15 buah karya. "Kalau barangnya tidak laku, panitia yang membeli barang mereka," tambah Fanani lagi. Jadi, pengrajin barang pasti tidak akan menanggung rugi, sementara ongkos transpor, menginap dan makan juga ditanggung panitia. Es Krim & Dawet Umar Kayam yang sehari-hari menjabat ketua Pusat Penelitian dan Studi Kebudayaan UGM mendapat ide tentang pasar ini ketika dia berkunjung ke Meksiko beberapa tahun yang lalu. Di negeri itu didapatinya karya kerajinan rakyat di hampir setiap rumah. Di sana pada hari tertentu secara khusus diadakan pasar seni untuk menyalurkan keinginan peminat dan jadi tempat pemasaran barang-barang seni tradisional ini. Tentang Pasar Seni II/80 ini, Kayam berkata: "Tujuannya adalah revitalisasi kesenian rakyat." Walaupun begitu, dia tidak terlalu optimis eksistensi kesenian tradisional akan bisa bertahan seutuhnya. "Kita 'kan sedang mencari format kultur yang baru," ujar Umar Kayam. Sebab akhir-akhir ini bukan saja di kota, juga di desa barang-barang plastik telah membanjir. Es krim telah mengusir es dawet, pertunjukan wayang atau ketoprak dianggap tidak ekonomis lagi kalau dibandingkan dengan kaset dan radio. Namun nyatanya, pasar seni seperti itu selalu menarik minat para pengrajin dan penggemar hasil kerajinan, sekaligus menggali bakat-bakat yang menyempil di desa-desa. Seperti Barwantio, dari Desa Diro, Kecamatan Sewon, Bantul Yogya Selatan. Pengrajin topeng ini sambil tertawa lebar berkata "Wah, sudah 5 orang yang menanyakan alamat saya untuk pesan barang." Pada Pasar Seni I/78 Barwantio juga turut serta. Topeng hasil bikinannya dijualnya rata-rata Rp 2.000 sebuah. "Pasar Seni ini benar-benar promosi," katanya. Relatif Murah Celengan, kendi dan sebangsanya yang termasuk golongan gerabah tanah, turut meramaikan pasar seni ini. Tetapi juga Sastro, pelukis kaca dari Muntilan, panen besar. Dari 20 buah lukisan kacanya, pada hari kedua tinggal 3 buah saja. Bahkan lukisan bouraqnya habis dibeli sebelum pasar seni dibuka. Harga lukisannya, relatif murah: tanpa bingkai, untuk kaca berukuran 50 x 70 cm, dijualnya Rp 1.250/buah. "Ini harga pasar seni," kata Sastro, "kalau datang ke Muntilan, saya jual Rp 1.000. Itu saja modalnya cuma Rp 600." Pelukis kaca yang lain, Cipto Sucitro, pensiunan mantri polisi, mendapat pesanan untuk Jerman Barat. Harga lukisannya Rp 3.000, "tapi lukisan saya sudah berbingkai." Dan siapa gerangan orangnya yang memesan lukisan kaca untuk Jerman Barat? "Ah, tidak usah disebut," katanya, "nanti Pak Sastro tahu." Seorang dosen UGM melihat nilai positif dari Pasar Seni II/80 ini. "Hanya pasar seni yang bisa membersihkan kampus dari corat-coret anti NKK,." kata si dosen tersebut. Memang, tembok yang tadinya penuh dengan berbagai protes tcrhadap NKK, menjadi bersih menjelang pasar seni berlangsung. Tetapi begitu Pasar Seni ll/80 usai, Senin 12 Mei, poster anti -- NKK muncul kembali. Bahkan kini ditambah dengan poster yang menyangkut protes-protes terhadap kenaikan harga BBM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus