REKTOR Universitas Gajah Mada Prof. Soekadji Ranuwihardja
mendekati Dr. Umar Kayam. "Acara dimulai saja -- walaupun tak
ada tamu," bisik Soekadji .
Umar Kayam, Ketua Panitia Pasar Seni II/80 Universitas Gajah
Mada, mengangguk. Setelah pidato ala kadarnya Soekadji memukul
gong. Tanggal 10 Mei sore Pasar Seni II/80 di halaman kampus UGM
itu resmi dibuka.
Di Pasar Seni itu ada sekitar 100 buah kios sederhana dengan
tidak kurang dari 77 grup pengrajin yang tetap awet melakukan
kerajinan tangan tradisional, mengerjakan sekitar 50 macam
barang kerajinan. Tidak ketinggalan pula 10 warung makanan,
berikut beberapa warung yang memunculkan kembali makanan yang
nyaris tidak pernah lagi masuk kota sate gembus, peyek
jingking, randa kemulan.
Selain itu dihidangkan juga 11 jenis hiburan rakyat dengan
sistem parade ngamen yang diboyong dari berbagai desa di sekitar
Yogya -- seperti angguk, runtul, dan sintren. Hiburan
pertunjukan modern cuma orkes Melayu.
Untuk penyelenggaraan pasar ini universitas sendiri hanya
menyediakan biaya Rp 2 juta, sedang yang habis tertelan sebanyak
Rp 7 juta. Menurut A. Fanani, manajer kesenian di Pasar Seni itu
pada Pasar Seni I (akhir 1978) panitia untung Rp 300.000 karena
waktu itu barang banyak yang laku.
Fanani tidak memberikan gambaran untung/ruginya Pasar Seni II
ini. Cuma dia menceritakan para mahasiswa sejak beberapa bulan
yang lalu telah keluar masuk desa untuk mengajak para pengrajin
agar turut serta. Kalau mereka tidak mempunyai modal, panitia
Pasar Seni meminjami modal terlebih dahulu yang jumlahnya
disesuaikan dengan jumlah karya mereka. Tetapi sering,
diperhitungkan akan membuat 10 macam karya, di Pasar Seni muncul
dengan jumlah 15 buah karya. "Kalau barangnya tidak laku,
panitia yang membeli barang mereka," tambah Fanani lagi. Jadi,
pengrajin barang pasti tidak akan menanggung rugi, sementara
ongkos transpor, menginap dan makan juga ditanggung panitia.
Es Krim & Dawet
Umar Kayam yang sehari-hari menjabat ketua Pusat Penelitian dan
Studi Kebudayaan UGM mendapat ide tentang pasar ini ketika dia
berkunjung ke Meksiko beberapa tahun yang lalu. Di negeri itu
didapatinya karya kerajinan rakyat di hampir setiap rumah. Di
sana pada hari tertentu secara khusus diadakan pasar seni untuk
menyalurkan keinginan peminat dan jadi tempat pemasaran
barang-barang seni tradisional ini. Tentang Pasar Seni II/80
ini, Kayam berkata: "Tujuannya adalah revitalisasi kesenian
rakyat."
Walaupun begitu, dia tidak terlalu optimis eksistensi kesenian
tradisional akan bisa bertahan seutuhnya. "Kita 'kan sedang
mencari format kultur yang baru," ujar Umar Kayam. Sebab
akhir-akhir ini bukan saja di kota, juga di desa barang-barang
plastik telah membanjir. Es krim telah mengusir es dawet,
pertunjukan wayang atau ketoprak dianggap tidak ekonomis lagi
kalau dibandingkan dengan kaset dan radio.
Namun nyatanya, pasar seni seperti itu selalu menarik minat para
pengrajin dan penggemar hasil kerajinan, sekaligus menggali
bakat-bakat yang menyempil di desa-desa. Seperti Barwantio, dari
Desa Diro, Kecamatan Sewon, Bantul Yogya Selatan. Pengrajin
topeng ini sambil tertawa lebar berkata "Wah, sudah 5 orang yang
menanyakan alamat saya untuk pesan barang." Pada Pasar Seni I/78
Barwantio juga turut serta. Topeng hasil bikinannya dijualnya
rata-rata Rp 2.000 sebuah. "Pasar Seni ini benar-benar promosi,"
katanya.
Relatif Murah
Celengan, kendi dan sebangsanya yang termasuk golongan gerabah
tanah, turut meramaikan pasar seni ini. Tetapi juga Sastro,
pelukis kaca dari Muntilan, panen besar. Dari 20 buah lukisan
kacanya, pada hari kedua tinggal 3 buah saja. Bahkan lukisan
bouraqnya habis dibeli sebelum pasar seni dibuka. Harga
lukisannya, relatif murah: tanpa bingkai, untuk kaca berukuran
50 x 70 cm, dijualnya Rp 1.250/buah. "Ini harga pasar seni,"
kata Sastro, "kalau datang ke Muntilan, saya jual Rp 1.000. Itu
saja modalnya cuma Rp 600."
Pelukis kaca yang lain, Cipto Sucitro, pensiunan mantri polisi,
mendapat pesanan untuk Jerman Barat. Harga lukisannya Rp 3.000,
"tapi lukisan saya sudah berbingkai." Dan siapa gerangan
orangnya yang memesan lukisan kaca untuk Jerman Barat? "Ah,
tidak usah disebut," katanya, "nanti Pak Sastro tahu."
Seorang dosen UGM melihat nilai positif dari Pasar Seni II/80
ini. "Hanya pasar seni yang bisa membersihkan kampus dari
corat-coret anti NKK,." kata si dosen tersebut. Memang, tembok
yang tadinya penuh dengan berbagai protes tcrhadap NKK, menjadi
bersih menjelang pasar seni berlangsung. Tetapi begitu Pasar
Seni ll/80 usai, Senin 12 Mei, poster anti -- NKK muncul
kembali. Bahkan kini ditambah dengan poster yang menyangkut
protes-protes terhadap kenaikan harga BBM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini