TUMPUKAN kayu api sekitar 6 m3 telah menutupi peti jenazah.
Lalu 20 liter minyak tanah ditaburkan. Sebentar kemudian lidah
api mulai melalap sekujur mayat yang hendak dijadikan abu itu.
Sementara di antara kepulan asap hio, terdengar tangisan
bagaikan lautan duka.
Itulah yang selalu dihadapi Dharmawan Suryana, kepala pembakar
mayat di Yayasan Krematorium Daya Besar - di pantai Cilincing,
Jakarta. "Ah, saya sendiri juga sedih kalau yang meninggal itu
lelaki muda," tuturnya. Karena ia iba melihat anak-anak yang
ditinggalkan almarhum.
Dharmawan (45 tahun) sudah bekerja 10 tahun sebagai pembakar
mayat. Ia memang keturunan pembakar mayat-turunan dari bapaknya.
Pos yang dihuninya sekarang adalah tempat kerjanya yang ketiga
-- sebelumnya ia bertugas di Muarakarang Jakarta dan Cisalak
(Bogor).
Salah seorang anak buah Dharmawan bernama Kijang. Kalau sedang
bertugas membakar mayat Kijang selalu memakai baju dan celana
berwarna kuning muda dengan sepatu laras karet yang tinggi.
Dengan sebuah galah sepanjang 3 meter yang berujung garpu besi
ia mengatur kegarangan api.
Setelah mayat jadi abu Kijang (60 tahun) mengambil 5 buah piring
aluminium untuk menampung abu jenazah -masing-masing untuk:
kedua kaki, tubuh, kepala serta tangan. Nantinya abu tersebut
dimasukkan ke dalam kantung kain berwarna merah -- urut dari abu
kaki ke atas. Beberapa hari kemudian abu itu ditaburkan di laut.
Tapi ada juga yang disemayamkan di rumah keluarga setelah
dimasukkan ke dalam guci tembikar.
Kijang sering menyaksikan perebutan abu oleh keluarga yang mati,
terutama kalau almarhum punya istri muda. "Tapi biasanya
keluarga istri muda yang mengalah," katanya.
Kijang membakar mayat sejak 1977. Sebelumnya ia adalah pensiunan
penjaga kuburan muslimin di Tanjngpriok. Ia sendiri beragama
Islam. Gaji yang diterimanya sebagai pembakar mayat sebesar Rp
75 ribu tiap bulan. Untuk itu ia harus menaati peraturan yang
ketat: tidak boleh terima amplop dari keluarga almarhum. Namun
ia berhak menikmati buah-buahan sisa samseng (sembahyang untuk
orang yang sudah tiada).
"Paling kesal kalau ada tetangga yang bertanya apa pekerjaan
saya," kata Kijang. Siang hari kalau para pembakar mayat keluar
dari kompleks pembakaran yang luasnya sekitar 5 ha itu, mereka
selalu diejek oleh anak-anak muda di sekitarnya. "Awas minggir,
minggir, malaekat mau lewat!" ejek anak-anak itu, "mau marah
nggak bisa, yah terima saja."
Tempat pembakaran mayat Cilincing merupakan bangunan tembok
ukuran 5 x 4 meter, beratap seng asbes. Ada 8 buah bangunan yang
nampaknya sudah lusuh. Dinding luarnya bercat kuning dengan
tepi bergaris merah. Tungku pembakaran dikurung oleh pintu
dari plat besi. Kalau tengah malam pintu itu berbunyi keras,
seperti diguncangkan, pertanda esoknya seluruh tungku akan kerja
keras. "Memang aneh, padahal tidak ada angin yang bertiup atau
orang yang memukul pintu itu," kata salah seorang pembakar. Ini
memang merupakan bagian dari cerita serem dalam pe kerjaan itu.
Contoh lain pembakar mayat di Cilincing.yang bernama Basarrudin
pada suatu malam Jumat Kliwon didatangi seorang wanita
berpakaian putih-putih. Rambutnya tergulung rapi diikat pita
hitam. Ia tersedu dan berkata: "Pak, tolong antarkan saya."
Basarrudin sempat mencium bau harum. Hatinya cukup tenang untuk
mempersilakan tamu itu duduk sejenak. "Nona siapa dan tinggal di
mana? " tanya Basaruddin. Sambil tunduk tamu itu menjawab:
"Tidak tahu."
Basarrudin kemudian membangunkan istrinya, khawatir kalau timbul
salah paham. Tapi karena malam dingin istrinya terus tidur.
Akhirnya ia menyalakan lampu patromak. Waktu ia kembali, tamunya
sudah lenyap. Ia kaget dan penasaran.
Paling Jorok
Esoknya ketika teman-temannya mendengar cerita itu, semuanya
mengatakan Basarrudin sudah ketamuan setan. Tapi kebetulan di
muka tungku ada lelaki muda berusia 35 tahun, sedang menunggu
abu jenazah istrinya. Begitu mendengar cerita Basarrudin, ia
langsung menangis tersendat-sendat. "Itu roh istri saya,"
ujarnya. Istrinya meninggal bunuh diri -- mungkin karena kesal
tak punya anak. Baru saat itu meremang bulu kuduk Basarrudin.
Lain waktu Basarrudin mendapat pengalaman aneh lagi. Masih pukul
8 malam waktu itu -- ia tak ingat persis kapan. Tapi saat itu ia
sedang asyik membetulkan tumpukan kayu bakar yang akan digunakan
esok harinya. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki yang
diseret-seret. Waktu berbalik bulu kuduknya berdiri dan kakinya
lemes. "Wah serem Oom, ada orang keluar dari ruang pembakaran
mayat tanpa kepala," katanya kepada TEMPO sambil membelalakkan
mata.
Di tempat pembakaran mayat tidak hanya ada cerita serem. Para
pembakar mayat juga sering kesal karena ulah para pengantar
jenazah yang meninggalkan banyak kotoran. "Paling jorok orang
Cina, buang sampah sembarangan," kata Kijang sambil menunjuk
tong sampah yang sebenarnya sudah disediakan.
Berbagai jenis bangsa sudah pernah dibakar di tempat pembakaran
Cilincing. Cina, Indonesia, Jepang, Korea, Eropa dan Amerika.
Umumnya dari kalangan yang beragama Budha. Hari Selasa dan Sabtu
biasanya kosong -- menurut kepercayaan orang Cina membakar mayat
pada hari-hari itu tidak baik buat keluarga yang ditinggalkan.
Menurut seorang petugas "dalam satu bulan pernah 70 mayat
dibakar di Cilincing." Tapi juga kerap terjadi dalam sebulan tak
sampai 10 mayat.
Ongkos pembakaran, tergantung dari jenis peti yang dipakai.
Tarif termurah Rp 24 ribu. Untuk peti yang terbuat dari jati
tebal bisa mencapai Rp 285 ribu. Herannya menurut keterangan
para pembakar, orang Cina lebih suka dibakar dengan kayu
ketimbang dengan listrik yang menyemburkan api. "Padahal dengan
cara ini paling mahal Rp 61 ribu," kata seorang pembakar.
Untuk bisa dibakar, diperlukan surat-surat lengkap dari Dinas
Pemakaman Pemerintah DKI Jakarta -- seperti syarat penguburan
umumnya. Kenapa? "Yah, kalau yang meninggal tersebut korban
kejahatan, bisa-bisa kita yang berabe," jawab seorang petugas.
Mereka harus teliti. "Pokoknya kita baru mulai membakar kalau
sudah ada perintah dari kantor," ungkapnya.
Lama pembakaran biasanya 8 jam. "Tapi untuk anak-anak bisa-bisa
sampai 10 jam," kata pembakar yang bernama Didi. Ia tak
menjelaskan mengapa anak-anak lebih lama. Menurut pengalamannya
paling cepat membereskan mayat orang yang meninggal karena
kecelakaan. "Abunya pun putih bersih. Sedangkan abu orang yang
telah lama sakit-sakitan agak kekuning-kuningan," katanya dengan
suara tenang.
"Sekarang ini sedang sepi orang mati," kata Darmawi (40 tahun)
seorang petugas di pembakaran mayat di Jelambar, Jakarta Barat.
Ia telah bekerja di yayasan Krematorium Jelambar selama 20
tahun. Pada 1977 Jelambar memonopoli segala kegiatan pembakaran
mayat di Jakarta -- sebab pembakaran mayat Muarakarang waktu itu
ditutup. "Selama 24 jam kita membakar nonstop. Tapi sejak
pembakaran di Cilincing didirikan jumlah yang dibakar merosot
sampai separuh. Bayangkan, selama 10 hari ini baru 7 jenazah
yang masuk," keluhnya dengan suara datar.
Darmawi tadinya tukang buah di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Ia
merasa kerja membakar mayat lebih enak. "Habis bulan terima
gaji, nggak perlu modal, " ujarnya. Gajinya sekarang Rp 25 ribu,
plus tip dari keluarga almarhum -- total bisa sampai Rp 50 ribu
sebulan. Ia tidak pernah mengalami kejadian yang aneh-aneh.
Mungkin karena itu ia betah kerja. Istrinya bekerja sebagai
penjual kue.
Digusur
Mulyadi pembakar mayat yang telah 20 tahun bekerja di Yayasan
Eka Praya di Surabaya, juga mengaku tidak pernah mengalami hal
yang luar biasa. Ia hanya kadang-kadang merasa tidak enak.
Pekerjaan sebagai pembakar mayat ditemukannya setelah bingung
karena pensiun sebagai pegawai BPM (sekarang Pertamina), ketika
ia masih berusia 50 tahun. Untuk menghidupi 8 orang anaknya,
akhirnya tugas membakar itu diterimanya. "Ketimbang harus
mencari nafkah dengan cara tidak halal," ujarnya.
Mula-mula Mulyadi (70 tahun) disuruh membakar tulang-tulang
sapi. Kemudian baru tulang manusia yang digali dari kuburan.
Setelah itu baru mayat. "Aduh, badan ini rasanya
munek-munek,"ujar orang tua kelahiran Ploso, Jombang itu
menceritakan pengalaman kerjanya di saat-saat permulaan.
Bathinnya sempat tersiksa, karena tak tahu pasti itu dibenarkan
atau tidak oleh agama Islam yang dianutnya. Akhirnya
teman-temannya mendorong dan menganjurkan agar ia menganggap
sebagai sekedar cari upah. "Memang saya kan hanya menyalakan
api," kilah Mulyadi. Lama-lama ia terbiasa juga.
Kalau yang dibakar orang yang bunuh diri atau tabrakan, Mulyadi
selalu menyiapkan mentalnya. Sebab dapat dipastikan kompor yang
dipakainya akan mati tiba-tiba. Atau nyalanya melempem. "Mungkin
dosanya banyak," kata orang tua itu. Yang celaka adalah kalau
kompor macet sedangkan mayat belum habis terbakar. Udara dan bau
di ruangan akan segera membetot kesehatan. "Barangkali karena
itulah baru-baru ini saya terserang sakit paru-paru," keluhnya.
Anak-anaknya menganjurkan supaya ia berhenti kerja. Tapi waktu
mengajukan permintaan supaya dapat uang pensiun, perusahaan
pembakaran mayat hanya bisa memberi pesangon Rp 200 ribu.
"Setelah pikir-pikir, saya teruskan bekerja saja selama masih
kuat," kata orang tua itu.
Diributkan
Pendeta Dharam Singh (60 tahun), di kompleks Sikh Temple, Medan,
tak pernah merasa aneh atau takut selama membakar mayat. Ia
menganggap itu kerja rutin, sebagaimana membaca buku suci Guru
Grant Sahib di setiap rumah orang kemalangan. "Saya tak pernah
mimpi apa-apa sehabis membakar mayat," ujarnya sambil mengelus
janggutnya yang panjang dan putih. Di lingkungan kuil ini tak
ada petugas pembakar mayat khusus. Terkadang dilaksanakan oleh
keluarga si mati. "Kalau mereka tak ada yang bersedia, sayalah
yang membakarnya," ujar Dharam.
Sebagai pendeta ia dapat honor tetap Rp 50 ribu sebulan. Membaca
Buku Suci di tempat almalhum yang tebalnya 1400 halaman, ia
dapat Rp 3000 biasanya selama 10 hari. Tapi sebagai pembakar,
tidak ada honor. "Saya tidak pernah berpikir jadi orang kaya.
Lepas makan saja sudah cukup," kata pendeta kelahiran Punyab,
India itu.
Yang bikin risau pendeta ini sekarang adalah tempat
pembakarannya yang sering diributkan, dengan alasan pengembangan
kota. Tahun 1967, Walikota Medan menggusur tempat pembakaran
karena protes penduduk setempat, tanpa ganti rugi yang jelas
sampai sekarang. Tempat pembakaran dipindahkan ke lembah di
pinggir kota yang tak berpenghuni. Tapi sekarang, rumah dan
gedung-gedung bermunculan dl sekitar tempat pembakaran baru itu.
Protes pun mulai gencar lagi.Tempat itu juga terpaksa kami
pindahkan. Tapi ke mana, belum tahu," kata sang pendeta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini