SORGA terakhir bagi fauna Sumatera terletak di Kepulauan
Mentawai, terutama di Pulau Siberut bagian selatan, yang punya
suaka margasatwa Tai Tai Batti. Di sana empat jenis primata yang
sudah punah di daratan Andalas dilindungi. Makanya ketika
Gubernur Sumatera Barat, ir Azwar Anas menyatakan persetujuannya
agar suaka Tai Tai Batti diperluas dari 6 ribu Ha menjadi 30
ribu Ha, kalangan pencinta alam bertepuk tangan.
Namun, Azwar Anas membuat kejutan baru. Dua kera yang telah
dibunuh dan diawetkan dihadiahkannya kepada Presiden dan Ny.
Tien Soeharto yang bertandang ke Padang baru-baru ini. Kedua
hadiah itu terdiri dari ungko biloh atau siamang Mentawai
(llylobates klossi), dan beruk Mentawai (Macaca pagensis). Kali
ini, para pencinta alam dan satwa lindungan hanya menggigit jari
ketika mendengar berita itu. Apalagi Surat Edaran Menteri
Pertanian Soedarsono Hadisaputro, yang menganjurkan agar semua
pejabat tinggi mematuhi Ordonansi Binatang Liar, baru dua bulan
umurnya.
Membawa Sial
Dua kera Mentawai awetan yang dihadiahkan kepada Presiden itu
memang termasuk jenis primata yang kini hanya terdapat di Kep.
Mentawai. Suaka Tai Tai Batti khusus diadakan untuk melindungi
dua jenis primata langka itu. Dua jenis lain yang dilindunginya
adalah lutung Mentawai (Presbytis potenziani) dan lutung putih
yang oleh penduduk setempat disebut simakobu (Simias concolor).
Menyambut langkah pemerintah RI di P. Siberut itu, suatu
organisasi swasta di Inggeris, Survival International
menyanggupi bantuan senilai Rp 40 juta. Bantuan itu dimaksudkan
untuk mengalihkan kebiasaan penduduk asli Siberut dari perburuan
siamang dan lutung Mentawai itu ke usaha peternakan babi, ayam,
perikanan air tawar, dan penanaman cengkeh. Survei primata dan
vegetasi Siberut diadakan pula oleh regu peneliti dari
Universitas Cambridge, juga dari Inggeris, dengan bantuan Dana
Margasatwa Sedunia (WWF) yang berpusat di Swiss.
Perlindungai alam di P. Siberut itu terasa cukup mendesak.
Apalagi, seperti yang diuraikan majalah Suara Alam, No. 2/1978,
penebangan hutan dengan gergaji mesin mempercepat rusaknya
habitat berbagai jenis primata di sana. Jalan-jalan pengangkut
kayu (logging roads) yang setiap kali dilintasi truk raksasa dan
alat berat lainnya praktis memotong jalur pergerakan lutung dan
siamang Mentawai yang suka bergayutan dari pohon ke pohon.
Penduduk asli Siberut dari dulu sudah terbiasa berburu lutung,
siamang atau beruk Mentawai. Tapi sebelum masuknya misi
Protestan berikut kebudaylan modern dari pesisir, adat dan
kontrol masyarakat setempat masih menjamin adanya keserasian
dengan alam. Sebab mereka berburu hanya pada masa punen, yakni
pesta keagamaan setahun sekali, yang makan waktu
berminggu-minggu, bahkan kadang-kadang berbulan-bulan.
Setiap lelaki dewasa pada masa punen itu wajib pergi berburu,
tapi harus sendiri-sendiri, tidak dalam kelompok, dan tak boleh
menggunakan anjing atau perangkap. Para sesepuh keluarga besar
yang tinggal dalam satu rumah panggung (uma) menJaga supaya
pantangan adat itu tak dilanggar. Tengkorak binatang yang
berhasil diburu kemudian dibersihkan, dihias dan digantung dalam
uma. Mereka percaya, roh binatang itu akan senang hidup di dalam
rumah itu. Adapun siamang kecil tak boleh diburu: Sebab ada
kepercayaan di antara orangorang Siberut bahwa berburu siamang
kerdil itu hanya akan membawa sial.
Setelah masuknya misi Protestan di tahun 1902, adat asli mulai
lapuk, ikatan uma mulai kendor, dan pantangan berburu dengan
anjing dan perangkap mulai hapus. Kontak dengan dunia luar
melalui desa-desa yang kemudian tumbuh di tepi pantai
menimbulkan keinginan untuk mengumpulkan kekayaan dan memiliki
benda-benda modern. Maka timbullah perdagangan hasil hutan untuk
dijual pada para pedagang di pantai. Termasuk perdagangan kera
dan monyet Mentawai, serta rotan yang merupakan 'alat
transportasi' primata di hutan. Selain rotan, juga pohon purba
di hutan kepulauan itu mulai ditebang untuk ekspor, juga untuk
kebutuhan konstruksi di daratan Sumatera Barat sendiri.
Nasib beruk, lutung dan siamang Mentawai yang makin terjepit
itulah yang mendorong Menteri Pertanian menetapkan status suaka
bagi hutan Tai Tai Batti di Siberut Selatan. Dari semula memang
direncanakan luasnya 30 ribu Ha. Tapi konsesi hutan yang sudah
diberikan terlebih dahulu kepada para pemegang HPH (Hak
Pengusahaan Hutan) menghalanginya.
Selain keempat jenis primata, di Pulau Siberut yang hampir
seluas Pulau Bali itu masih terdapat pula 14 anak-jenis burung
unik yang juga berasal dari daratan Sumatera. Kini pemerintah
menyediakan 'kapling hutan' lebih luas sebagai tempat
tinggalnya. Tapi kalau penangkapan binatang langka masih
diizinkan untuk diawetkan dan dihadiahkan, lantas di mana
konsistensi policy perlindungannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini