Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Aduh, nasib kera mentawai

Pemerintah sum-bar memperluas daerah suaka tai tai batti tempat kera mentawai hidup. pencinta alam sedih karena gubernur sum-bar, azwar anas, menghadiahkan 2 ekor kera mentawai kepada presiden soeharto.

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SORGA terakhir bagi fauna Sumatera terletak di Kepulauan Mentawai, terutama di Pulau Siberut bagian selatan, yang punya suaka margasatwa Tai Tai Batti. Di sana empat jenis primata yang sudah punah di daratan Andalas dilindungi. Makanya ketika Gubernur Sumatera Barat, ir Azwar Anas menyatakan persetujuannya agar suaka Tai Tai Batti diperluas dari 6 ribu Ha menjadi 30 ribu Ha, kalangan pencinta alam bertepuk tangan. Namun, Azwar Anas membuat kejutan baru. Dua kera yang telah dibunuh dan diawetkan dihadiahkannya kepada Presiden dan Ny. Tien Soeharto yang bertandang ke Padang baru-baru ini. Kedua hadiah itu terdiri dari ungko biloh atau siamang Mentawai (llylobates klossi), dan beruk Mentawai (Macaca pagensis). Kali ini, para pencinta alam dan satwa lindungan hanya menggigit jari ketika mendengar berita itu. Apalagi Surat Edaran Menteri Pertanian Soedarsono Hadisaputro, yang menganjurkan agar semua pejabat tinggi mematuhi Ordonansi Binatang Liar, baru dua bulan umurnya. Membawa Sial Dua kera Mentawai awetan yang dihadiahkan kepada Presiden itu memang termasuk jenis primata yang kini hanya terdapat di Kep. Mentawai. Suaka Tai Tai Batti khusus diadakan untuk melindungi dua jenis primata langka itu. Dua jenis lain yang dilindunginya adalah lutung Mentawai (Presbytis potenziani) dan lutung putih yang oleh penduduk setempat disebut simakobu (Simias concolor). Menyambut langkah pemerintah RI di P. Siberut itu, suatu organisasi swasta di Inggeris, Survival International menyanggupi bantuan senilai Rp 40 juta. Bantuan itu dimaksudkan untuk mengalihkan kebiasaan penduduk asli Siberut dari perburuan siamang dan lutung Mentawai itu ke usaha peternakan babi, ayam, perikanan air tawar, dan penanaman cengkeh. Survei primata dan vegetasi Siberut diadakan pula oleh regu peneliti dari Universitas Cambridge, juga dari Inggeris, dengan bantuan Dana Margasatwa Sedunia (WWF) yang berpusat di Swiss. Perlindungai alam di P. Siberut itu terasa cukup mendesak. Apalagi, seperti yang diuraikan majalah Suara Alam, No. 2/1978, penebangan hutan dengan gergaji mesin mempercepat rusaknya habitat berbagai jenis primata di sana. Jalan-jalan pengangkut kayu (logging roads) yang setiap kali dilintasi truk raksasa dan alat berat lainnya praktis memotong jalur pergerakan lutung dan siamang Mentawai yang suka bergayutan dari pohon ke pohon. Penduduk asli Siberut dari dulu sudah terbiasa berburu lutung, siamang atau beruk Mentawai. Tapi sebelum masuknya misi Protestan berikut kebudaylan modern dari pesisir, adat dan kontrol masyarakat setempat masih menjamin adanya keserasian dengan alam. Sebab mereka berburu hanya pada masa punen, yakni pesta keagamaan setahun sekali, yang makan waktu berminggu-minggu, bahkan kadang-kadang berbulan-bulan. Setiap lelaki dewasa pada masa punen itu wajib pergi berburu, tapi harus sendiri-sendiri, tidak dalam kelompok, dan tak boleh menggunakan anjing atau perangkap. Para sesepuh keluarga besar yang tinggal dalam satu rumah panggung (uma) menJaga supaya pantangan adat itu tak dilanggar. Tengkorak binatang yang berhasil diburu kemudian dibersihkan, dihias dan digantung dalam uma. Mereka percaya, roh binatang itu akan senang hidup di dalam rumah itu. Adapun siamang kecil tak boleh diburu: Sebab ada kepercayaan di antara orangorang Siberut bahwa berburu siamang kerdil itu hanya akan membawa sial. Setelah masuknya misi Protestan di tahun 1902, adat asli mulai lapuk, ikatan uma mulai kendor, dan pantangan berburu dengan anjing dan perangkap mulai hapus. Kontak dengan dunia luar melalui desa-desa yang kemudian tumbuh di tepi pantai menimbulkan keinginan untuk mengumpulkan kekayaan dan memiliki benda-benda modern. Maka timbullah perdagangan hasil hutan untuk dijual pada para pedagang di pantai. Termasuk perdagangan kera dan monyet Mentawai, serta rotan yang merupakan 'alat transportasi' primata di hutan. Selain rotan, juga pohon purba di hutan kepulauan itu mulai ditebang untuk ekspor, juga untuk kebutuhan konstruksi di daratan Sumatera Barat sendiri. Nasib beruk, lutung dan siamang Mentawai yang makin terjepit itulah yang mendorong Menteri Pertanian menetapkan status suaka bagi hutan Tai Tai Batti di Siberut Selatan. Dari semula memang direncanakan luasnya 30 ribu Ha. Tapi konsesi hutan yang sudah diberikan terlebih dahulu kepada para pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) menghalanginya. Selain keempat jenis primata, di Pulau Siberut yang hampir seluas Pulau Bali itu masih terdapat pula 14 anak-jenis burung unik yang juga berasal dari daratan Sumatera. Kini pemerintah menyediakan 'kapling hutan' lebih luas sebagai tempat tinggalnya. Tapi kalau penangkapan binatang langka masih diizinkan untuk diawetkan dan dihadiahkan, lantas di mana konsistensi policy perlindungannya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus