SEBAGAI pusat kesenian, kalau tidak punya koleksi lukisan
rasanya janggal. Dan lagi untuk menghias ruangan yang kita
punya," kata Mustika, Manager Ruang Pameran Taman Ismail
Maruki. Koleksi TIM tersebut kini dipamerkan di situ, 7 - 12
Nopember, untuk ikut memeriahkan 10 tahun TIM. Tidak banyak --
cuma 36 buah. Hanya dalam pameran ini, beberapa pelukis
mengikutsertakan juga karyanya yang tak jadi koleksi TIM.
Mungkin untuk menyemarakkan pameran: dengan hanya 36 lukisan
kiranya akan sulit mengaturnya dalam ruang seluas itu. Dan lagi
TIM bukan Dewan Kesenian Jakarta, yang memang wajib
menyelenggarakan koleksi lukisan. Bisa dimengerti kalau koleksi
TIM agak tidak memperhatikan mutu.
Menghias ruang, itulah mungkin yang bisa diberikan oleh lukisan
secara nyata. Dan mana lukisan yang patut menghias, tiap orang
punya selera masing-masing. Seperti cerita tentang seorang
penggemar lukisan yang menaruh satu lukisan pemberian sahabatnya
di dapur saja-satu ruang yang dianggapnya tidak penting. Tapi
beberapa hari kemudian dipindahkannya ke ruang tamu -- dengan
alasan ia baru tahu kalau itu lukisan pelukis ternama.
Nyatalah bahwa "menghias" itu menjadi luas juga artinya. Tidak
hanya warna dan bentuk yang kita butuhkan, tapi juga yang ada di
belakangnya. Pelukis terkenal Belanda yang sangat sengsara
hidupnya, dan kemudian bunuh diri dengan menembak pelipisnya
pada usia 37 tahun, Vincent van Gogh, adalah contoh yang
gampang. Orang suka mengatakan, bahwa kita akan punya pandangan
yang lain terhadap lukisan-lukisan van Gogh -- andaikata jalan
hidupnya tidak begitu.
Begitu pula harga lukisan. Ada orang yang bisa bangga kalau yang
tergantung di ruang tamunya berharga ratusan ribu, bahkan jutaan
rupiah. Dan tentu masih banyak lagi alasan, kenapa seseorang
menyukai dan mengumpulkan lukisan-yang murah maupun yang mahal.
Orang Tidak Tahu
Tapi sebagaimana baju atau makanan, riwayat si pembuat atau cara
membuatnya, juga besar sekali harganya, sebenarnya tidak
menentukan "enak-tidaknya" barang itu. Alias mutunya. Pelukis
Affandi pernah bercerita, ada orang-orang yang datang kepadanya
minta dibuatkan coretan apa saja yang akan dibayarnya mahal --
asal coretan itu ditandatangani Affandi. Satu kesempatan
mengeruk duit dengan mudah, tentunya. Tapi Affandi menolak. Dia
baru mau melukis kalau memang tergerak untuk melukis.
"Orang-orang itu tidak tahu," kata Affandi.
Maka satu badan yang memang berurusan dengan kesenian, seperti
TIM atau DKJ atau Balai Seni Rupa atau galeri-galeri, memang
digarap untuk menjadi semacam lembaga konsumen-yang memberi
contoh langsung macam mana sebetulnya yang baik kita beli. Tak
semudah menilai kwalitas kecap dan tahu, tentu. Soalnya kesenian
memang tak bisa diukur seberapa jauh "bermanfaat".
Tapi sebuah badan kesenian toh bisa memikirkan "manfaat" itu
dalam memilih barang yang mau dibeli -- justru dengan tidak
hanya mempertimbangkan mutu intrinsik barangnya semata. Pernah
seorang teman kecewa, karena koleksi lukisan Direktorat Kesenian
ternyata terdiri dari karya-karya yang dipilih hanya berdasar
tinggi-rendahnya mutu. "Dan memang baik-baik," kata teman tadi.
Yang diinginkannya ternyata lain. Sebagai kantor yang mengurus
kesenian, mestinya dalam memilih lukisan mereka juga sekalian
"mencatat perkembangan si senimannya atau kesenian kita."
Misalnya karya-karya yang penting dari seorang pelukis: yang
menandai perubahan gayanya, yang bersangkut erat dengan
perjalanan hidupnya, atau lukisan yang punya pengaruh --
misalnya yang kemudian mengilhami perkembangan generasi
berikutnya. Dengan singkat: sebuah koleksi yang bersangkut erat
dengan sejarah seni lukis sendiri.
Dan itulah yang belum tercermin baik dari koleksi DKJ, TIM,
Dirkes, atau yang terang-terang mengkhususkan diri pada seni
rupa: Balai Seni Rupa Jakarta.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini