Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Koleksi sebagai cermin (?)

Dalam rangka memeriahkan 10 th tim, semua koleksi lukisan yang dimiliki tim dipamerkan. karena jumlahnya sedikit, beberapa lukisan yang bukan milik tim diikut sertakan sebagai pendamping.

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI pusat kesenian, kalau tidak punya koleksi lukisan rasanya janggal. Dan lagi untuk menghias ruangan yang kita punya," kata Mustika, Manager Ruang Pameran Taman Ismail Maruki. Koleksi TIM tersebut kini dipamerkan di situ, 7 - 12 Nopember, untuk ikut memeriahkan 10 tahun TIM. Tidak banyak -- cuma 36 buah. Hanya dalam pameran ini, beberapa pelukis mengikutsertakan juga karyanya yang tak jadi koleksi TIM. Mungkin untuk menyemarakkan pameran: dengan hanya 36 lukisan kiranya akan sulit mengaturnya dalam ruang seluas itu. Dan lagi TIM bukan Dewan Kesenian Jakarta, yang memang wajib menyelenggarakan koleksi lukisan. Bisa dimengerti kalau koleksi TIM agak tidak memperhatikan mutu. Menghias ruang, itulah mungkin yang bisa diberikan oleh lukisan secara nyata. Dan mana lukisan yang patut menghias, tiap orang punya selera masing-masing. Seperti cerita tentang seorang penggemar lukisan yang menaruh satu lukisan pemberian sahabatnya di dapur saja-satu ruang yang dianggapnya tidak penting. Tapi beberapa hari kemudian dipindahkannya ke ruang tamu -- dengan alasan ia baru tahu kalau itu lukisan pelukis ternama. Nyatalah bahwa "menghias" itu menjadi luas juga artinya. Tidak hanya warna dan bentuk yang kita butuhkan, tapi juga yang ada di belakangnya. Pelukis terkenal Belanda yang sangat sengsara hidupnya, dan kemudian bunuh diri dengan menembak pelipisnya pada usia 37 tahun, Vincent van Gogh, adalah contoh yang gampang. Orang suka mengatakan, bahwa kita akan punya pandangan yang lain terhadap lukisan-lukisan van Gogh -- andaikata jalan hidupnya tidak begitu. Begitu pula harga lukisan. Ada orang yang bisa bangga kalau yang tergantung di ruang tamunya berharga ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah. Dan tentu masih banyak lagi alasan, kenapa seseorang menyukai dan mengumpulkan lukisan-yang murah maupun yang mahal. Orang Tidak Tahu Tapi sebagaimana baju atau makanan, riwayat si pembuat atau cara membuatnya, juga besar sekali harganya, sebenarnya tidak menentukan "enak-tidaknya" barang itu. Alias mutunya. Pelukis Affandi pernah bercerita, ada orang-orang yang datang kepadanya minta dibuatkan coretan apa saja yang akan dibayarnya mahal -- asal coretan itu ditandatangani Affandi. Satu kesempatan mengeruk duit dengan mudah, tentunya. Tapi Affandi menolak. Dia baru mau melukis kalau memang tergerak untuk melukis. "Orang-orang itu tidak tahu," kata Affandi. Maka satu badan yang memang berurusan dengan kesenian, seperti TIM atau DKJ atau Balai Seni Rupa atau galeri-galeri, memang digarap untuk menjadi semacam lembaga konsumen-yang memberi contoh langsung macam mana sebetulnya yang baik kita beli. Tak semudah menilai kwalitas kecap dan tahu, tentu. Soalnya kesenian memang tak bisa diukur seberapa jauh "bermanfaat". Tapi sebuah badan kesenian toh bisa memikirkan "manfaat" itu dalam memilih barang yang mau dibeli -- justru dengan tidak hanya mempertimbangkan mutu intrinsik barangnya semata. Pernah seorang teman kecewa, karena koleksi lukisan Direktorat Kesenian ternyata terdiri dari karya-karya yang dipilih hanya berdasar tinggi-rendahnya mutu. "Dan memang baik-baik," kata teman tadi. Yang diinginkannya ternyata lain. Sebagai kantor yang mengurus kesenian, mestinya dalam memilih lukisan mereka juga sekalian "mencatat perkembangan si senimannya atau kesenian kita." Misalnya karya-karya yang penting dari seorang pelukis: yang menandai perubahan gayanya, yang bersangkut erat dengan perjalanan hidupnya, atau lukisan yang punya pengaruh -- misalnya yang kemudian mengilhami perkembangan generasi berikutnya. Dengan singkat: sebuah koleksi yang bersangkut erat dengan sejarah seni lukis sendiri. Dan itulah yang belum tercermin baik dari koleksi DKJ, TIM, Dirkes, atau yang terang-terang mengkhususkan diri pada seni rupa: Balai Seni Rupa Jakarta. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus