Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ahli waris jawa majapahit

Desa bayan diduga pintu gerbang masuknya islam pertama kali ke pulau lombok. dibuktikan dengan beberapa peninggalan. para kiai dilarang berdagang, poligami dan memanjat pohon

27 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memang dirasa batas melakukan upacara adat dan ritual keagamaan, tipis. Para kiai dilarang berdagang, berpoligami, dan memanjat pohon. MENURUT kepercayaan penduduk setempat, Bayan merupakan pintu gerbang masuknya Islam pertama kali ke Pulau Lombok. Namun, siapa yang membawanya, sulit dipastikan. Ada yang mengatakan Islam dibawa oleh Gaos Abdul Razak dari Baghdad. Versi lain menyebutkan, penyiar Islam pertama adalah Sunan Perapen alias Pangeran Songopati dari Jawa. Yang jelas, Islam telah lama dikenal di Bayan. Ini dibuktikan dengan banyaknya peninggalan yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno atau Jawa Kawi (Arab Jawa). Antara lain naskah-naskah lama yang ditulis pada daun lontar, kulit kambing, atau bambu, yang berisi soal-soal agama. Ada Quran tulisan tangan pada kulit kambing. Konon, kitab itu dibawa oleh Sunan Perapen, kira-kira pada abad ke-16 atau setelah Majapahit runtuh. Sebagian kitab itu sekarang termakan rayap dan disimpan rapi oleh Pemangku Adat Bayan Raden Singaderia. Ada juga sebuah masjid yang kabarnya sudah berusia 300 tahun. Sekarang sudah agak lapuk, tetapi tetap dimanfaatkan untuk salat Idul Fitri, Idul Adha, dan peringatan Maulid Nabi Muhammad. Di dekat kiblat masjid -bagian ruangan terdepan -terdapat mimbar khotbah berhias kepala naga. Ini menunjukkan pengaruh kebudayaan Jawa. Lalu, ada sebuah beduk tua berdiameter setengah meter yang telah kusam dan tak terawat. Di sekitar masjid terdapat makam-makam para kiai yang dianggap berjasa menyebarkan Islam. Setiap makam menghadap ke utara dan hanya ditandai batu. Usianya diperkirakan sama dengan umur masjid tersebut. Ini menunjukkan bahwa Islam memang bukan perkara baru bagi suku Sasak di Bayan. Namun, agak sulit melacak asal-usul terbentuknya Islam Wektu Telu. Tak jelas kapan muncul dan siapa yang menamakannya. Para peneliti yang pernah datang ke Lombok dan ulama-ulama setempat umumnya sepakat bahwa Islam Wetu Telu telah dikenal sejak zaman Belanda. Hanya saja proses terbentuknya masih samar-samar. Sebuah versi menyebutkan bahwa Islam Wetu Telu terbentuk bersamaan dengan penyebaran Islam di Lombok. Ini diungkapkan Ketua MUI Lombok, Drs. Achmad Usman. Hipotesanya sebagai berikut. Sebelum tuntas mengajarkan Islam, penyebarnya (wali atau murid wali) entah karena apa buru-buru meninggalkan Lombok. Akibatnya, masyarakat yang masih menganut Hindu dan animisme tidak sepenuhnya mampu menyerap Islam. Kemudian mereka memadukan animisme, Hindu, dan Islam yang belum lengkap itu jadi satu, dan disebut sebagai Islam Wetu Telu, dengan dominasi unsur Hindu dan Islam. "Penganut Islam Wetu Telu itu sebelah kakinya di Islam, sebelah lagi Hindu," kata Usman. Versi ini agak berbeda dengan versi Lalu Wacana, pengarang buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Menurut Sekretaris Krama Adat Sasak ini, Islam masuk setelah Majapahit runtuh. Riwayat mengatakan, Majapahit menyerbu Lombok pada 1357. Sebelumnya, di Lombok sudah berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang rakyatnya menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Ketika itu ada satu kerajaan yang paling besar, yakni Selaparang. Pada abad ke-16 kekuasaan Majapahit runtuh, bersamaan dengan tampilnya kerajaan Islam Demak di Jawa. Pada waktu itu para wali juga sedang giat menyebarkan Islam. Seorang wali bernama Sunan Perapen -konon murid Sunan Kalijaga -pergi ke Lombok. Dia berhasil mengislamkan Prabu Rangkesari, raja Selaparang. Sejak itu pengaruh Islam begitu merasuk dalam kehidupan masyarakat Lombok. Namun, masa jaya itu tak berlangsung lama. Pada 1530 seorang pendeta bernama Dangkian Nirartha yang dikirim Raja Gelgel dari Bali sudah mencoba menyebarkan Hindu ke Lombok. Perlahan-lahan Hindu mulai berpengaruh. Dengan cerdik Dangkian mencoba meramu Islam, Hindu, dan kepercayaan lama menjadi kepercayaan sinkretisme yang sampai sekarang masih dianut. Hindunisasi itu semakin gencar ketika pada 1740 Raja Gusti Nengah, Raja Karangasem, Bali, menaklukkan Selaparang. Toh, Islam tidak bisa dihapus sama sekali. Boleh jadi, sejak saat itulah prinsip-prinsip ajaran Islam Wetu Telu tumbuh di kalangan masyarakat yang sudah terpengaruh Hindu. Istilah Islam Wetu Telu sendiri, menurut Lalu, muncul setelah Belanda menguasai Lombok pada 1890. Ketika itu Belanda mencari taktik untuk mengalahkan orang-orang Sasak penganut Islam ortodoks yang sulit ditaklukkan. Mereka sengaja menimbulkan perpecahan dengan menyuburkan penganut sinkretisme. Misalnya, dalam menyelesaikan perkara di pengadilan, Belanda selalu memenangkan orang yang bukan Islam tulen. Pendapat Lalu Wacana diperkuat oleh sebuah tim dari IAIN Sunan Ampel Surabaya yang mengadakan penelitian di Lombok pada 1968. Mereka mengamati berbagai aspek peribadatan dan prinsip ajaran ketuhanan penganut Islam Wetu Telu di tiga kabupaten: Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat. Termasuk di dalamnya Desa Bayan. Menurut penelitian itu, istilah Islam Wetu Telu diciptakan oleh Belanda. Pada 1933 ketika terjadi bentrok antara kedua belah pihak, Asisten Residen Yakob, membela Islam Wetu Telu. Yakob juga yang membuat pemisahan antara Islam Wetu Telu dan Islam Wetu Lima. Dan selanjutnya Belanda sengaja membentuk opini massa bahwa kepercayaan yang benar adalah Islam Wetu Telu. Terlepas dari misteri sejarah asal-usulnya, ajaran Islam Wetu Telu sendiri merupakan materi yang menarik untuk dikaji. Secara umum para peneliti dan ulama di Lombok sepakat bahwa Islam Wetu Telu adalah sebuah ajaran yang sangat berbau Islam. Hanya saja penganutnya tidak menjalankan syariat Islam sebagaimana mestinya. Ketua MUI Lombok, Achmad Usman, misalnya, memandang Islam Wetu Telu sebagai ajaran Islam yang tak lengkap. Mereka hanya melaksanakan tiga kali salat dalam satu tahun: Idul Fitri, Idul Adha, dan Jumat. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa tiga salat itu adalah Idul Fitri, Idul Adha, dan salat jenazah. Selain itu, mereka juga melakukan pemujaan-pemujaan terhadap tempat-tempat yang dianggap keramat. "Tradisi pemujaan itu jelas merupakan warisan animisme, Budha, dan Hindu," kata Usman. Hasil penelitian yang agak lengkap dibuat oleh tim dari IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dari ketiga daerah yang diteliti, mereka menemukan suatu sistem kepercayaan yang khas Islam Wetu Telu. Penganut Islam Wetu Telu percaya bahwa kelahiran manusia bermula dari tiga sifat: sifat Allah, sifat Adam, dan sifat Hawa. Ketiga sifat itu merupakan sublimasi 20 sifat Allah yang diperas menjadi 13, lalu diperas lagi menjadi 3. Ini kepercayaan yang sudah berlangsung sejak dahulu kala, yang dianut secara turun-temurun. Di Bayan mereka menemukan sebuah sistem kepercayaan yang menempatkan kiai sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Misalnya dalam perkara salat dan puasa. Mereka menyerahkan tugas-tugas ibadah itu sepenuhnya kepada kiai. Misalnya ketika melakukan salat Idul Fitri dan salat jenazah. Hanya kiai sendiri yang melakukannya, sementara penduduk hanya duduk-duduk sambil menunggu atau membaca takbir. Tata tertib salat yang dilakukan para kiai pun memperlihatkan ciri khas. Dalam melaksanakan salat tarawih berjamaah di masjid kuno itu, misalnya, makmum berdiri sejajar dengan imam. Sedangkan penempatan makmum disesuaikan dengan tingkat kekiaian mereka. Masyarakat Bayan mengenal tiga tingkatan kiai. Yakni kiai santri, kiai raden, dan kiai biasa. Kiai santri adalah tingkatan kiai yang paling tinggi. Termasuk di dalamnya golongan kiai penghulu yang bertindak sebagai imam masjid, kiai lebai, kiai ketip, dan kiai modin -petugas azan. Mereka mengambil posisi di barisan terdepan di sebelah kanan mimbar. Golongan kiai raden mengambil posisi di sebelah kiri mimbar. Sedangkan kiai biasa berbaris di belakang kiai santri atau kiai raden. Ibadah lain seperti puasa dan pergi haji ke Mekah tidak dilaksanakan karena kewajiban itu dianggap hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berhati bersih. Sedangkan ibadah puasa dianggap terlalu berat. Namun, mereka memiliki pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar dalam bulan suci itu. Yakni tidak boleh berkata kasar, tidak boleh berkumpul dengan wanita, tidak boleh menyembelih binatang, dan tidak boleh bekerja sampai berkeringat. Ketika Idul Fitri tiba, mereka mengumpulkan zakat fitrah berupa beras setempurung kelapa yang diserahkan kepada kiai. Zakat lain tak ada. Ada lagi hasil penelitian Drs. Jalaluddin Arzaki, Direktur Yayasan Kebudayaan dan Pengembangan Pariwisata Nusa Tenggara Barat. Menurut dia, kelahiran Islam Wetu Telu tidak dipengaruhi oleh agama Hindu. Sinkretisme yang tampak adalah perpaduan antara kepercayaan leluhur dan Islam. Kendati pernah dikuasai Bali, orang Bayan menolak bila disebut sebagai keturunan Hindu atau Bali. "Mereka mengaku sebagai ahli waris Jawa Majapahit," ujar Jalaluddin. Memang unsur Jawa sangat kentara dalam berbagai acara ritual masyarakat Bayan. Pandangan mereka tentang hubungan Tuhan dengan manusia terjabar dalam prinsip monoisme. Apa yang terjadi di alam semesta ini semuanya berasal dan merupakan bagian dari Tuhan (panteisme). Sedangkan Islam menganut prinsip dualisme. Tuhan adalah pencipta yang berbeda dengan ciptaan-Nya (makhluk). Tuhan itu sendiri tidak dua, tidak bersekutu. Dalam berbagai acara ritual dan upacara adat, wajah Jawa tampil lewat kalimat-kalimat mantra atau doa. Misalnya dalam upacara perkawinan. Mempelai diwajibkan membaca syahadat dalam bahasa Jawa madia. Weruh ingsun nora ana pangeran liyane Allah, lan weruh ingsun Nabi Muhammad utusan Allah -saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kadang-kadang redaksional syahadat itu berbunyi begini: Ashadu ingsun sineng weruh. Anyeksani angestoken norana pangeran sebenara hanging Allah Pangeran, sebenera setuhune Nabi Muhammad utusan Allah. Artinya sama dengan redaksi sebelumnya. Secara lebih terperinci Jalaluddin juga mengungkapkan prinsip dan aspek-aspek kepercayaan masyarakat Bayan. Islam Wetu Telu, kata Jalaluddin, memiliki pandangan hidup yang serba tiga. Dalam hidup bermasyarakat, misalnya, sumber hukumnya dibentuk atas dasar tiga perkara: agama, adat, dan pemerintah. Makanya, sistem organisasi kemasyarakat di Bayan mengenal tiga lembaga. Pertama, lembaga pemangku adat yang menjadi pimpinan tertinggi desa dan biasanya dijabat secara turun-temurun. Kedua, pembantu pemangku yang bertindak sebagai kepala urusan pemerintahan. Fungsinya menjembatani kepentingan adat dan pemerintah. Ketiga, lembaga penghulu yang dijabat oleh kiai. Dia bertugas di bidang keagamaan, seperti memimpin salat dan memberi doa. Dia diangkat oleh musyawarah pemangku adat yang disebut gundem. Tampaknya, jumlah tiga merupakan angka sakral bagi masyarakat Bayan. Rukun Islam yang sebenarnya berjumlah 5 dipotong jadi jadi 3: mengucapkan dua kalimat syahadat, salat, dan berpuasa di bulan Ramadan. Rukun ke-4 dan ke-5 --membayar zakat dan pergi haji -mereka tinggalkan. Kesemuanya tidak dilaksanakan secara sempurna. Pada bulan Ramadan mereka hanya berpuasa 3 hari pertama, 3 hari di pertengahan, dan 3 hari terakhir. Total 9 hari dalam satu bulan. Itu pun kalau sempat. Ada lagi yang agak lucu. Mereka percaya pada Rukun Iman dalam Islam yang berjumlah 6, tetapi mereka tidak bisa menyebutkan nama malaikat dan para nabi. Namun, pengertian-pengertian itu dibantah oleh Singaderia, pemangku adat di Bayan. Menurut dia, wetu telu merupakan pemahaman terhadap asal-usul kejadian manusia yang berlaku sejak dahulu kala. Itu tidak ada kaitannya dengan ritus agama, melainkan pada sumber kejadian manusia. Mereka percaya kelahiran manusia ke atas dunia ini disebabkan oleh adanya tiga sumber: ayah, ibu, dan Tuhan. Dan ajaran wetu telu sendiri, menurut Singaderia, merupakan pengamalan budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari. Unsur Islamnya terlihat pada sejumlah larangan. Antara lain tidak boleh melawan orangtua, harus menghormati saudara tua, dilarang bertengkar, tidak boleh membunuh. Khusus bagi para kiai, berlaku pula larangan adat. Mereka tidak berdagang, berpoligami, dan memanjat pohon. Berdagang dianggap pekerjaan yang tidak mulia. Entah mengapa mereka dilarang berpoligami dan memanjat pohon. Bagi masyarakat Bayan yang penting adalah sikap hidup di dunia. Manusia harus berbuat kepada sesama. Soal syariat agama cukup melaksanakan yang menonjol saja. Misalnya dengan menyelenggarakan mauludan, Idul Fitri, dan Idul Adha, atau ngaji makam di tahun Alif yang kesemuanya termasuk dalam tradisi adat gama (adat agama). Memang banyak hal yang terasa sinkretis. Mereka tetap mempercayai adanya roh-roh gaib yang menguasai tempat tertentu (animisme). Misalnya, yang terlihat pada acara ngaji makam -mengaji di kuburan Pangeran Songopati -- yang diselenggarakan setiap awal bulan Maulud Nabi Muhammad atau tahun Alif. Di satu sisi acara itu dimanfaatkan untuk membaca doa talkim (doa untuk orang mati) dan salawat Nabi. Namun, ia juga bisa dimanfaatkan untuk memanggil roh nenek moyang. Pada waktu itulah mereka membuat nyampang (sesaji) dari nasi yang kemudian diletakkan di inen bale (rumah induk) yang ditempati pemangku adat. Maksudnya untuk disajikan kepada para leluhur. "Kami percaya para leluhur sebenarnya masih hidup, meski di alam lain," ujar Singaderia. Sinkretisme juga bisa dilihat di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada. Di desa ini terdapat pura pemujaan umat Hindu dan umat Islam sekaligus. Di situ ada batu yang dibungkus kain putih dan selalu ditaburi kembang setaman. Penduduk beranggapan bahwa dengan mengadakan pemujaan di situ, mereka dapat berhubungan dengan arwah leluhur. Warna adat terlihat pula dalam kebiasaan minum brem -arak yang dibuat dari beras ketan. Kebiasaan ini disebut nyadek. "Kebiasaan itu sampai sekarang belum sepenuhnya hapus," kata Mudjtahid. Namun, orang Bayan umumnya tidak mau disebut sebagai penganut Islam Wetu Telu. Bahwa mereka tidak melaksanakan syariatnya dengan sempurna, itu soal lain. Ada jawaban menarik dari Singaderia ketika ditanyakan mengapa dia tidak pergi haji. "Saya takut naik kapal terbang," katanya. Priyono B. Sumbogo, Zed Abidien, dan Rustam F. Mandayun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus