Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Jingle dulu, baru lagu

Munculnya tiga televisi swasta dan semakin padatnya jalur radio fm mendatangkan rezeki bagi penyanyi, biro iklan dan pembuat jingle. kini, disaat rupiah sulit, promosi jalan satu-satunya.

27 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kehadiran tiga TV swasta dan puluhan radio FM mendatangkan rezeki nomplok bagi para artis. Sekarang, di saat rupiah sulit, promosi memang harus jor-joran. PADA suatu hari, sepulang kerja, seorang ayah disambut anaknya dengan sebuah kejutan kecil. "Pak, Gito Rollies mati," kata si anak. Sang ayah terperangah. "O ya, kenapa?" ia bertanya. "Dia mati karena kebanyakan minum kopi ...," jawab anak itu, sambil menyungging senyum kemenangan, seraya tak lupa menyebutkan merek kopi yang sering muncul di layar RCTI. Si bapak hanya bisa menggerutu seraya tersenyum kecut. Kopi yang dijajakan Gito Rollies dalan iklan buatan lokal yang tergolong sukses itu memang sudah sangat lekat di benak penonton TV, terutama anak-anak. Ada sejumlah kecil iklan lainnya yang juga berhasil menggaet hati penonton. Nah keberhasilan ini erat kaitannya tidak saja dengan sang penyanyi, tapi juga dengan biro iklan dan pembuat jingle (musik iklan). Munculnya tiga perusahaan TV swasta (TPI, RCTI, dan SCTV Surabaya), plus semakin padatnya jalur radio FM, jelas memacu kesibukan mereka. Pokoknya, kini ada lahan makmur yang menawarkan rezeki, hingga belakangan para pembuat jingle kebanjiran order. Penggubah lagu Chandra Darusman, yang memiliki jingle production house, dalam setahun paling sedikit bisa membuat 100 jingle. Dan itu bukan omset kecil, mengingat tarifnya per produk adalah Rp 4 juta sampai Rp 5 juta. Rekannya, Elfa Seciora, bahkan dalam sepekan bisa menyelesaikan tiga jingle. Musikus dan komposer muda asal Bandung itu, dalam setahun, bisa menyelesaikan sekitar 150 jingle. Tarifnya? Elfa menarik Rp 8 juta sampai Rp 10 juta dari setiap jingle yang diciptakannya. "Pendapatan saya dari jingle lebih besar ketimbang yang diperoleh dari rekaman biasa," ujarnya terus terang. Sebagai pengiring -- untuk sebuah rekaman -Elfa hanya bisa memperoleh Rp 15 juta sampai Rp 20 juta. Tapi dari jingle, ia bisa memperoleh Rp 30 juta dalam sepekan. Memang, tidak seluruhnya masuk ke kocek pribadi. Tapi kalau dihitung sewa studio, penulis syair, dan pengisi suara serta pita perekam, misalnya, yang cuma membutuhkan Rp 1,5 juta, maka uang jingle yang dihimpun Chandra dan Elfa, ya, tentu lebih besar. Panggilan rupiah itu juga yang menyebabkan banyak pencipta lagu berpaling kepada jingle. "Sekarang saya jarang menciptakan lagu. Habis, keasyikan bikin jingle, sih," kata Adjie Sutama, yang bersama Adi M.S. telah membuat 15 jingle untuk iklan bank dan ratusan lainnya untuk produk konsumsi. Tak pelak lagi, jingle sudah merupakan lahan pendapatan yang gemah ripah. Musik yang panjangnya cuma 30 detik sampai 120 detik itu bisa menghasilkan uang jutaan rupiah. "Suasana panen" seperti ini ikut dinikmati oleh Dotty Nugroho, bekas dedengkot grup Geronimo. Bersama istrinya, ia kini menggarap enam jingle dalam sepekan, dengan tarif Rp 5 juta per jingle. Tapi membuat jingle itu tidak gampang. Pendeknya waktu yang disediakan untuk beriklan, dari mula sudah merupakan batasan. Soalnya, dalam waktu pendek, "Pesan sponsor harus sampai dan mudah diingat konsumen," kata Adjie. Contohnya, Gito Rollies, dengan kata-kata "kopiku kental" yang dilatari jingle pas mengena, hanya membutuhkan waktu lima detik. Nah, agar pas, seorang pembuat jingle harus mengetahui detail produk yang diiklankan. Selain itu, dia juga harus mengetahui benar kalangan konsumen yang akan dijadikan sasaran. Kelas atas, menengah, bawah, anak-anak, atau orang dewasa. Ini diutarakan oleh Elfa, yang sering lebih dulu membuat musiknya, untuk kemudian digunakan jika ada pemesan. Yang tak perlu bersusah payah (cukup dengan latihan), tapi ikut menikmati rezeki jingle adalah para penyanyi. Si burung camar Vina Panduwinata, dengan menyanyi satu menit (untuk iklan sebuah bank), bisa memperoleh Rp 15 juta. Henny Purwonegoro, yang melagukan iklan sebuah produk susu kaleng selama tiga menit, bisa mengantungi Rp 15 juta. Sedangkan Koes Hendratmo mengantungi Rp 25 juta untuk menyenandungkan iklan sebuah bank. Yang juga kejatuhan rezeki jingle adalah pemilik production house, yang belakangan ini tumbuh bak jamur di musim hujan. Sebagian perusahaan jenis ini dimiliki para musikus seperti Elfa dan Chandra Darusman. Tapi yang bukan musikus atau penyanyi juga banyak yang menerjuni bidang ini -hanya jumlahnya belum diketahui pasti. Menurut Yusuf Selamat, Direktur Produksi Matari Inc., pasar iklan menjadi terasa membesar setelah munculnya TV swasta dan merajalelanya radio FM. "Apalagi tahun lalu, peningkatannya terasa sekali," katanya. Padahal biaya pembuatan iklan media elektronik lebih mahal sepuluh kali lipat jika dibandingkan biaya iklan media cetak. Suara senada dikemukakan Agus Kusuma, Wakil Direktur PT Swadaya Prathivi, sebuah production house yang banyak menerima order jingle. "Sekarang ini, pemilik radio boleh goyang-goyang kaki, sebab siarannya padat dengan iklan," katanya. Agus memperkirakan, dari seluruh jam siaran radio di Jakarta, 40% berupa iklan. Tapi, sementara pembuat jingle menikmati panen raya mereka, para pemasang iklan justru jebol koceknya. Apalagi dalam suasana "sulit rupiah" ini, promosi merupakan jalan satu-satunya untuk "selamat". Sejumlah pengusaha otomotif dan bankir, yang pusing menghadapi ketatnya pasar, tanpa ragu mengakui bahwa harapan mereka tergantung banyak pada promosi. Budi Kusumah dan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus