Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI BAWAH panggang-an sinar matahari,- me-re-ka bergegas membuka siang. D-engan peluh membanjir, l-e-laki-lelaki itu menurun-kan pu-luhan karung beras dari pe-rahu yang bersandar di Tum-bang Samba, daerah di te-pi Sungai Katingan. Tak tang-gung-tanggung, be-ras yang harus dibongkar para kuli itu empat ton. Rahma-di, tengkulak beras Tumbang Sam-ba, memandang dengan ta-tapan mata tak sabar.
Minggu-minggu bela-kang-an ini memang minggu yang berat bagi Rahmadi. Dia harus memboyong berka-rungkarung beras dari Palangkaraya menuju Katingan Hilir de-ngan pe-rahu buruk rupa yang jalannya tersengal-se-ngal. ”Jalan darat rusak berat, jadi kami harus mengguna-kan perahu klotok meski ongkos-nya lebih mahal,” kata pe-dagang beras di Tumbang Samba, Kabupaten Kating-an Hilir, Kalimantan Tengah, itu.
Banjir yang menerjang Kalimantan akhir Juni lalu me-mu-tus ratusan kilometer jalan trans Kalimantan. Jalan itu berubah menjadi seperti kubangan kerbau. Tak ada truk atau bus yang berani lewat. Satu-satunya jalur yang bisa dilalui adalah sungai.
Gara-gara banjir itu, Rahmadi harus merogoh kocek lebih dalam untuk mengangkut beras. Biasanya, bila memakai truk, dia hanya me-ngeluarkan ongkos Rp 350 ri-bu. Saat ada banjir, ia ha-rus membayar perahu Rp 800 ribu untuk mengangkut empat ton beras. Waktu tempuh-nya pun jadi molor tiga hari dari biasanya sehari. Sungguh repot!
Akhir bulan lalu, bah memang mengamuk di Kali-mantan. Biarpun sedang musim kemarau, sungaisu-ngai di Ka-limantan Selatan, Te-ngah,- dan Timur meluap. Di timur, amukan air itu merendam Balikpapan, Kutai Barat, Samarinda, dan Ta-rakan. Di Ka-limantan Te-ngah, banjir me-nyapu delapan kabupaten: Lamandau, Seruyan, Kotawaringin Ba-rat, Ko-tawaringin Timur, Kating-an, Barito Selatan, Barito Utara, dan Murung Raya.
Banjir terparah terjadi di Kabupaten Katingan, yang hampir menutupi seluruh kecamatan. Bahkan jalan trans Kalimantan ruas Palangkaraya ke arah Sampit (ibu ko-ta Kabupaten Kotawaringin Ti-mur) terputus total sepanjang dua kilometer. Biangnya adalah air Sungai Katingan yang meninggi hingga empat meter. Rumah dinas Bupati Katingan, Polres Katingan, rumah sakit, kantor Dinas Pendidikan dan Kebu-dayaan, dan kantor Dinas Pe-kerjaan Umum, semua terendam air.
Di Kalimantan Selatan ada 11 ribu hektare tanaman padi di lima kabupaten yang terendam air, yakni Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu, Kota Baru, dan Tabalong. Di Kecamatan Sungai Loban, Tanah Bambu, ketinggian air bahkan mencapai tujuh meter. Di Kabupaten Kotabaru, sedikitnya 21 orang mening-gal karena terseret banjir dan terkubur tanah longsor.
Bah ini pun lalu menda-tangkan banjir air mata dan kepanikan. Masyarakat Kota Martapura, misalnya, sempat panik dan berlarian ke luar rumah mendengar kabar bobolnya waduk di dekat mereka, yakni Riam Kanan.- Memang permukaan air di waduk ini meninggi empat- me-ter dan menyebabkan wa-duk ini diisukan telah jebol.
Sungai di lima kabupaten- di Kalimantan Selatan itu hulunya berada di Pegunung-an Meratus, yang selama ini hutannya dijarah para peme-gang hak pengusahaan hutan (HPH) dan penebang liar. Heru Waluyo, Kepala Pu-sat- Regional Kantor Lingkungan Hidup Kalimantan, memperkirakan tegakan hutan di Pegunungan Meratus kini tinggal 30 persen.
Mengapa banjir di musim kemarau? Mengapa kota-kota Kalimantan yang sebelumnya bukan daerah langganan banjir kini tersapu banjir? ”Penyebabnya, tutupan lahan di Kalimantan kini semakin berkurang,” kata Mas-nell-yarti Hilman, Deputi Menteri Negara Lingkung-an Hidup Bi-dang Peningkat-an Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Ke-rusakan Ling-kungan.
Hasil studi keamanan eko-logi di Kalimantan yang dilakukan Greenomics pada 2004 menemukan fakta bahwa kisaran persentase tutup-an hutan primer terhadap daerah sekitar aliran sungai (DAS) di Kalimantan rata-rata ha-nya 20 persen. ’’Dan angka itu terus turun hingga 15 persen pada 2006,’’ ujar Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, pekan lalu. Hutan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan lebih gawat lagi. Hutan primer me-re-ka sudah botak dan hanya tersisa 13 persen dan 19 per-sen- saja.
Menurut Masnellyarti, ka-la hutan sudah sekarat, datang-lah hujan lebat selama tiga hari berturut-turut sejak 23 Juni 2006. Curah hujan yang ditumpahkan di Bumi Borneo itu di atas angka tahun-an rata-rata, yakni 1.600 sampai 4.000 mm. Alhasil, da-tang petaka banjir mene-lan kota-kota Kalimantan Selatan dan Tengah.
Pantauan Badan Meteoro-lo-gi dan Geofisika (BMG) m-e-nunjukkan matahari te-ngah bergerak di utara garis ekuator. Lantaran Sulawesi dan Kalimantan tepat berada di utara ekuator, tak menghe-rankan jika curah hujan pada Juni-Juli amat besar. Kondisi itu diperparah dengan terjadinya badai tropis Ewiniar di perairan timur laut Filipina, yang efeknya hujan lebat di Sulawesi dan Kalimantan.
Kepala Badan Pengelola- Dae-rah Aliran Sungai Ka-ha-yan, Sri Sayuto, mengakui ke-rusakan hutan menjadi pe-nyebab utama banjir bandang- di Kalimantan. Dia mengambil contoh kasus di Kabupa-ten Katingan, yang 11 kecamatannya terendam air. Di kabupaten ini tingkat kerusakan lahan kritisnya mencapai 578 ribu hektare.
”Banjir yang di seluruh Kalimantan Tengah ini ha-nya menunggu waktu saja,” kata Sayuto. ”Asal terjadi hujan deras dan lama, pasti akan banjir.” Indikasinya terjadi di Kabupaten Barito Utara dan Murung Raya, yang tiga kali dihajar banjir sepanjang tahun 2006.
Menurut Sayuto, fungsi hu-tan adalah sebagai penahan erosi air agar bisa terserap di dalam tanah. Kini, ketika hujan turun, yang terjadi adalah erosi dari tanah yang larut ber-sama air hujan kemudian ma-suk ke dasar su-ngai hingga mengakibatkan pendangkal-an. ”Imbasnya, ka-rena air tidak tertampung, maka me-luap ke mana-mana sehingga meng-akibatkan banjir,” kata-nya.
Di Pegunungan Muller, yang menjadi hulu Sungai B-arito, kawasan hutannya terus terancam. ”Padahal kawasan ini akan diajukan s-ebagai ca-gar alam dunia (word natu-ral heritage),” kata Itan, Koor-di-nator Mitra Lingkung-an Hidup Ka-limantan Te-ngah. Me-nurut dia, peme-rintah pro-vinsi me-la-kukan kebijakan peng-alihan fungsi hutan untuk perusahaan tambang ba-tu bara di pegunungan ini.
Borneo sedang luka. Hu-tannya habis dibabat peng-usaha kayu, penebang liar, dan pe-ngusaha tambang. Aki-bat hi-langnya hutan ini, Greeno-mics, organisasi pencinta ling-kungan, memper-kirakan negara rugi Rp 36,27 triliun setiap tahunnya. ”Sekitar Rp 25,47 triliun akan habis untuk menanggulangi tanah long-sor, dan Rp 10,80 triliun untuk meng-atur gangguan ekosistem ser-ta tata air,” katanya. Kendati bahaya ada di depan ma-ta, deru mesin gergaji tak berkurang, dan hutan-h-utan perawan (baca: Ge-tirnya Nasib Si Perawan) juga terus ter-gerus.
Untung Widyanto, Karana W.W. (Palangkaraya), Khaidir (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo