Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM pelukan ayahnya, Cut Athila Priyanka, 15 tahun, me-nangis tersedu-sedu. Bintang kelas itu kecewa mengetahui namanya tak tercantum dalam daf-tar sekolah pilihannya. Padahal s-e-hari sebelum pendaftaran ditutup, Sabtu 8 Juli lalu, namanya masih nangkring meski di nomor nyaris buncit. ”Nilai sa-ya dianggap tak cukup,” kata Inka, bersungut-sungut.
Nilai ujian nasional Inka tak bisa di-bilang jelek. Lulusan SMP Islam Pang-lima Besar Soedirman (PB Sudirman) Jakarta Timur itu mendapat nilai 9 untuk ujian matematika dan bahasa Inggris, dan 8,60 untuk bahasa Indonesia. Total jenderal, 26,60.
Melihat nilainya, Inka optimistis bisa diterima di SMA Negeri 39, Jakarta Timur. Sekolah di kawasan Cijantung ini adalah pilihan pertamanya. Sebe-lumnya, Inka berharap bisa masuk SMA 70 Bulungan, Jakarta Selatan. Tapi sekolah ini sejak awal sudah menetapkan hanya bisa menerima siswa dengan nilai terendah 27,33.
Namun, Inka ternyata juga harus mengubur harapannya. SMA Negeri 39 yang diincarnya itu juga hanya menerima siswa dengan nilai terendah 27,3. Inka hanya bisa pasrah. Apalagi di SMA 48 Jakarta Timur, sekolah pilihan ketiganya, nama Inka lagi-lagi berada di urutan buncit. Namanya bertengger di peringkat 278 dari 314 siswa yang akan diterima sekolah itu.
Karena cemas, Inka emoh menengok pengumuman sistem penerimaan siswa baru (PSB) dengan sistem online itu. ”Terserah mama deh, aku ngikut saja mau disekolahin di mana,” ujarnya.
Melihat sikap anaknya itu, Lulu Aswin, 49 tahun, tercekat. Meski akhir-nya lega anaknya diterima di SMA 48, toh warga Cibubur itu tetap gundah. Ia sulit memahami, mengapa anaknya yang selalu menempati peringkat satu di sekolah menengah unggulan itu bisa terdepak dari SMU unggulan dalam penerimaan siswa baru.
Bukan Lulu saja yang gundah dengan sistem ini. Didik S.T.P, 45 tahun, sempat waswas dengan nasib putri sulungnya, Rizky Satya Utami, 15 tahun. Meski nilainya relatif tinggi (28,8), lulusan SMP 216 Jakarta Selatan ini tak mulus-mulus amat ketika ikut se-leksi di SMA 8, Jakarta Selatan. Juara ke-dua Olim-piade Fisika DKI Jakarta tahun 2005 untuk tingkat SLTP ini ber-ada di peringkat 178 dari 351 siswa. Pada-hal, banyak anak dari sekolah reguler yang k-emampuannya di bawah Rizky, tapi n-ilai ujiannya meroket.
PROSES penerimaan siswa baru dilakukan dua tahap. Tahap pertama di-mulai awal Juli dan ditutup Sabtu dua pekan lalu. Pengumuman dilakukan dua hari kemudian. Lalu, ada lagi penerimaan tahap kedua karena masih banyak kursi kosong.
Sistem penerimaan siswa baru dilakukan secara online. Sistem ini mulai diterapkan di Jakarta sejak 2003. Disebut online bukan semata karena hasilnya bisa dilihat di Internet atau lewat pesan pendek, tapi juga karena ada proses pemeringkatan dan pemilihan sekolah oleh komputer.
Para calon murid mengirim formulir pendaftaran ke petugas dan operator PSB online di setiap sekolah. Mereka juga harus memasukkan nomor ujian dan sekolah yang dipilih: maksimal tiga pilihan untuk SMP, dan lima pilihan untuk SMA. Operator tak perlu memasukkan nilai ujian akhir sang calon siswa, karena semua data hasil ujian sudah ada di Dinas Pendidikan yang dimuat dalam PSB online. Kurikulum 2004 memang lebih berat dibanding 1994. Yang pertama mensyaratkan siswa lebih aktif. Sedangkan pada kurikulum lama, guru-lah yang lebih ambil peranan.
Kurikulum 2004 sempat akan dipakai untuk menggantikan kurikulum 1994. Tapi, setelah uji coba, ternyata banyak sekolah yang tak sanggup. Sebagai jalan keluar, Departemen Pendidikan Nasio-nal meluncurkan standar isi dan standar kompetisi sebagai pedoman penyusunan kurikulum bagi sekolah. Dengan kata lain, kurikulum 1994 dan 2004 ke-duanya sama-sama dipakai.
Seperti halnya Lulu, Didik menganggap sistem penerimaan siswa baru secara online yang digelar sekarang ini tidak fair karena tidak membedakan hasil ujian siswa yang memakai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 dengan siswa sekolah reguler yang memakai kurikulum 1994. Padahal, dalam ujian nasional, mereka tak hanya di-uji secara berbeda sesuai dengan kuriku-lumnya, tapi juga dengan tingkat kesulitan soal yang berbeda.
Inka mencontohkan, misalnya saja soal ujian negara pelajaran bahasa Inggris. Siswa SMP KBK diuji dengan materi listening. Tapi siswa dengan kurikulum 1994 hanya menjawab soal biasa. Jumlah soal pun berbeda. Soal bahasa Indonesia, buat siswa KBK 32 halaman, bagi siswa reguler hanya 18 halaman. ”Ini jelas tidak adil. Proses belajar de-ngan KBK lebih sulit dan makan waktu. Jadinya, kami merasa seperti kelinci percobaan,” kata Inka. Karena ujian yang berbeda ini, hasil ujian siswa KBK lebih rendah ketimbang siswa non-KBK. Sudah begitu, dalam seleksi penerimaan, siswa lulusan KBK juga terkena kuota lima persen.
Di DKI Jakarta sendiri, setidaknya ada 26 SMP yang ditunjuk sebagai ”eksperimen” kurikulum ini, antara lain SMP 115, SMP 216, dan SMP Islam PB Soe-dirman. Repotnya, dari siswa 26 SMP unggulan di Jakarta yang ditunjuk sebagai ”model” KBK, hanya 24 per-sen di antaranya yang diterima di SMA unggulan. ”Sisanya tidak diterima dan akhir-nya mencari sekolah pinggiran,” kata Djufri Djaman, Ketua Komite Se-kolah SMP 236 Jakarta Selatan yang j-uga Ketua Paguyuban Orang Tua Sis-wa KBK.
Boleh jadi karena itu pula, para orang tua siswa dan guru pekan lalu ramai-ramai meminta Komnas Perlindung-an Anak turun tangan mengatasi masalah ini. Sekjen Komnas Anak, Aries Merdeka Sirait, meminta Dinas Pendidikan Me-nengah dan Tinggi DKI Jakarta mem-buka jalur khusus bagi siswa lulus-an SMP unggulan, tanpa kuota penerima-an.
Sebenarnya para orang tua itu telah berkali-kali minta Dinas Pendidikan Menengah meninjau lagi sistem PSB ini dengan melakukan penyetaraan nilai hasil ujian (konversi). Dasarnya ada-lah surat dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) kepada kepala dinas itu, 4 Juli 2006 lalu. Surat yang dite-ken Sekretaris BSNP, Djaali, itu inti-nya menjelaskan adanya perbandingan rata-rata nilai ujian siswa KBK dan non-KBK yang bisa dijadikan pertimbangan dalam melakukan PSB.
Paguyuban orang tua siswa KBK itu juga menyebut surat Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta, Sylviana Murni, tertanggal 26 April 2006. S-urat itu mengingatkan agar Dinas Pendidik-an Menengah dan Tinggi membuat kri-teria khusus dalam melaksanakan se-leksi PSB tahun ini mengingat ada dua kurikulum yang berlainan.
Namun, entah kenapa, kedua surat itu hanya lewat. Setelah dua kali pertemuan paguyuban orang tua murid dan siswa KBK dengan kepala dinas, Margani Mautsar, belum juga ditemukan titik temu. Margani tetap emoh memberikan konversi. Menurut dia, kebijakan melakukan atau tidak melakukan konversi berasal dari Badan Standar Nasio-nal Pendidikan (BSNP) sebagai lemba-ga yang membuat soal ujian nasional un-tuk kurikulum 1994 maupun KBK. ”Kita t-idak punya kewenangan untuk me-mbuat konversi,” ia menjelaskan.
Margani beralasan, jika konversi dilakukan, hal itu bisa memicu kecem-buruan siswa yang menggunakan kurikulum 1994. ”Padahal semuanya kan harus diperlakukan sama,” ujarnya.
Margani juga mengaku punya h-asil penghitungan rata-rata nilai total. ”Ter-nyata hasilnya lebih tinggi rata-rata yang sekolah unggulan,” katanya. Hasil penghitungan ini juga dikirim ke Pu-sat Penilaian Pendidikan Balitbang D-epartemen Pendidikan Nasional, yang akhirnya tidak merekomendasikan k-on-versi. Apalagi soal ujian yang dibuat dengan dua kurikulum itu memiliki kesulitan yang sama.
Sekretaris BSNP, Djaali, mengakui adanya dua versi soal ujian nasional, yaitu sesuai dengan kurikulum 1994 dan KBK. Meski begitu, distribusi kesukarannya sama. ”Pembuatan soal tetap mengacu pada standar kompetensi lulus-an dari kurikulum yang digunakan,” katanya.
Djaali juga membantah jika dikata-kan lembaganya punya kewenangan me-lakukan konversi nilai ujian lulusan SMP yang memakai KBK. Kewenangan itu sepenuhnya milik Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidik-an. ”Kami bukan pembuat kebijakan. Ka-mi hanya membuat soal ujian dari kuri-kulum yang ada,” kata Djaali.
Protes atas sistem PSB ini juga terjadi di daerah. Di Solo, puluhan orang tua siswa SMP 1 Solo menggeruduk kantor DPRD dan Dinas Pendidikan di sana. Mereka memprotes sistem PSB yang dianggap tidak fair. Beberapa siswa menantang siswa non-KBK melakukan tes ulang. Namun, Dinas Pendi-dikan Solo emoh merombak sistem PSB de-ngan alasan surat edaran Kepala Kantor Wilayah Pendidikan Jawa Tengah -melarang mereka memberikan kekhususan kepada sekolah tertentu.
Aksi serupa juga terjadi di Bandung. Untungnya, di Kota Kembang itu Dinas Pendidikan setempat mau mengambil jalan tengah: mereka menambah kuota penerimaan siswa di setiap sekolah sebanyak 18-20 orang untuk siswa KBK. Meski begitu, mereka yang masuk kuota tambahan itu harus diseleksi dengan pemeringkatan ulang. Solusi itu diterima karena tak akan menggeser siswa yang sudah diterima.
Widiarsi Agustina, Imron Rosyid, Rinny Suhartini, Syaiful Buchori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo